Restu? lagi-lagi restu yang jadi penghalang, cinta beda agama memang sulit untuk di satukan, cinta beda alam juga sulit untuk di mengerti tetapi cinta terhalang restu berhasil membuat kedua belah pihak dilema antara maju atau mundur.
Apa yang akan dipilih oleh Dirga dan Klarisa, karena cinta terhalang restu bukanlah hubungan yang bisa dikatakan baik-baik saja untuk keduanya.
Ikuti kisah mereka didalam novel yang bertajuk "Melawan Restu".
Salam sehat
Happy reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Goresan_Pena421, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melewati masa kritis
Akibat luka tusukan yang dialami Dirga, ia kehilangan banyak darah walaupun Dirga memang sangat kuat ketika tertusuk masih bisa mencabut pisau dengan tangan tangannya sendiri, masih bisa berbicara sepatah dua patah kata, namun saat Klarisa datang ia melemah, karena ia janji tidak akan pernah beradu otot lagi, namun kali ini situasinya berbeda, Dirga tengah dalam misi menyelamatkan kekasihnya dari bahaya yang terus mengintai Klarisa.
Demi menjaga Klarisa bahkan Dirga rela jika harus kehilangan nyawanya.
Klarisa termenung menatap Dirga yang ada di ruang ICU setelah dokter selesai menangani Dirga, ia langsung dipindahkan ke ICU.
Klarisa berdiri kaku di depan kaca ruangan ICU. Tatapannya kosong menembus dinding bening itu, memandangi sosok lelaki yang kini terbaring lemah dengan berbagai selang menempel di tubuhnya. Setiap detik terasa seperti hantaman di dada, setiap bunyi alat monitor jantung seolah menegaskan betapa rapuhnya waktu yang mereka miliki.
Dirga, lelaki yang selama ini terlihat begitu tangguh, kini hanya bisa bernafas dengan bantuan alat. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan tangannya yang dulu hangat menggenggam jemari Klarisa kini diam tanpa daya.
Klarisa menatapnya sambil menahan tangis yang nyaris pecah. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba kuat, tetapi matanya sudah berkaca-kaca.
“Dirga…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Ia masih tak percaya, bahwa lelaki itu yang selalu melindunginya kini harus berbaring tak berdaya karena menyelamatkan dirinya.
Pintu ruangan terbuka perlahan. Seorang perawat menghampiri, memberi tahu bahwa kini pasien sudah boleh dijaga, asal tidak terlalu lama dan tidak membuat gaduh. Klarisa hanya mengangguk cepat, tanpa pikir panjang ia melangkah masuk.
Udara di dalam ruangan dingin dan tenang. Bau antiseptik menusuk hidungnya, tapi ia tidak peduli. Perlahan ia duduk di kursi di samping ranjang Dirga. Jemarinya gemetar saat menyentuh tangan Dirga yang terasa dingin.
“Sayang, aku di sini,” ucapnya lirih. “Kamu denger aku, kan? Kamu udah janji, kamu nggak akan pergi ninggalin aku…”
Air mata itu akhirnya jatuh juga. Klarisa menunduk, mencium punggung tangan Dirga berkali-kali.
“Aku nggak peduli kamu lemah sekarang, yang penting kamu hidup, Dirga. Aku cuma mau kamu bangun,” katanya dengan suara serak.
Dirga tak memberi respon, hanya napasnya yang terdengar berat, naik turun di antara suara mesin. Namun di sela-sela keheningan itu, seolah jemari Dirga bergerak sedikit, membuat Klarisa tertegun.
“Dirga? Kamu denger aku?” tanyanya cepat, berharap itu bukan hanya halusinasi.
Mata Dirga masih terpejam, tapi monitor jantungnya sedikit berubah ritmenya. Klarisa tahu, di dalam sana, Dirga masih berjuang. Ia masih berpegang pada janji—bahwa selama ia masih bernapas, ia tidak akan pernah membiarkan Klarisa terluka.
Klarisa mengusap wajahnya, mencoba tersenyum di antara tangis. “Aku tahu kamu kuat. Tapi kali ini, biar aku yang jaga kamu, ya? Kamu udah cukup berjuang buat aku.”
Hening kembali memenuhi ruangan. Hanya suara mesin dan detak lembut yang menemani mereka. Di luar, malam semakin pekat, tapi di hati Klarisa, harapan mulai tumbuh. Ia percaya, lelaki itu tidak akan menyerah. Tidak setelah semua yang mereka lewati.
Tangannya masih menggenggam erat tangan Dirga. “Bangun, cinta… Aku butuh kamu.”
Dirga mengerjap pelan. Mata itu terbuka sedikit, menatap samar ke arah gadis yang dicintainya. Klarisa terisak bahagia, menunduk, dan berbisik dengan suara bergetar,
“Terima kasih… kamu nggak ninggalin aku.”
Detak jantung di layar kembali stabil, seolah menjawab doanya. Malam itu, di ruang ICU yang dingin dan sunyi, cinta mereka sekali lagi menang melawan maut.
Eaakk🤭😂