kehampaan dan kesempurnaan, ada seorang siswa SMP yang hidup dengan perlahan menuju masa depan yang tidak diketahui,"hm, dunia lain?hahaha , Hmm bagaimana kalau membangun sebuah organisasi sendiri, sepertinya menarik, namanya... TCG?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mult Azham, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERCAYA AKAN KEBENARAN
......................
......................
Dunia kembali ke saat sebelum Laila menyerang Azam.
Siuw!
Tiga jarum melesat cepat dari tangan Laila, melewati sisi tubuh Azam.
Azam mengernyit, bingung. 'Apa yang dia lakukan?' pikirnya. Ia segera menoleh ke belakang.
Crrk!
Tiga jarum itu menancap ke tubuh seorang pria dewasa—satu di kepala, dua lainnya di dada.
Azam sedikit bingung, mencoba memahami situasinya. 'Apa dia… mencoba menolongku?'.
Ia kembali menatap ke arah Laila. Gadis itu menyilangkan tangan dan memalingkan wajah, seperti malu.
Azam tersenyum. “Terima kasih.”
Laila bergumam dalam hati, 'Sudah kuduga… ini akan terasa canggung.'
Dengan suara tenang, Azam membuka percakapan,
“Aku tidak tahu namamu, tapi sepertinya kamu masih marah karena—”
“Halo, Tuan!”
Sebuah suara tiba-tiba memotong. Suara itu berasal dari sistem yang sedang Azam genggam.
Azam tersentak. Matanya langsung tertuju pada makhluk kecil di Tangannya.
'Tuan? Tunggu... apa suara itu terdengar juga oleh orang di depanku?'
Ia melirik cepat ke arah Laila yang masih berdiri tak jauh darinya, lalu berkata sambil tersenyum canggung, "Oh, ini... cuma hewan peliharaanku."
Ia tertawa kecil. "Lucu, kan?"
Laila hanya mengangguk pelan, ekspresinya tetap datar.
"Apa kamu tidak mau mengelusnya?"
Azam mencoba mencairkan suasana.
Laila menggeleng pelan, tetap diam.
Azam hanya mengangguk, menerima jawabannya. "Baiklah... kalau begitu, aku pamit dulu," ucapnya sebelum mulai melangkah pergi, meninggalkan gang itu.
Namun, baru beberapa langkah menjauh…
Tap.
Sebuah tangan kecil meraih pergelangan tangannya dari belakang.
Azam tersentak dan menoleh. “Kenapa?”
Laila berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, kedua tangan disembunyikan di belakang, ujung kakinya menggoyang tanah pelan. Ia tampak seperti anak kecil yang malu-malu.
Perlahan, ia mengangkat kepala dan membuat gerakan menulis di udara.
Azam memperhatikan dengan seksama. “Kertas dan pena?”
Laila mengangguk pelan.
“Tapi aku nggak punya kertas atau pena…”
Azam mulai merasa sedikit tidak nyaman. ‘Sistem, bisakah kamu analisis status orang ini?’
(Memproses…)
Nama: Laila Zafira
Umur: 7 tahun
Ranah: ?!?
Keadaan: Bisu
Laila…? Nama itu… kenapa terasa begitu familiar?
Kebetulan? Atau jangan-jangan… dia...?
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari arah lain.
“Dia sedang mencoba mengatakan kalau dia ingin melayanimu.”
Azam langsung menoleh ke sumber suara.
Seorang anak laki-laki berdiri tak jauh dari mereka. Usianya tampak sebaya, namun ada sesuatu yang berbeda—auranya tenang, bahkan terlalu tenang untuk anak seusia nya.
Azam menyipitkan mata. “Siapa kamu?”
Anak itu melangkah maju sedikit, lalu membungkuk anggun—satu tangan di perut, satu lagi di belakang, seperti pelayan dari keluarga bangsawan.
“Maaf atas ketidaksopananku. Namaku Vincent Aldrich.”
Azam menatap Vincent cukup lama, matanya penuh penilaian. Lalu ia perlahan berbalik menatap Laila.
“Kamu kenal dia?”
Laila mengarahkan pandangannya ke Vincent.
Vincent hanya menyeringai santai, lalu memberi isyarat dengan tangan seolah berkata: Bilang saja aku temanmu.
Laila menoleh kembali ke Azam dan mengangguk singkat.
Azam menyipitkan mata, penuh curiga. "Kamu serius mau melayaniku, seperti yang dia bilang tadi? Siapa namanya... Vi... siapa tadi?"
“Vincent,” jawab bocah itu cepat.
“Ya, si Vincent itu.”
Laila mengangguk lagi, tanpa ragu.
Azam menatap Laila cukup lama sebelum bertanya kembali, “Kenapa?”
Belum sempat Laila menjawab, sebuah suara halus seperti telepati menyentuh benaknya.
“Hei Laila, ini aku... Penolong, Vincent Aldrich. Sekarang pikiran kita terhubung. kamu bisa bicara lewat pikiranmu kalau mau.”
Laila terkejut. Suara itu sangat familiar, suara Penolong.
“Apa-apaan ini...? Kenapa dia bertingkah seolah tidak tahu kalau dia yang membuatku jadi seperti ini?”
Vincent menjawab santai, “Aku juga nggak tahu pasti... Tapi untuk sekarang, layani saja dia. Aku akan membantumu. Lagipula... sudah lama aku nggak ngerasain jadi manusia.”
Di saat yang sama, layar sistem muncul di hadapan Azam, menampilkan hasil analisis:
Sistem menganalisis
Memperlihatkan status kepada Host
Nama: Vincent Aldrich
Umur: 7 tahun
Ranah: First Mortal Genesis (Medium)
Azam menyipitkan mata, menatap Vincent penuh curiga.
"Ke—kenapa?" tanya Vincent.
Azam menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Namaku Syarazam, panggil saja Azam," ucapnya tegas, masih diliputi kecurigaan. "Aku nggak bisa langsung percaya pada kalian. Jadi... pergilah sekarang."
...****************...
Beberapa waktu telah berlalu sejak kejadian itu.
Vincent dan Laila terus membuntuti Azam ke mana pun ia pergi. Azam sadar akan hal itu, tapi setiap kali ia menoleh, mereka langsung menghilang, menghindari tatapannya.
Merasa terganggu, sekaligus ingin menguji seberapa serius mereka, Azam memutuskan untuk memberi mereka sebuah misi.
Azam berdiri di atas bukit, tempat yang biasa ia datangi. Dengan suara tegas, ia memanggil:
“Oi, kalian berdua. Kalian boleh muncul sekarang.”
Tak ada jawaban. Hanya angin yang berdesir pelan di antara rerumputan.
Azam menghela napas, lalu melanjutkan dengan nada lebih tenang:
“Apa kalian benar-benar ingin jadi budakku?”
Tiba-tiba, sosok Vincent dan Laila muncul di hadapan Azam.
Vincent langsung berseru penuh keyakinan, “Ya, Tuan!” Wajahnya serius, tubuhnya berdiri tegak tanpa keraguan.
Laila mengangguk singkat dan segera mengikuti sikapnya.
'ai, mereka benar-benar ingin menjadi budak?' pikir Azam, agak terkejut.
Ia berdeham, lalu menatap keduanya dengan tatapan dalam.
“Baiklah,” katanya perlahan, “kalau kalian sungguh-sungguh ingin melayaniku… buktikan.”
Azam menyilangkan tangan, lalu melanjutkan:
“Bawakan sesuatu yang sangat sulit didapatkan di dunia ini.”
Tanpa ragu, Vincent langsung menjawab sambil melakukan sujud hormat ksatria—satu lutut menyentuh tanah dan kepala menunduk rendah. “Baik, Tuan.”
Laila mengangguk cepat, lalu menirukan pose Vincent dengan ekspresi serius.
...----------------...
Malam itu, dengan bulan purnama yang memancarkan cahaya lembut. di atas bukit padang yang luas, Azam merenung sendirian, tenggelam dalam pikirannya.
Langkah ringan terdengar dari belakang. Valeria Noelle mendekat dengan angin malam yang menambah kesan misterius di sekitarnya. Suaranya tenang saat ia bertanya,
“Kenapa tidak langsung menerima mereka saja?”
Azam tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu berkata pelan,
“Aku tidak mengenal mereka…”
Matanya masih menatap jauh ke depan.
“Tiba-tiba datang… bilang ingin melayaniku.”
Ia tak melanjutkan. Kata-kata itu menggantung, cukup bagi Valeria untuk memahami sisanya.
Valeria mengangguk pelan. “Kamu ada benarnya. Nggak sepenuhnya salah... tapi aku yakin mereka jujur, terlepas dari apa pun tujuan mereka.”
Azam menoleh sedikit. “Itu yang dikatakan para hewan?”
Valeria tersenyum kecil. “Tentu saja. mereka bahkan lebih tau sifat atau niat manusia dari pada manusia itu sendiri.”
Ia menatap Azam sejenak. “Tapi, Zam... aku tahu kamu juga percaya pada mereka, walaupun masih bertanya-tanya, ‘kenapa?’”
Nada suaranya lembut. “Kamu cuma... terlalu hati-hati.”
Azam tertawa pelan, senyum kecil muncul di wajahnya. “Itu juga kata para hewan?” godanya.
Valeria menggeleng sambil tersenyum tipis. “Bukan itu maksudku. Aku sudah mengonfirmasi kebenarannya untukmu.”
Ia menatap Azam sebentar. “Bukankah kamu sendiri yang bilang, kamu harus membuka hati untuk menerima kebenaran... supaya bisa menemukan ketenangan?”
Azam mengalihkan pandangannya ke bulan yang bersinar terang di langit malam.
Ia tersenyum tipis. “Kamu benar. Aku akan mempercayai mereka... setelah mereka berhasil menyelesaikan tugas yang kuberikan.”