Ketika Maya, pelukis muda yang karyanya mulai dilirik kolektor seni, terpaksa menandatangani kontrak pernikahan pura-pura demi melunasi hutang keluarganya, ia tak pernah menyangka “suami kontrak” itu adalah Rayza, bos mafia internasional yang dingin, karismatik, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
“Tapi kita…” Aku mulai bicara sambil gigit bibir bawahku, nahan diri. Aku pengen bilang kalau kita tuh nggak punya rasa apa-apa satu sama lain. Kita bukan pacaran… jadi kenapa…
Tapi terus kepikiran, mungkin aja Rayza udah biasa ngelakuin hal beginian sama cewek lain. Dari yang aku lihat, kayaknya dia punya banyak banget kenalan cewek dan sering main tanpa ikatan…
“Udah deh, jangan terlalu mikir. Nikmatin aja hukumanmu,” kata Rayza sambil ngelus alisku pelan, ngeringin kerutan di dahiku.
Di saat itu, entah kenapa aku sempet mikir, mungkin dia beneran peduli sama aku. Tapi pikiran itu langsung hilang secepat datangnya. Nggak mungkin Rayza peduli…
Tangannya narik bagian cup br_-ku satunya lagi dan mulai mijetnya. Aku nggak bisa nahan lagi, suara eranganku makin keras pas tangannya makin liar. Rasanya campur aduk, sensasinya bikin badan gemetar, dan aku bisa ngerasain tubuhku makin responsif. Aku tahu... aku makin lembap karena itu.
“Aku pake ini aja deh… jadi tangan ku bisa dua-duanya fokus manjain kamu,” katanya dengan tatapan iseng.
Dia cepet-cepet lepasin dasi hitam dari lehernya. Aku sempet kaget waktu dia pake dasinya buat ngiket kedua pergelangan tanganku. Tapi dia nggak ngiketnya terlalu kenceng sih, jadi nggak nyakitin. Tapi cukup kuat buat bikin aku nggak bisa kabur, meski udah nyoba narik sekuat tenaga.
"Ahh... ahh... ahhhh!" Aku mendesah terus-menerus sambil menggeliat, punggungku melengkung refleks saat tubuhku merespons sentuhannya.
"Kamu emang Jal_ng kecil yang bandel, Maya. Suaramu makin... hmm, 'bersemangat'," kata Rayza sambil nyengir puas.
Aku benar-benar nggak bisa mikir jernih lagi. Badanku kayak meleleh karena setiap sentuhannya bikin aku ngambang. Sekarang tangan Rayza bebas jelajahi tubuhku pergelangan tanganku udah terikat. Kedua tangannya langsung nangkep 'aset'-ku dan meremasnya bersamaan. Aku refleks menjerit karena rasanya campur aduk: geli, nikmat, dan bikin gemetar.
Aku ngelihat wajah Rayza yang cakep banget itu, dia juga terus memperhatikan reaksiku. Jari-jarinya main-main sama bagian sensitifku diputer, dijepit, ditarik pelan dan aku makin nggak karuan. Rasanya... aduh, kayak mau meledak. Dia beneran tahu cara bikin orang nyaris lupa diri.
Rayza ngeraih bagian bawah tubuhku, ngelepas br_-ku dan ngebuka seluruh bagian atasku. Sekarang semuanya terlihat jelas di matanya yang... yah, bisa dibilang penuh rasa lapar. Dia menatapku dari atas ke bawah seolah aku kue tart super enak yang udah ditungguin seharian. Tatapannya bikin jantungku berdetak nggak karuan.
Aku masih diliputi euforia pas sadar kalau Rayza mulai buka celana jinsku. Dia lepasin semuanya dengan cepat agak kasar malah. Nggak lama, celana dan dalemanku udah nyempil di lantai, dan aku cuma bisa rebahan di bawahnya dalam kondisi polos total.
Ini bukan pertama kalinya dia ngelihat aku kayak gini. Tapi ini pertama kalinya aku benar-benar ‘terperangkap’ di bawah tubuh Rayza dan nggak bisa ngapa-ngapain karena tanganku terikat di atas kepala.
"Rayza... please... cukup..." bisikku lirih. Aku beneran takut kehilangan kendali. Aku bingung sendiri.
Tubuhku, sih, udah kayak nyerah dan pengen nyatu sama dia. Tapi hati kecilku masih ragu. Aku nggak mau semuanya jadi berlebihan. Tapi kalau Rayza beneran maksain... aku tahu aku nggak akan bisa melawan. Bahkan dalam kondisi normal pun, dia terlalu kuat.
Apalagi sekarang... aku beneran nggak bisa gerak.
"Kamu bilang gitu... tapi kamu yakin beneran pengen aku berhenti?" tanya Rayza dengan suara pelan, agak nakal.
Tangan Rayza yang besar menyentuh lututku, lalu perlahan menyelinap ke antara kedua kakiku dan mulai mendorongnya terbuka. Aku bisa merasakan... yah, bagian pribadi itu seperti ikut meregang saat dia membuka kakiku makin lebar. Tubuhku refleks bergetar, aku menggeliat setengah malu, setengah terjebak dalam rasa yang sulit dijelaskan.
"Enggak... Rayza..." bisikku pelan, aku memalingkan wajahku ke samping. Wajahku sudah pasti semerah buah naga sekarang.
Tangannya yang hangat dan tegas mulai menjelajah naik, menyusuri bagian dalam pahaku. Rasanya bikin jantungku deg-degan kayak disiram jus mangga dingin pas siang bolong. Aku benci... betapa tubuhku justru bereaksi berlebihan setiap kali dia menyentuhku. Aku benci karena aku ingin... tapi juga takut.
Dengan suara pelan, tapi penuh niat, Rayza berbisik, "Sebagai hukuman karena berani-beraninya nyelonong ke kamarku tanpa izin… mulai hari ini, kaki kananmu jadi milik ku."
Dia lalu menunduk dan mengecup lembut bagian dalam pahaku. Aku terkesiap, seluruh tubuhku bereaksi instan. Ciumannya berlanjut lebih panas, lebih dalam. Dia mengisap kulitku kuat-kuat, seperti mau ninggalin cap-cap milik. Aku nggak bisa menahan suara lirihku saat dia terus bermain di sana, bikin area itu serasa dialiri listrik dari kepala sampai ujung jari kaki.
Rayza cekikikan pelan, seolah puas banget ngelihat reaksiku. Tangannya masih di paha bagian dalamku, dan dia semakin dekat ke pusat rasa yang bikin aku ngilu nahan gejolaknya.
"Ahhh..." aku nyaris menjerit waktu ujung jemarinya akhirnya menyentuh bagian yang... ya, sebut aja 'buah semangka'. Hangat, basah, dan terlalu sensitif.
"Katanya nggak mau, tapi ‘semangkanya’ udah kebanjiran gini," godanya sambil gerakin jarinya pelan, naik-turun dengan irama yang menggila.
"Ahh... ahhhh..." Aku melengkungkan pinggulku, refleks mengejar sentuhannya, mendorong bagian itu ke arahnya, minta digigit rasa lagi. Aku butuh lebih. Aku mau lebih.
Aku bahkan berharap dia masukin jarinya yang tebal dan panjang itu ke dalam... dan bikin pikiranku kosong. Aku ingin dia bikin aku meledak dalam klimaks yang nggak tertahan.
"Yuk, minta dong. Minta Aku lepasin kamu," suara Rayza terdengar pelan tapi dalam. Matanya hitam pekat, tajam, seperti macan yang siap menerkam mangsa terus mengunci mataku.
"Rayza..." bisikku lirih, nyaris tanpa suara. Nafasku berat. Aku udah kelelep dalam semua rasa ini.
"Aku suka banget pas kamu manggil nama ku sambil ngedengus gitu," ucapnya sambil nyengir penuh arti.
Ujung jemari Rayza akhirnya nemu bagian paling sensitif dari tubuhku 'biji kelengkeng' yang udah bengkak dan berdenyut karena terlalu lama ditahan. Dia mulai memainkannya, lembut tapi... astaga, terasa menggila. Saat dia mencubitnya pelan, tubuhku langsung menegang, dan aku nggak bisa nahan jeritanku.
"Ahhh!" teriakku, lebih keras dari yang kupikir. Baru sadar... kami lagi di ruang tamu.
Di. Ruang Tamu.
Tempat di mana pembantu sering lalu-lalang. Tempat di mana Bibi kadang duduk baca majalah. Tempat di mana para tamu ya ampun, para pria bisa muncul kapan aja. Tapi semua kekhawatiran itu langsung... puf! Hilang secepat angin.
Rayza makin liar. Jemarinya makin cepat, makin kuat. Dia nggak cuma membelai, sekarang udah kayak muterin 'kelengkeng' itu seolah lagi ngulik tombol rahasia. Dia bahkan sempat narik pelan-pelan, dan tubuhku nyaris ambruk. Rasanya... luar biasa. Nggak ada yang pernah nyentuh aku kayak dia.
Tubuhku gemetar. Lemes. Aku sampai mikir, “Apa aku bakal pingsan gara-gara ini?” Karena, serius, otakku udah nyerah duluan.
"Rayza..." bisikku lirih banget, antara minta tolong dan minta tambah. Napasku pendek-pendek, nadaku tercekat.
"Kamu makin juicy aja. Cairan ben_ngmu... udah kayak sirup leci," bisiknya nakal.
Omongannya jelas nggak sopan. Tapi, herannya, bukannya bikin aku kesal... aku justru makin terbakar. Apa aku udah gila? Atau... aku memang suka dibawa ke titik kegilaan ini?
"Ahhh... ahhhh!" eranganku makin keras saat tubuhku mencapai puncak.