NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Jenis Luka yang Berbeda

Langit siang terasa membakar, dan panasnya menembus hingga ke dalam rumah berdinding papan itu. Angin berembus lewat celah-celah dinding hanya membawa debu, bukan kesejukan. Di dalam rumah kecil berlantai semen kasar itu, suasananya terasa jauh lebih panas dari matahari yang menggantung di luar sana. Amarah yang menggelegak, menghilangkan kewarasan.

"AKU CUMA MINTA SEDIKIT! KENAPA PELIT BANGET SIH, HAH?!" teriak pria itu, suaranya menggema, berat dan sengak, baunya menyengat seperti alkohol murahan.

Sarah berdiri tegak di depan dapur, menggenggam dompetnya dengan erat, tersembunyi di balik celemek lusuh yang sudah mulai pudar warnanya. Wajahnya yang lelah tak menyisakan sedikit pun rasa takut. 

Seperti petir yang memecah langit, tekad di matanya jauh lebih tajam daripada keriput yang menghiasi kulitnya. Dia tahu, lelaki itu tidak akan pernah mengerti betapa kerasnya ia berjuang untuk setiap sen yang ia punya. Bahkan uang yang ia genggam di tangan ini, meski tak banyak, adalah hasil dari perjuangan panjang yang tidak akan ia biarkan dicuri begitu saja.

Setiap embusan napasnya penuh dengan keteguhan.

Tidak ada ruang bagi kelemahan atau penyesalan. 

Apa pun yang terjadi, dia tidak akan menyerah.

"Kalaupun aku ada uang. Uang itu buat bayar listrik, buat makan, dan buat sekolah Rafa! Kau selalu pulang hanya untuk meminta uang dariku! Kalau kau mau uang, cari sendiri! Jangan terus menyusahkanku!" tegasnya, yang sudah benar-benar muak dengan kelakuan suami yang tidak tahu diri itu.

Pria itu tertawa sinis mendengar istrinya yang mulai berani menjawab. Matanya yang merah, keruh di bawah pengaruh alkohol, cukup untuk membuat siapa pun gentar. Namun, sekarang tidak lagi baginya. Tawa itu tak lagi menakutkan sama sekali. Dia hanya seorang pria tak berguna, yang bisanya cuma main tangan. 

"Anak itu? Sekolah tinggi-tinggi buat apa?! Nanti juga jadi sampah masyarakat, sama kayak emaknya!"

Sarah maju satu langkah, wajahnya memerah. Tangannya terkepal dengan kuat. Hati yang telah lama bersabar itu akhirnya terbakar juga. 

Ia sudah terbiasa menerima caci maki, tapi tidak untuk Rafa. Anak itu adalah satu-satunya alasan ia masih bisa berdiri dan bertahan dari kerasnya dunia sampai detik ini, terutama dari perlakuan suaminya yang selalu menciptakan neraka setiap hari. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh anaknya, apalagi menghinanya.

Tidak, atau dia akan menggila sepenuhnya!

 "Kalau kamu mau hina aku, silakan! Tapi jangan bawa-bawa Rafa!"

"Dasar istri nggak berguna! Kau sudah berani melawanku, ya?! Kalau kau tidak mau bilang di mana kau sembunyikan uangnya, aku akan mencarinya sendiri!" Pria itu menggeram, dipenuhi dengan amarah yang membara. Sementara tangannya dengan kasar mendorong tubuh Sarah dengan kasar. 

Sarah terhempas keras ke lantai, bahunya membentur pinggiran meja hingga nyeri yang tajam menjalar di sekujur lengan. Ia mengaduh pelan, tubuhnya meringis menahan sakit, tapi matanya tetap menatap ke arah suaminya—memprediksi apa yang akan lelaki tak berguna itu lakukan selanjutnya.

Sebelum sempat ia bangkit, sesuatu yang tak terduga terjadi. 

Seorang anak kecil—sekitar delapan tahun—tiba-tiba muncul dari tempat persembunyiannya. Ia berlari ke arah ayahnya yang payah itu dengan secepat kilat. Di balik mata yang basah dan bergetar itu, berkobar amarah dan kebencian—perasaan yang seharusnya tak dimiliki oleh seorang anak seusianya. Ia tak menunjukkan sedikit pun rasa takut atau gentar saat menghantamkan tinjunya ke tubuh sang ayah dengan segenap tenaga yang ia miliki.

"JANGAN SAKITI BUNDA LAGI!" teriaknya lantang, menggema di antara ketegangan yang membekukan udara.

Pukulannya memang tak cukup kuat untuk menyakiti, tapi cukup untuk membakar amarah pria itu berkali lipat.

"Bocah kurang ajar!" desisnya geram. Ia berbalik, lalu menampar wajah Rafa dengan keras. Tamparan yang berhasil membuat tubuh kecil itu terpental dan jatuh menghantam lantai.

"RAFA!!" jerit Sarah panik. Ia segera bangkit dan berlari menghampiri anaknya, air mata mengalir deras melihat luka yang kini menimpa buah hatinya.

Ia langsung memeluk Rafa—anak itu sama sekali tidak menangis. Sebaliknya, sorot matanya justru menyala, dipenuhi keberanian yang tak biasa. 

Tatapan itu—tatapan yang diwarisi dari bundanya—terlihat begitu tegas, nyaris seperti meremehkan. 

Bagi si pria, pandangan itu bagaikan cambuk, mengoyak egonya dan membuat amarahnya meledak tak terbendung.

Dengan kasar, pria itu melanjutkan aksinya yang sempat terhenti. Ia membuka lemari pakaian dan mengobrak-abrik isinya, melemparkan satu per satu ke lantai. Namun, tak menemukan apa-apa di sana.

"Kau takkan menemukan apa pun! Semuanya sudah kau habiskan!" bentak Sarah. Suaranya melengking—perpaduan antara keputusasaan, kemarahan, dan kelelahan yang menumpuk. Ia sudah berada di ujung tanduk, batas kesabarannya nyaris runtuh.

"Kalau begitu, akan kubakar saja pakaian tak berguna ini! Kau perlu diberi pelajaran. Kalian berdua—istri dan anak sama-sama urang ajar!" ancamnya, selalu diakhiri dengan umpatan.

"Tidak! Kau benar-benar suami yang biadab!"

Teriakan Sarah menggema di udara, namun tak digubris sedikit pun. Lelaki itu tetap bergeming, seolah tuli terhadap jeritan pilu yang keluar dari mulut istrinya. Para tetangga hanya bisa menatap dari kejauhan. Mereka sudah terlalu sering menyaksikan keributan dari rumah itu—terlalu sering, hingga tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain menunggu.

Keinginan untuk menolong sebenarnya besar. Tapi mereka tahu, pria itu bukan seseorang yang bisa didekati dengan cara biasa. Pernah ada yang mencoba membela Sarah; hasilnya, orang itu pulang dengan wajah lebam dan darah mengucur dari pelipis. Apalagi saat pengaruh alkohol menguasai pikirannya—saat itulah ia menjadi makhluk tanpa kendali maupun nalar.

Mereka hanya bisa menunggu waktu yang tepat. Setidaknya, sampai pria itu pergi. 

Lelaki itu kini berdiri di halaman depan, dengan wajah bengis dan mata merah membara. Segunung pakaian telah dilemparkannya ke tanah. Di tangannya, sebotol minyak tanah tergenggam. Dengan tangan gemetar tapi penuh nafsu, ia menyiramkan cairan itu ke tumpukan pakaian—baju harian, jilbab, bahkan pakaian Rafa. Lalu, tanpa ragu, ia lemparkan korek api.

Api segera menyambar, liar dan rakus. Lidah-lidah merah menjilat kain-kain itu tanpa ampun. Bara kecil menjalar cepat, membentuk kobaran besar yang memekakkan telinga dengan gemuruhnya. Asap hitam tebal mengepul tinggi, mencemari langit siang yang tadinya cerah. 

Saat melangkah keluar dengan niat menghentikan kegilaan suaminya, yang pertama kali dilihat Sarah bukan wajah pria itu, melainkan sang jago merah—menari liar di halaman rumah, melahap pakaian mereka tanpa ampun. Pemandangan itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Kakinya goyah, dan ia jatuh terduduk di tanah, tubuhnya lemas seketika.

Rafa yang melihat ibunya seperti itu, segera menghampiri dan memeluknya erat dari samping. Bocah delapan tahun itu tak berkata apa-apa, hanya memeluk dalam diam, mencoba menjadi penyangga bagi ibunya yang sedang runtuh. Meskipun masih kecil, Rafa tahu... pelukan itu lebih dari cukup untuk mengatakan: "Aku di sini, Bu. Kita akan baik-baik saja."

Sarah membalas pelukan anaknya dengan kekuatan terakhir yang ia miliki. Kali ini, bukan sekadar pelukan. Itu adalah tekad. Dalam dekapan itu, ia menyadari satu hal: ia harus pergi. Harus keluar dari rumah yang telah berubah menjadi neraka ini. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk Rafa—putra yang ia cintai melebihi nyawanya sendiri.

Setelah lelaki itu pergi, warga mulai berdatangan satu per satu—ada yang datang karena benar-benar ingin membantu, ada pula yang hanya sekadar ingin menunjukkan simpati. Mereka akhirnya tak bisa menutup mata atas apa yang terjadi pada Sarah dan anaknya. Jika dibiarkan terus menerus, Sarah dan putranya bisa saja berakhir tinggal nama di atas nisan.

Sarah dipapah masuk ke rumah oleh beberapa wanita paruh baya. Air putih disodorkan ke tangannya yang gemetar. Beberapa dari mereka mencoba menghibur, mengucap kata-kata klise seperti "sabar ya, Bu Sarah" atau "nanti juga ada jalan." Padahal, di dalam hati mereka tahu—kata-kata itu tidak pernah cukup untuk menahan luka yang membusuk selama bertahun-tahun.

Seorang perempuan datang belakangan. Ia tidak membawa basa-basi. Wajahnya serius. Ia duduk di samping Sarah dan bertanya pelan dengan suara yang tegas, "Saya dengar apa yang baru saja terjadi. Bu Sarah, Ibu tidak perlu bertahan di sini lagi. Ini sudah terlalu berbahaya. Kalau Ibu tetap di sini, Ibu dan juga Rafa bisa celaka. Apakah Ibu punya tempat tujuan?"

Sarah menunduk. "Tidak ... aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Aku tidak mau mati di tangan pria itu. Aku tidak ingin anakku kenapa-napa lagi."

Matanya sembab, tetapi kini mulai menyala oleh tekad yang tak pernah muncul selama bertahun-tahun. "Saya akan pergi. Jauh, sejauh mungkin dari tempat yang sudah seperti neraka ini."

Wanita itu mengangguk pelan. Ia membuka dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah muda, dan menyerahkannya ke tangan Sarah yang gemetar. "Gunakan ini untuk bertahan. Tidak banyak, tapi cukup untuk mulai semuanya dari awal. Jika nanti Ibu membutuhkan bantuan saya lagi, Ibu bisa menghubungi saya kapan saja. Ini nomor hp saya."

"Terima kasih, Ibu Ines. Tapi ini sudah lebih dari cukup. Saya tidak akan melupakan kebaikan ibu hari ini. Saya akan membalasnya suatu hari nanti."

"Tidak perlu sampai seperti itu, Bu. Yang penting Ibu dan Rafa selamat. Hanya itu saja keinginan saya."

Sarah memeluk Rafa erat-erat. Bocah kecil itu diam saja, seolah tahu bahwa dunia tak pernah aman untuk ibunya. Pelukannya membungkus luka yang belum sempat sembuh, seolah menjadi cahaya samar di tengah reruntuhan harapan.

Segalanya terjadi begitu cepat. Sarah mulai berkemas dengan pakaian yang masih tersisa—beberapa sudah hangus dibakar suaminya. Wanita yang membantu tadi menyuruh seseorang untuk mengantar Sarah ke rumah saudaranya di luar desa ini.

Sebelum berangkat, Sarah berdiri di depan rumah itu. Rumah yang dulu menjadi tempat berlindung, kini hanya tinggal reruntuhan kenangan yang menyakitkan. Ia hanya membawa barang-barang alakadarnya, pakaian yang masih utuh dan tidak dibakar.  

Warga menatapnya dalam diam. Tatapan mereka penuh iba, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Mereka ingin membantu lebih banyak, sungguh. Namun, untuk mengurus hidup sendiri saja mereka sudah kewalahan—berpikir bagaimana besok bisa makan, bagaimana anak bisa sekolah. Ikut campur dalam urusan orang lain? Terlalu berat, terlalu berisiko. Maka yang bisa mereka berikan hanya simpati.

Memberikan nasihat? Rasanya terlalu ringan untuk menahan luka yang begitu dalam.

Dan bahkan bantuan dari seseorang yang berhati baik dan berkecukupan pun terasa hanya seperti setetes air di tengah padang pasir. Berguna, ya. Tapi tak akan pernah cukup untuk mengubah nasib seorang perempuan yang sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang kekerasan.

Sudah melapor pada polisi? Tidak ada gunanya sama sekali! Itu hanya akan menyeret Sarah ke dalam labirin birokrasi tanpa ujung. Sebuah proses yang menyedot tenaga, waktu, dan—ironisnya—uang, yang justru tak dimiliki oleh mereka yang paling butuh keadilan.

Laporan kekerasan? Tidak semudah itu.

Harus ada visum, yang tidak selalu gratis. Harus ada bukti fisik, yang seringkali sudah hilang tertutup oleh waktu dan trauma. Harus ada keberanian untuk berhadapan langsung dengan pelaku—di hadapan aparat yang kadang tak berpihak, kecuali pada mereka yang memiliki uang dan kuasa.

Dan saat mereka bicara, yang mereka terima justru pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan, dilontarkan dengan nada sinis dan meragukan.

"Ibu yakin dipukul? Jangan-jangan cuma masalah rumah tangga biasa."

"Apa tidak bisa diselesaikan baik-baik saja?"

"Suami kan kepala rumah tangga, wajar kalau marah sedikit."

Birokrasi yang panjang, tatapan penuh curiga, dan minimnya perlindungan hukum bagi perempuan tanpa nama, tanpa uang, tanpa koneksi—semua itu menjadikan hukum seperti tembok besar: berdiri megah tapi tidak pernah bisa digapai.

"Kalau suami Ibu masuk penjara, nanti anakmu siapa yang kasih makan?"

"Kamu tega menghancurkan keluarga sendiri?"

Kata-kata seperti itu terus menggema di kepala para korban. Bukan sebagai nasihat, melainkan sebagai tamparan yang memaksa mereka kembali bungkam.

Dalam sistem yang timpang, keberanian justru dibalas dengan penghakiman.

Di negeri ini, seorang perempuan harus berdarah-darah dulu untuk dianggap benar-benar terluka. Tapi bahkan ketika darah sudah tumpah, tidak ada jaminan keadilan akan datang.

Bukan karena mereka tak layak dibela.

Bukan karena penderitaan mereka tak nyata.

Tapi karena sistemnya sudah terlalu lama membusuk—dan tak pernah benar-benar ingin diperbaiki.

Tujuh tahun kemudian.

Kisah tragis itu kini hanya tinggal menjadi bayangan yang jauh di masa lalu. Luka-luka lama memang tak sepenuhnya sembuh, tapi hidup yang dia jalani saat ini telah berubah drastis.

Sejak bundanya menikah dengan seorang pria yang bekerja sebagai ASN—sosok pria yang mapan dan juga bertanggung jawab—Rafa dan sang bunda seperti diberi kesempatan kedua dalam hidup. Mereka menemukan stabilitas yang dulunya hanya bisa mereka impikan: tinggal di rumah yang layak, makanan yang cukup, atau hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan kejaran ayah kandungnya yang kini telah tiada.

Kematian yang datang bukan karena takdir, melainkan karena perbuatan dan dosa-dosanya sendiri. Ia ditemukan tak bernyawa di sebuah saluran irigasi tua yang nyaris terlupakan, tubuhnya tergeletak membusuk, ditemukan hanya karena bau busuk yang menyengat, menusuk udara pagi hingga membuat seorang petani memanggil aparat.

Saat ditemukan, tubuhnya sudah membiru, kaku, dan dingin seperti bangkai binatang yang dibuang tanpa rasa hormat. 

Wajahnya tak lagi menyerupai manusia—lebih mirip boneka rusak yang diludahi waktu, dengan mata kosong menatap hampa dan mulut membeku dalam ekspresi nista. Ia tampak menjijikkan, menyedihkan, dan bahkan kematiannya pun tak mampu memulihkan harga dirinya yang telah lama lenyap. 

Jangankan tangisan, penyesalan pun tak pantas untuk disematkan padanya. Karena ... bahkan maut sekali pun, tampaknya enggan menjemput dengan belas kasihan.

Polisi menyimpulkan kemungkinan besar itu pembunuhan, tapi hingga hari ini pelakunya belum pernah ditemukan—karena kasus itu akhirnya ditutup, dibiarkan membusuk bersama tumpukan berkas lain yang tak pernah diurus lagi. 

Bagi Rafa sendiri, itu bukanlah sebuah misteri. Ia sudah lama bisa menebaknya. Ayahnya mungkin dibunuh oleh orang-orang dari dunia hitam tempat ia dulu berkubang—para lintah darat, bandar, dan tukang tagih yang tak pernah mengenal kata sabar. Hutang judi yang menumpuk, janji-janji palsu yang diulur terlalu lama, dan mulut besar yang tak tahu kapan harus diam—pada akhirnya pasti membuat seseorang kehilangan kesabaran. Dan ketika itu terjadi, kematian bukan lagi ancaman ...  tapi eksekusi yang tinggal menunggu waktu.

Rafa tidak peduli sama sekali.

Hidup atau mati, pria itu tidak lagi punya tempat dalam hidupnya. Darah mungkin mengikat mereka, tapi itu bukan alasan untuk merasakan apa pun. Tidak marah, tidak sedih. Hanya hampa. Seperti lubang gelap yang pernah ada di masa lalunya, kini ditutup selamanya.

Ia hanya berharap, tak ada satu pun bagian dari pria itu yang tertinggal di dirinya—bahkan dalam ingatan.

Tapi masa lalu tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya bersembunyi, diam-diam mengintai di sela hari-hari baru yang tampak damai. Dan Rafa tahu itu lebih dari siapa pun. Ia hidup dengan kenangan—dan kekecewaan.

Rafa hanya punya satu harapan sederhana dalam hidupnya: agar bundanya selalu hidup dalam kebahagiaan. Ia pikir, setelah bertahun-tahun melewati badai, mereka akhirnya memilikinya—kebahagiaan itu. Kehangatan kecil dalam rumah mungil yang mereka isi bersama, dengan secangkir teh di sore hari dan tawa ringan yang tak pernah berlebihan.

Tapi segalanya berubah di hari Serena memutuskan untuk pergi.

Serena adalah anak perempuan dari pernikahan pertama ayah tirinya—seseorang yang tak pernah benar-benar menjadi bagian dari hidup Rafa.

Bagaimana mungkin dia menjadi bagian dari hidupnya, jika kehadirannya saja nyaris tak terasa? Selama seminggu sejak pindah ke rumah itu, Serena hanya mengurung diri di kamar, membuat ayah dan ibu mereka khawatir. Dan ketika akhirnya keluar, yang ia bawa hanyalah koper, dan satu kalimat singkat:

"Aku butuh waktu untuk menenangkan diri."

Menenangkan diri, katanya. Tapi ternyata, itu berarti pergi selama lima tahun tanpa memberi kabar sedikit pun.

Yang paling menyakitkan, bundanya masih terus mencintai gadis itu. Masih menatap pintu setiap hari, seolah berharap seseorang yang hilang akan kembali suatu hari nanti. Bahkan menangis diam-diam saat merindukan gadis itu.

Semua itu membuat Rafa benar-benar muak. Marah. Kesal setengah mati.

Mengapa ibunya selalu mencintai seseorang yang bahkan tak pernah menoleh ke arahnya? Mengapa ibunya harus menjadi korban dari cinta yang sepihak?

Rafa tidak bisa mengerti sama sekali.

Hingga hari di mana harapan ibunya itu akhirnya datang.

Serena berdiri di dapur, bersama ayah mereka. Matanya sembab, dan wajahnya kuyu oleh air mata. Saat ia mengalihkan pandangannya ke arah Rafa, remaja ktu menyadari—saudara tirinya itu pulang dengan membawa penyesalan di pundaknya. 

Tapi, itu semua tidak berguna. Sama sekali tidak cukup untuk meredakan amarah yang telah lama terpendam dalam dadanya.

"Rafa..." panggil Serena lirih, suaranya nyaris tenggelam dalam desir dedaunan yang bertiup bersama angin di taman belakang rumah.

Rafa tak menoleh. Lamunannya tentang masa lampau buyar seketika. Posisinya saat ini membelakangi Serena, seolah kehadiran gadis itu hanyalah angin lalu yang tak layak diperhitungkan.

"Mbak ingin minta maaf," ucap Serena lagi.

Permintaan maaf itu terdengar terlalu mudah untuk diucapkan. Terlalu ringan dibandingkan dengan segala luka yang bundanya terima selama ini.

Rafa akhirnya menoleh. Tatapannya dingin, tajam, dan penuh kekecewaan yang tak bisa lagi disembunyikan. Sorot matanya seolah berkata: "Kau pikir segalanya bisa selesai hanya dengan satu kata itu?"

Serena siap untuk apa pun yang akan dikatakan oleh adiknya itu. Dia sudah siap menanggung risiko atas pilihannya di masa lalu.

"Kau minta maaf? Untuk apa?" ucapnya dengan suara rendah namun cukup tajam untuk mengoyak perasaan orang yang mendengarnya. "Setelah lima tahun menghilang tanpa kabar, setelah membuat Bunda menunggu setiap hari, menangis setiap malam—kau pikir semuanya bisa selesai hanya dengan itu?"

"Aku menyadarinya. Kesalahan yang sudah kulakukan. Untuk itulah aku kembali. Aku ingin memperbaiki semua yang telah terjadi."

Rafa menghela napas keras, seperti berusaha menahan sesuatu yang ingin meledak. Matanya tak lepas dari wajah kakak tirinya itu, namun tatapannya bukan tatapan rindu—melainkan luka dan kemarahan yang belum terbalaskan.

"Mbak bahkan tidak ada saat Bunda melahirkan Dafa. Jadi tolong, jangan datang dan bicara tentang maaf padaku. Kalau Mbak memang ingin minta maaf, mintalah pada Bunda. Dia yang paling terluka. Bukan aku."

Serena tercekat. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari yang ia bayangkan. Ia ingin menjelaskan, ingin mengeluarkan sepatah pun pembelaan, tetapi bibirnya terkunci. Bagaimana mungkin ia membantah? Setiap ucapan Rafa adalah kebenaran yang tak terbantahkan, dan Serena tahu—ia tidak layak untuk menyela, apalagi mengelak. Maka, ia hanya diam, membatu dalam kesunyian, membiarkan Rafa melampiaskan semua kemarahan dan kebencian yang selama ini bertumpuk, tanpa pernah dilampiaskan dengan benar.

Rafa menarik napas dalam, mencoba meredam badai emosi yang mengamuk di dadanya. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Ia tahu, jika ia tetap tinggal, kata-kata yang seharusnya tak terucap mungkin akan meluncur begitu saja. Maka, ia memilih pergi—meninggalkan tempat itu sebelum amarah membakar segalanya tanpa sisa.

Serena hanya bisa memandangi punggung adik tirinya yang semakin menjauh, perlahan menghilang di balik bayang senja. Hatinya remuk, dilanda rasa bersalah yang menusuk. Kakinya seolah membeku, tertanam di tanah, tak sanggup melangkah, tak berani memanggil.

"Apa yang harus kulakukan?" jerit batinnya lirih, nyaris tanpa suara. Ia ingin Rafa memaafkannya—lebih dari itu, ia ingin memperbaiki segalanya. Membangun kembali keluarga yang diimpikan oleh semua orang—keluarga bahagia, harmonis dan hanya dipenuhi dengan kasih sayang. 

Bersambung

Senin, 25 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!