Dunia tiba-tiba berubah menjadi seperti permainan RPG.
Portal menuju dunia lain terbuka, mengeluarkan monster-monster mengerikan.
Sebagian manusia mendapatkan kekuatan luar biasa, disebut sebagai Player, dengan skill, level, dan item magis.
Namun, seiring berjalannya waktu, Player mulai bertindak sewenang-wenang, memperbudak, membantai, bahkan memperlakukan manusia biasa seperti mainan.
Di tengah kekacauan ini, Rai, seorang pemuda biasa, melihat keluarganya dibantai dan kakak perempuannya diperlakukan dengan keji oleh para Player.
Dipenuhi amarah dan dendam, ia bersumpah untuk memusnahkan semua Player di dunia dan mengembalikan dunia ke keadaan semula.
Meski tak memiliki kekuatan seperti Player, Rai menggunakan akal, strategi, dan teknologi untuk melawan mereka. Ini adalah perang antara manusia biasa yang haus balas dendam dan para Player yang menganggap diri mereka dewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theoarrant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Armand Sang Buronan
Namun dia tidak datang dengan tangan kosong.
Di tangannya, dia membawa sesuatu.
Sebuah kepala manusia, kepala Armand yang menjadi targetnya.
Salah satu target yang seharusnya dia buru.
Dengan ekspresi datar, Rai melempar kepala itu ke lantai.
DEG!
Darah masih menetes dari leher yang terpenggal bersih.
"Selesai," katanya singkat, seolah yang baru saja dia lakukan hanyalah tugas biasa.
Ruangan mendadak sunyi.
Semua mata tertuju pada Rai dan kepala Armand yang masih berlumuran darah di lantai.
Saat itu juga, tatapan Liora berubah.
Bukan karena kecurigaan… tetapi karena fakta bahwa Rai baru saja menyelesaikan misinya.
Jika darah di kepala Armand masih segar, itu berarti Rai baru saja membunuhnya beberapa saat lalu.
Dia jelas tidak mungkin berada di tempat Darius terbunuh.
Seketika, segala kemungkinan tentang keterlibatan Rai lenyap dari pikiran Liora.
Dia menghela napas panjang, lalu menatap kembali tubuh Darius.
Siapa pun yang melakukan ini, mereka bukan orang sembarangan.
Sementara itu, Rai hanya berdiri diam, melihat mayat Darius dengan ekspresi terkejut yang begitu alami.
Dia melangkah mendekat, lalu berjongkok di samping jasad Darius.
Tatapannya tajam, tetapi wajahnya tetap netral.
Lalu, dengan nada serius dan datar, dia bertanya.
"Siapa yang membunuhnya?"
Tidak ada yang mencurigainya.
Bahkan Liora.
Tidak ada alasan untuk meragukan Rai, semua bukti menunjukkan dia tidak mungkin terlibat.
Yang tersisa hanyalah pertanyaan besar…
Jika bukan Rai, lalu siapa?
***********************************
Kembali ke beberapa hari yang lalu saat Rai bepergian selama beberapa hari
Rai berdiri di depan sebuah bangunan tersembunyi di balik lorong bawah tanah, yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki izin dari Bangsawan Hitam.
Bangunan ini dibuat menjadi laboratorium sementara yang disediakan oleh Bangsawan Hitam untuk ditempati sementara oleh Profesor Lamberto.
Ketika dia melangkah masuk, bau besi terbakar dan minyak mesin langsung menyerangnya.
Di dalam, Profesor Lamberto sedang duduk di kursinya, dikelilingi oleh berbagai alat dan prototipe senjata yang terlihat lebih seperti artefak perang daripada teknologi biasa.
Di sampingnya, berdiri seseorang yang tidak asing bagi Rai.
Ruben, Informan dan pengangkut mayat.
"Terlambat," Ruben berkomentar tanpa menoleh, masih sibuk membongkar sebuah perangkat kecil di tangannya.
Rai hanya menyeringai tipis.
"Aku selalu datang tepat waktu."
Lamberto tertawa kecil, suaranya berat dan serak.
"Jika kau datang ke tempat ini, berarti kau sedang merencanakan sesuatu yang besar."
Rai tidak menyangkalnya.
"Aku ingin menghabisi para Bloodhound itu setidaknya mengurangi jumlah mereka, apakah ada alat baru yang bisa kugunakan profesor?"
Profesor menyeringai tipis.
"Aku tidak tahu apakah ini akan berguna, kau bisa gunakan penemuan terbaruku."
Dia bangkit dari kursinya dan berjalan ke rak besi di sudut ruangan.
Tangannya menarik sebuah laci besar, mengeluarkan sesuatu yang tertutup kain hitam.
Saat kain itu disingkapkan, Rai melihat sesuatu yang langsung membuat matanya berkilat.
Disruptor dalam bentuk baru.
Bukan lagi pistol kecil… melainkan senapan sniper dengan laras panjang berwarna hitam pekat.
"Ini…"
"Disruptor V2," Profesor menjelaskan dengan suara penuh kebanggaan.
"Dulu alat ini hanya bisa menonaktifkan kemampuan Player dalam jarak dekat, sekarang, dengan kalibrasi baru, kau bisa menembak target dari jarak lebih dari 500 meter."
"Efeknya sama dengan Disruptor lama tetapi aku yakin kamu dapat memanfaatkannya dengan baik."
Rai tersenyum tipis.
"Kau tahu seleraku, Profesor."
Tapi itu belum selesai.
Profesor berjalan ke meja lainnya dan menarik keluar sebuah alat berbentuk bulat kecil, sebesar koin emas.
"Dan ini… adalah sesuatu yang baru."
Dia menekan tombol di alat itu, dan dalam sekejap, suara geraman mengerikan terdengar dari dalam tabung kaca di pojok ruangan.
Monster Rank D tiba-tiba muncul dalam simulasi holografik, mengaum liar.
"Ini Chimera Lure."
"Dengan alat ini, kau bisa memancing monster-monster Rank D dengan radius 5 km ke lokasi alat ini."
Rai menggenggam Chimera Lure dan Disruptor V2 memikirkan banyak strategi didalamnya.
"Lalu Bagaimana dengan informasi yang kuminta," tanya Rai kepada Ruben.
Ruben memberikan secarik kertas yang berisi data yang diminta Rai.
"Pergilah ke dua tempat itu."
Rai membaca kertas itu dan tersenyum tipis karena semua sudah sesuai rencana.
Sebelum pergi, Rai menoleh ke Profesor dan Ruben.
"Terima kasih."
Profesor hanya tertawa kecil.
"Oh iya ada lagi ini sebuah Cat tembus pandang namanya Phantom Ink dan ini..."
"Tidak terima kasih, aku pergi dulu," potong Rai sebelum Profesor mulai menunjukan banyak alat anehnya.
"Jangan mati terlalu cepat Rai," Seru Ruben dari jauh yang dibalas Rai dengan lambaian tangan.
************************************
Setelah mendapatkan peta dari Ruben Rai segera menuju tempat itu.
Hutan barat Sumatra terasa sunyi, hanya suara dedaunan yang bergesekan dan burung malam yang sesekali berkicau.
Di antara pepohonan yang menjulang tinggi, Rai bergerak dalam bayangan, matanya tajam mengawasi targetnya.
Armand, mantan anggota Iron Fang, buronan Rank A, dia menjadi buronan karena telah memperkosa Player Wanita salah satu kesayangan Damar dan membunuhnya.
Dia bersembunyi di reruntuhan kuil tua, jauh dari peradaban, menghindari kejaran para Guild Iron Fang.
Tapi malam ini, dia bukan pemburu...dia yang akan diburu.
Rai tidak perlu membuang banyak waktu.
Dia sudah memiliki semua data tentang Armand.
Lens V2 miliknya sudah memindai segala kelemahan pria itu.
Dia hanya perlu membiarkan teknologi ini bekerja.
Dari kejauhan, dia melempar granat asap yang bercampur gas memabukkan ke dalam reruntuhan kuil.
Armand yang tengah membersihkan pedangnya langsung tersentak, matanya melebar saat asap pekat menyelimuti tempat persembunyiannya.
"Serangan? Dari siapa?! Guild? Assassin?"
Dia berusaha melompat keluar, tapi sebelum kakinya benar-benar mendarat di tanah, pisau panjang Rai sudah terhunus dari bayangan.
Crasht!
Armand berhasil menangkis, tapi dia terhuyung.
Gas di dalam asap itu mulai bekerja.
Tubuhnya melemah, tangannya gemetar.
Rai tahu titik lemahnya.
Menurut data Lens V2, tubuh Armand sangat rentan terhadap serangan debuff.
Gas tidur saja sudah cukup untuk membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Sialan... kau siapa...?!" Armand menggeram, tangannya sedikit gemetar.
Rai tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.
Serangannya berikutnya lebih agresif. Dengan satu gerakan cepat, dia menusukkan pisau beracunnya ke sisi perut Armand, menghindari armor tipis yang melindungi dada lawannya.
Armand mengerang, tubuhnya melemah, darah mulai merembes keluar.
Bukan hanya dari luka di perutnya, tapi juga dari luka-luka kecil yang mulai terbuka di tubuhnya akibat efek racun.
"Racun..." Armand tersentak. "Bajingan licik...!"
Rai tidak memberinya waktu untuk pulih, dengan satu gerakan, dia meraih kepala Armand dan membantingnya ke tanah.
Brak!
Armand Seketika pingsan.
Saat Armand tersadar kembali, hal pertama yang dia rasakan adalah rasa sakit yang luar biasa.
Tangannya... kakinya...
Tidak ada.
Dia menjerit pelan, matanya melebar saat menyadari tangan dan kakinya telah dipotong.
Darah sudah berhenti mengalir, Rai telah memberinya penawar racun dan menghentikan pendarahan.
Dia tidak akan mati.
Tidak sekarang.
"Ka-kau..."
Suaranya bergetar, rasa takut mulai merayapi tubuhnya.
Rai duduk di hadapannya, menatapnya tanpa ekspresi.
"Bunuh aku..." Armand terengah-engah, suaranya penuh rasa sakit.
"Kalau kau mau balas dendam, lakukan sekarang..."
Rai menggeleng pelan.
"Tidak..." katanya dengan suara tenang.
"Kau belum boleh mati... Belum saatnya."