Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Sayap - Sayap Patah
Walau usia kehamilannya telah memasuki pertengahan trisemester kedua, namun terkadang ia masih sering merasa mual dan ingin muntah. Meski memang tak sehebat saat trisemester pertama kemarin.
Seperti dini hari ini, saat ia harus terbangun karena merasakan mual yang sangat dan ingin muntah, namun justru dikejutkan oleh suara menggumam Rendra yang sedang menerima telepon di sisi jendela kamar, yang terletak agak jauh dari tempat tidur mereka.
Hingga ia selesai memuntahkan seluruh isi perut, Rendra tak kunjung menemuinya di kamar mandi seperti biasa. Masih berbicara di telepon dengan kening berkerut.
Ia bahkan sempat pergi ke pantry untuk menggeprek jahe lalu menyiram dengan air panas kemudian meminumnya, semata-mata untuk mengurangi rasa mual. Namun begitu kembali ke kamar, Rendra masih tetap berbicara di telepon.
Dengan penuh rasa ingin tahu ia pun mendekati Rendra yang kini tengah duduk di sofa, lalu mengelus lengan kokoh itu pelan. "Kenapa?"
"Papa anfal," ujar Rendra dengan wajah datar usai menutup telepon. "Sekarang lagi kritis di ICU."
Menjadi kalimat paling mengejutkan yang ia dengar sepagi ini. Papa yang beberapa waktu lalu masih terlihat segar bugar dan terbahak-bahak di ruang tengah, sekarang dirawat di ICU? Ia bahkan tak berani membayangkan kemungkinan apapun.
"Aku pulang pakai pesawat pertama," ujar Rendra sambil mengelus pipinya.
"Aku ikut."
"Enggak. Suasana lagi kacau disana. Aku nggak mau kamu....kecapean."
"Tapi...."
Kalimatnya terpotong karena Rendra keburu meraih kemudian mencium perutnya yang telah semakin membesar, "Baik-baik sama Mami disini ya sayang, Papi nengok kakek dulu."
Nut
Nut
Nut
Sebuah reaksi tak terduga berhasil mereka dapatkan ketika Rendra mencium perutnya dalam-dalam.
"Eh, perut kamu kok bergerak-gerak?" Rendra menatap perut dan matanya bergantian dengan takjub.
Ia tersenyum sambil mengelus sisi dimana perutnya terlihat seperti ditinju dari arah dalam.
"Eh, lagi?!" Rendra semakin takjub melihat bentuk perutnya mlenyok sana sini karena pergerakan dari dalam. Ya, ini sudah minggu ke 21, memang sudah saatnya si kembar bergerak aktif kian kemari.
"Mereka tahu lagi dipamitin sama Abang," ujarnya sambil terus tersenyum, karena tiap ia menyentuh satu sisi perut, maka tendangan akan mengarah ke tempat dimana ia menyentuhnya. Begitu pula saat ia berpindah untuk menyentuh sisi yang lain, tendangan akan ikut berpindah. Seperti sedang melakukan komunikasi melalui gerak respon. Amazing.
"Wow!" mata Rendra mengerjap senang. "Hai buddy," Rendra kembali mendekatkan mulut ke perutnya. "Are you there?"
Nut
Nut
Nut
Nut
Empat buah tendangan sekaligus menjadi jawaban dari pertanyaan Rendra. Yang kemudian mencium perutnya lembut. "Papi loves you so muchhhh. Baik-baik disini sama Mami ya. Papi nengokin Kakek dulu."
Tiga hari kemudian barulah Rendra pulang ke rumah dengan wajah letih, "Papa udah pindah ke ruang perawatan."
"Alhamdulillah."
"Weekend nanti aku kesana lagi."
Ia mengangguk mengerti.
"Apakabar kesayangan?" Rendra tersenyum saat mengelus perutnya.
Ia pun ikut tersenyum sambil berkata, "Selama Abang pergi, udah nggak muntah lagi."
"Oya?" mata Rendra membelalak senang. "Nah, ini baru jagoan Papi," sambil mencium perutnya dalam-dalam.
Nut
Nut
Nut
Kali ini tiga tendangan sekaligus seakan menjadi upacara penyambutan kepulangan Rendra ke rumah.
Namun belum juga akhir pekan, sebuah dering telepon mengejutkan datang di pagi buta, menjadi isyarat yang tak terbantahkan, "Papa kritis, masuk ICU lagi," ujar Rendra sambil berkemas.
"Aku ikut."
"Enggak, kamu dis...."
"Abang?"
Ia berinisiatif segera menghubungi dr. Mazaya untuk berkonsultasi, "Sebenarnya trisemester kedua waktu paling aman untuk naik pesawat. Asal ibu sehat, tidak perlu memakai surat dokter."
"Tapi memang kebijakan tiap maskapai berbeda. Asal bukan long haul flight masih ada toleransi."
"Namun karena ini kehamilan kembar, sebaiknya saya buatkan surat pengantar ya."
"Nanti begitu sampai disana, sempatkan untuk kontrol ke obgyn terdekat, ini saya buat pengantarnya juga."
Tak sampai lima menit, notifikasi di ponselnya bergetar, memberitahu jika surat keterangan dan pengantar dari dr. Mazaya telah masuk ke email-nya.
Dengan penerbangan pertama mereka pun berangkat menuju Balikpapan. Dari bandara langsung pergi ke rumah sakit tempat Papa dirawat.
Ia langsung tertegun demi melihat begitu banyak selang dan kabel yang menempel di tubuh Papa. Lengkap dengan suara alat yang menderu, dan bunyi teratur yang berasal dari monitor. Membuat suasana terasa semakin mencekam sekaligus menyedihkan.
"Kita ke hotel, biar kamu bisa istirahat," Rendra tersenyum, namun ia tahu -meski hubungan Rendra dan Papa baru membaik belakangan ini- pemandangan yang tersaji di ruang ICU, cukup untuk membuat hati seorang Rendra terpukul.
Begitu mengantarnya sampai ke hotel, Rendra langsung pergi ke rumah sakit lagi. Dengan sederet pesan, "Kunci pintunya."
"Jangan pernah buka pintu kecuali aku yang suruh."
"Nanti aku telepon kamu kalau orang hotel ngantar makan malam."
"Kamu tidur aja duluan, nggak usah nungguin aku."
"Kalau ada apa-apa langsung telepon aku."
"Bilang sama our twins kalau Papi ada urusan sebentar, main-mainnya besok lagi."
Namun yang terjadi justru Rendra yang lebih dulu meneleponnya tengah malam dengan suara lirih hampir tak terdengar, "He's gone."
"Besok pagi Rakai yang jemput kamu ke hotel. Aku mesti ngurus beberapa hal disini."
Dan menurut penuturan Rakai, Rendra adalah orang terakhir yang mendampingi Papa di ruang ICU. Sempat membisikkan dan menuntun kalimat terakhir saat sakaratul maut. Bahkan memandikan dan mengkafani jenazah Papa di pemulasaran jenazah rumah sakit.
Rendra memang tak menangis, namun wajah murung sepanjang upacara pemakaman telah menjelaskan segalanya. Bahwa cinta seorang anak kepada ayah itu nyata adanya. Cinta yang mungkin tak pernah terucap. Cinta yang datang terlambat. Cinta yang berbalut luka kesedihan dan amarah di masa lalu.
Satu per satu orang yang menghadiri pemakaman mulai beranjak pergi. Istri-istri, anak dan cucu, handai taulan, kerabat, sahabat. Meninggalkan sebuah punggung tegap berbalut kemeja putih bersih yang masih terpekur di atas pusara, ialah sang anak yang pernah hilang, Rendra.
"Kamu mau pulang dulu ke hotel? Biar kuantar," tegur Rakai yang ternyata juga masih berada di pemakaman.
Ia menggeleng, "Nunggu Abang."
Rakai mengangguk, lalu bergabung dengan Rendra dan Bang Leo di atas pusara yang masih basah.
Entah berapa lama waktu yang dibutuhkannya untuk menunggu Rendra, yang hingga kini masih duduk terpekur di atas pusara. Namun matahari yang berubah jingga dan mulai tenggelam di ufuk barat, membuatnya terpaksa berdiri menghampiri Rendra. Usai mendoakan kebaikan untuk mendiang Papa, ia mengelus punggung yang tertunduk itu dan berkata, "Kita pulang?"
Rendra tak mengatakan apapun sepanjang perjalanan menuju hotel, bahkan langsung masuk ke kamar mandi dan berdiam lama disana. Begitu keluar, langsung menubruknya yang sedang duduk di sofa memberi kabar terakhir untuk Papah Mamah yang baru bisa terbang esok pagi untuk bertakziah.
"Lemme hug for a while," bisik Rendra yang telah menjatuhkan diri ke dalam pelukannya, sambil menenggelamkan wajah di dadanya. Seolah ingin mencari ketentraman.
Ia pun merengkuh Rendra sambil membelai, berusaha mengalirkan kehangatan yang diharapkan mampu menepis kesedihan. Karena satu sayap elang telah patah. Menyisakan sayap lain yang tengah berusaha keras agar tetap bisa terbang tinggi di angkasa.
Rendra memintanya untuk tinggal selama beberapa hari ke depan. Mengurus semua hal yang harus diselesaikan. Meski tak pernah melibatkan dirinya. Praktis ia hanya berdiam diri menunggu di kamar hotel. Terhitung hanya dua kali Rendra mengajaknya keluar, yaitu saat menemui dokter kandungan terbaik yang ada di sini.
"Bagus, sehat, semua normal," ujar dr. Restu saat melakukan pemeriksaan USG terhadapnya. "Letak plasenta bagus, ketuban banyak, janin juga sehat."
"Nggak ada keluhan kan?" tanya dr. Restu.
"Enggak Dok," jawabnya yakin.
"Jadi aman ya Dok untuk melakukan penerbangan lagi?" kini giliran Rendra yang bertanya.
"Kapan terbangnya?"
"Mungkin dua atau tiga hari ke depan."
"Kalau kondisinya masih sama seperti sekarang, aman. Kecuali jika ibu ada keluhan seperti kaki membengkak atau perut terasa tegang, itu tandanya ada kontraksi."
"Asal dijaga asupan nutrisinya ya Bu, terbang selama satu sampai dua jam masih aman."
Dan saat mengajaknya menemui Papah Mamah yang telah sampai di rumah keluarga Darmastawa untuk menyampaikan bela sungkawa.
Papah Mamah bahkan tak sempat menginap, jam tiga sore sudah kembali ke bandara untuk terbang ke Jogja, dan pulang ke Purwokerto.
Diluar dua kesempatan itu praktis ia hanya berdiam diri di hotel. Menunggu Rendra yang selalu pulang larut malam dengan wajah letih. Entah sedang menyelesaikan apa hingga sampai seserius ini. Dan saat ia mulai merasa bosan karena hanya menunggu, Rendra berkata, "Besok kita pulang."
"Urusan Abang udah selesai?"
Namun Rendra tak menjawab. Belakangan ia ketahui dari tumpukan kertas fax yang berserakan di atas meja kerja Rendra, jika beberapa anggota keluarga Darmastawa telah resmi melaporkan Rendra atas tuduhan memalsukan surat wasiat dan penipuan serta penggelapan harta mendiang Andi Rahmat Darmastawa. Satu dari sekian hal yang sempat Rendra khawatirkan saat Papa bersikeras memberikan semua.
Dan as usual as always, Rendra sama sekali tak pernah membahas hal tersebut dengannya. Rendra bahkan selalu berusaha tersenyum dan tertawa tiap kali mereka bersama. Namun kepergian Rendra hampir seminggu tiga kali ke Balikpapan untuk kemudian pulang dengan wajah letih, membuatnya tak mampu untuk menahan diri.
"Abang kapan ke Balikpapan lagi?" tanyanya saat Rendra sedang memijat kakinya yang membengkak dan mulai sering pegal di awal tri semester ketiga ini.
Rendra hanya mengangkat bahu dengan gaya malas, lebih memilih asyik mencampurkan minyak pijat tanpa aroma dan essential oils lavender, lalu menggosokkan ke pergelangan kakinya dengan lembut.
"Kalau ada masalah tuh cerita, jangan dipendam sendiri," lanjutnya memandang Rendra yang tengah konsentrasi memijat kakinya dengan gerakan lembut.
"Oiya lupa, kemarin ada kiriman voucher dari salon ceweknya Darrel. Prenatal maternity care gitu. Lupa malah ketinggalan di kantor. Besok kubawa ya," Rendra berkata sambil terus menunduk, melakukan gerakan memijat keatas dengan lembut.
"Jangan ngeles," ia mulai kesal dengan munculnya gaya pertahanan diri Rendra saat terdesak, ngeles kayak bajay.
"Kamu mau diantar kapan? Besok ada kuliah nggak? Kayaknya enak tuh dapat perawatan, biar kamu bisa me time," Rendra terus saja memijat kaki tanpa melihat kearahnya.
"Jadi Abang nganggap aku nggak layak buat diajak diskusi?!" suaranya mulai meninggi.
Rendra masih pura-pura sibuk memijat, tak menjawab.
"Terus apa gunanya posisi sebagai istri, kalau nggak diajak ngobrol tentang masalah yang lagi dihadapi sama suami sendiri?"
"Suaminya ngobrol sama siapa buat nyari solusi? Orang lain? Cewek lain?"
Rendra menatapnya sambil berusaha tersenyum, "Kamu lebih dari layak buat jadi teman ngobrol."
"Terus kenapa Abang diam aja?!"
"Kamu nggak usah mikir macam-macam," Rendra kembali menunduk untuk memijat kakinya. "Cukup jaga diri, jaga kesehatan, buat anak-anak kita. That's it, that's all."
"Terus masalah Abang?"
"I can fixed it," Rendra tersenyum sambil terus menunduk. Membuatnya tertawa kesal.
"Kenapa ketawa?" kali ini tawa sumbangnya berhasil membuat Rendra menatapnya.
"Abang tuh mantan player yang nggak bisa bohong," cibirnya kesal. Kini giliran Rendra yang terkekeh.
"Oke...oke....bisa bantu aku nggak?" Rendra menatapnya serius.
"Tentang?"
"Kasih aku ruang dan nggak nanya-nanya lagi," Rendra masih menatapnya sungguh-sungguh. "Karena semua udah diurus sama lawyer Papa. Dan ini sama sekali bukan tentang kita. Aku nggak mau kita jadi berantem gara-gara hal nggak penting kayak gini."
"Nggak penting gimana?!" ia justru meradang. "Dilaporkan resmi ke Reskrim Abang bilang nggak penting?!"
"Aku udah mau masuk trisemester ketiga, udah mau melahirkan, terus Abang kena masalah kayak begini, dibilang nggak penting?!" ia semakin menggeram.
"Aku mau melahirkan ditemenin Abang. Aku nggak mau kalau sampai anakku lahir justru nggak bisa lihat Abang! Aku ng...."
"Sssh," Rendra mengernyit. "Too much sweetie...."
"Too much?! Abang pikir aku lebay? Iya? Abang anggap aku berlebihan?!" entah mengapa emosinya mendadak berubah menjadi meledak-ledak.
"Abang sayang nggak sih sama aku? Cinta nggak sih sama aku?! Sampai keinginanku buat ditemenin waktu lahiran dianggap lebay?!" dalam sepersekian detik ia merasa telah berubah menjadi orang lain yang childish dan annoying. Matanya bahkan sudah mulai berkaca-kaca.
Rendra memandangnya tak percaya sekaligus mengeraskan rahang menahan kesal. Lengkap dengan mata berkilat-kilat yang sangat dikenalnya. "Kenapa jadi melebar kemana-mana?"
"I'm okay and i'm fine. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan tentang aku," Rendra masih menatapnya tajam sambil menghela napas. "Ini tuh nggak seperti yang kamu bayangkan. Just take easy."
"Dan aku minta kamu nggak stalking meja kerjaku lagi. Itu area pribadi."
Kalimat terakhir Rendra sukses membuat matanya menganak sungai kemudian terisak, namun memaksakan diri untuk berkata, "Aku istri Abang, bukan stalker kayak cewek-cewek ganjen yang suka ngechat random ke Abang!"
"What?!" kini Rendra menatapnya dengan wajah penuh amarah yang tak dapat disembunyikan. Kemudian menghela napas dan mendecak kesal.
"Aku cape," Rendra menyimpan kakinya dengan perlahan keatas sofa, kemudian berdiri lalu beranjak pergi.
"Dan aku nggak stalking!" geramnya sambil mengatur napas antara isakan dan emosi. "Itu kertas berserakan di atas meja. Tanpa harus di teliti satu-satu udah bisa kebaca apa isinya!"
"Lain kali kalau nggak mau orang lain baca di area pribadi, beresin tuh meja, jangan berantakan!"
Namun Rendra tak menggubris, lebih memilih untuk mengambil bantal dan selimut. "Kamu bener-bener perlu waktu buat sendiri," ujar Rendra sambil membuka pintu. "Malam ini aku tidur di luar."
Begitu Rendra keluar dari kamar, ia langsung melempar bantal sofa dengan penuh kekesalan kearah pintu yang telah tertutup rapat. Kemudian menangis sejadi-jadinya.
Dan pagi ini Rendra tak menyapanya saat mereka bertemu di meja makan untuk sarapan. Rendra bahkan hanya menjawab dengan satu kata singkat bernada datar, "Iya," atau "Nggak," saat Mba Suko dengan ceriwis bertanya banyak hal.
Ia yang masih kesal jadi bertambah kesal. Dan memilih untuk melancarkan gerakan tutup mulut ketika akhirnya Rendra bertanya dengan suara paling datar, "Kamu mau bareng apa berangkat sendiri?"
Ia pura-pura tak mendengar, malah asyik ngobrol hal remeh yang sama sekali nggak penting dengan Mba Suko. Dan saat Rendra masih berdiri mematung menunggu jawaban, ia telah berjalan keluar menuju mobil untuk kemudian meluncur pergi tanpa menghiraukan Rendra yang memanggil namanya.
Apa-apaan! Terus terang ia trauma dengan kejadian masa lalu dimana Rendra tak mau berterus terang tentang masalah yang menimpa lalu tiba-tiba boom! Bom meledak diantara mereka berdua meluluhlantakkan segalanya.
Dan sekarang, setelah sekian lama, Rendra kembali dengan kebiasaan lama yaitu tak mau berterus terang? Ia pun menghembuskan napas kesal, benar-benar definisi dari tak ada seorangpun yang bisa merubah orang lain, bahkan dengan ikatan pernikahan sekalipun. Jika tetap bersikeras, hanya akan berakhir dengan kekecewaan dan kemarahan, seperti dirinya sekarang ini.
Dan hari ini harus ia lalui dengan kekesalan sepanjang hari sekaligus himpitan rasa bersalah, karena telah bersikap buruk terhadap Rendra. Terlebih saat jam istirahat, datang kiriman makan siang spesial untuknya.
Rendra. : 'Makan yang banyak ya.'
Rendra. : 'I love you.'
Namun ego dan gengsi lebih berkuasa atas diri, yang berhasil membuatnya mengacuhkan pesan chat dari Rendra. Pun saat jelang sore Rendra kembali bertanya melalui chat,
Rendra. : 'Ada kuliah nggak?'
Rendra. : 'Kalau nggak, kita jalan.'
Lagi-lagi tak dihiraukannya. Lebih memilih diam seribu bahasa dan pergi ke kampus untuk mengikuti perkuliahan. Namun untung tak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Karena tumpukan rasa tak nyaman justru membuat fokus pikirannya terganggu. Hingga saat ia sedang pergi ke toilet, tak melihat ada genangan air di dekat wastafel, alhasil membuatnya tak mampu menjaga keseimbangan tubuh, dan akhirnya jatuh terpeleset.
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu