Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Bianco Reale
Baling-baling helikopter masih berputar ketika Lucas akhirnya menjejak tanah Bianco Reale.
Lucas turun dengan mantel hitamnya yang berkibar tertiup angin. Tatapannya tajam, penuh tanya, tapi juga dihantui kegelisahan yang sejak tadi ia tahan di sepanjang penerbangan.
Hose sudah menunggu di bawah, bersama beberapa anak buah lainnya. Wajah mereka pucat, kaku, seakan kesedihan yang tak bisa lagi ditutupi menempel erat di sorot mata. Mereka menunduk dalam ketika Lucas berjalan mendekat.
Hose mengangkat kepala, napasnya terputus. Sekilas ia ingin berbicara, namun suara itu tertahan di tenggorokannya. Yang keluar hanya helaan panjang, getir. “Tuan…” sapanya singkat.
Lucas melangkah dengan cepat tak berniat istirahat, hatinya semakin tak tenang. Udara Bianco Reale terasa pekat, seakan seluruh kota ikut berkabung.
-
Tak lama, mereka tiba di area pemakaman keluarga besar Morreti. Lilin-lilin sudah menyala, asap dupa mengepul di udara. Lucas terhenti. Matanya langsung membeku ketika melihat dua gundukan tanah yang baru saja ditutup.
Dua nisan berdiri. Satu bertuliskan lima nama istrinya, digabung dalam satu pusara karena tubuh mereka tak lagi bisa dikenali. Satunya lagi untuk sopir dan pengawal setia.
Lucas terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Angin malam menusuk, tapi tubuhnya justru panas, terbakar dari dalam. Hose melangkah maju, suaranya bergetar. “Kami… hanya bisa mengenali dari pakaian, Tuan. Tidak lebih. Semuanya… habis.”
Lucas menutup wajahnya dengan kedua tangan. Nafasnya tersendat, air mata yang selama ini ia kunci meledak begitu saja.
Tak lama beberapa pengawal datang, satu per satu, mereka maju menyodorkan buket bunga. Setiap buket diikat dengan pita hitam, diselipkan kartu kecil bertuliskan nama masing-masing istrinya. Lima nama. Lima nyawa.
Tangannya gemetar saat menerima bunga itu, lalu meletakannya dengan hati -hati diatas gundukan tanah merah itu.
Akhirnya, tangis yang sejak tadi ditahan pecah juga. Lucas terisak, suara beratnya bergetar di antara keheningan malam. “Maafkan aku…,” suaranya pecah, hampir tak terdengar. “Kalian bahkan belum sempat melihat matahari kebebasan yang sudah aku janjikan.”
Ia berlutut, menempelkan keningnya pada buket yang bergetar dalam genggamannya. Air matanya jatuh, membasahi bunga-bunga segar yang seolah ikut berduka.
“Aku berjanji…” Lucas mengangkat wajahnya, matanya basah, namun di dalamnya menyala bara dendam. “Aku akan menemukan mereka… siapapun yang berlaku di luar batas seperti ini. Mereka akan membayar...”
Hose menunduk lebih dalam, menggertakkan rahangnya menahan emosi. Para pengawal yang lain pun ikut memalingkan wajah, tak sanggup menatap tuannya yang biasanya dingin dan tak tergoyahkan, kini luluh lantak di hadapan lima nama yang hanya tersisa di atas secarik kartu dan buket bunga.
Helikopter yang tadi mengantarkan Lucas, kini kembali meraung di atas langit Motessa, membawa pergi beberapa istri yang berhasil diselamatkan. Dimitri ikut mendampingi bersama empat pengawal, menjaga agar perjalanan evakuasi itu aman dari serangan mendadak. Rotor baling-baling berputar cepat, sayatan anginnya seperti jeritan putus asa yang merobek kesunyian menjelang fajar.
Disisi lain di hutan hujan.
Hujan rintik-rintik turun, merambat di dedaunan raksasa hutan Motessa. Di balik semak lebat, tiga anak buah Don Cassiel berjongkok, menyembunyikan tubuh di antara bayang-bayang pepohonan. Mereka mengenakan mantel gelap yang menyatu dengan malam, wajah mereka basah kuyup, namun mata tak berkedip menatap halaman luas Pallazo yang kini diterangi lampu-lampu sorot.
“Lihat itu...” bisik salah satu, napasnya berat bercampur dingin. Ia mengangkat teropong kecil ke matanya. “Helikopternya kembali terbang, ada banyak Wanita didalamnya...”
“Hhh! Dasar orang kaya, jalur darat bermasalah, dia pindah jalur udara. Haruskah kita temb4k helicopter itu?” sahut temannya disamping.
Wajah mereka mendongak, menatap helikopter yang meraung di udara, disusul sayatan angin yang menyapu pucuk-pucuk pohon. Mereka menyaksikan bagaimana Hose dan para pengawal menunduk, sementara Lucas, sosok yang selama ini dijuluki monster dingin, kini terguncang.
“Tak kusangka, iblis itu bisa menangis,” lirih mata-mata kedua, menggelengkan kepala dengan senyum miring.
"Benarkah? apa menurutmu dia menangis?...bahkan wajahnya tidak kelihatan, haha." Pria satunya, merebut teropong.
Yang ketiga, lebih tua dan berpengalaman, segera menepis sikap sembrono itu. “Jangan meremehkan. Saat singa terluka, justru di situlah ia paling berbahaya. Tapi… ini kabar emas untuk Don Cassiel. Tuan Morreti ternyata, tidak sekuat yang dikira.”
Satu di antara mereka mengeluarkan radio kecil dari balik mantel. Dengan suara bergetar menahan antusiasme, ia melaporkan. “Don Cassiel… kami melihat sesuatu yang harus Anda dengar. Helikopter mengevakuasi sebagian Perempuan, mungkin itu istri Lucas Morreti...”
Hening sejenak, hanya suara statis di radio. Lalu terdengar tawa rendah dari seberang sana, tawa Don Cassiel yang serak dan dingin.
“Oh begitu, tidak apa-apa…” jawab Cassiel akhirnya. “Teruskan mengawasi. Apa kalian bisa melihat, siapa dibalik topeng nya itu?”
Para mata-mata itu saling berpandangan.
“Tidak! Bahkan di depan kuburanpun ia masih bertopeng… mungkin wajahnya sejelek itu, haha..” jawabnya sambil tertawa.
Cahaya merah tipis mulai membelah horizon, pertanda pagi hampir datang. Namun di Palazzo Bianco Reale, bayangan malam masih begitu tebal.
Di balkon atas, Lucas berdiri sendirian, menyaksikan helikopter menjauh seperti burung besi yang terbang membawa sisa-sisa harapan. Tangannya terkepal, napasnya berat, matanya merah menatap ke arah fajar, sesekali ia melirik kebawah, dimana kamar dulu Rose berada.
“Rose…” gumamnya. Ia tahu, Rose pasti akan mencarinya.
*
Di Tower Morreti.
Rose terbangun, ruangan luas itu sunyi, hanya detik jam dinding yang terdengar. Biasanya ada Lucas yang sudah sibuk dengan ponselnya. Segera ia bangkit, jantungnya berdegup pelan, lalu melangkah menyusuri lorong marmer putih.
“Pagi Nyonya...! apa anda buntuh sesuatu?” sapa pelayang yang sudah berbaris menunggu perintah.
“Dimana tuan Lucas?” tanya Rose, matanya menyapu sekitar.
“Sepertinya tuan sedang ada rapat penting Nyonya.” Jawab pelayan, dengan terus menunduk.
Rose hanya mengangguk. Berjalan menuju ruang makan, dan hidangan masih utuh, belum ada yang menyentuhnya sedikitpun. “Dia bahkan tidak menyentuh sarapannya,” gumam Rose.
Sebentar ia terdiam, menatap semua barang mewah yang ada dihadapan. Lalu langkahnya bergerak menuju ruang kerja, tempat dimana Lucas menghabiskan banyak waktu disana.
Rose melangkah masuk ke ruang kerja Lucas. Begitu pintu ditutup, aroma maskulin langsung menyergapnya, paduan wangi kayu sandalwood dan parfum yang selalu melekat pada Lucas. Ruangan itu tenang, berkelas, dan menekan, seakan setiap inci diciptakan untuk mencerminkan wibawa pemiliknya.
Ia melangkah hati-hati.
Meja kerja Lucas berdiri gagah di tengah, permukaannya teratur nyaris sempurna. Pena berlapis emas, map hitam, hingga kertas memo, semua tersusun seolah tidak boleh bergeser sedikit pun. Rose menatapnya dengan rasa jengkel bercampur kagum. Hidup Lucas selalu tampak rapi, sedangkan dirinya… selalu kacau.
Penasaran menyeretnya.
Ia mencoba membuka salah satu laci meja, terkunci. Laci bawah, kosong, hanya kertas dan segel. Rose menghela napas, kecewa.
Langkahnya lalu beralih ke rak buku tinggi. Puluhan judul berjajar, kebanyakan tentang hukum, bisnis, dan filsafat. Rose menelusuri punggung buku dengan ujung jarinya, berharap menemukan sesuatu yang lebih pribadi. Tapi tidak ada.
Perhatiannya teralihkan ke lemari kaca di sudut. Koleksi benda antik berjajar rapi. Jam tua, pisau kecil berukir, foto lama dalam bingkai perak. Rose menatapnya lama, merasa Lucas adalah misteri yang ia pecahkan dari serpihan benda ini.
Dan di sanalah ia menemukannya.
Di rak paling bawah, terselip di balik map tebal, sebuah buku tua bersampul kulit hitam lusuh. Sudutnya terkelupas, warnanya pudar. Rose menelan ludah. Buku itu. Buku yang dulu pernah ia curi diam-diam.
Tangannya bergetar ketika meraih benda itu. Menatap sampul kosongnya, lalu duduk di kursi Lucas, yang besak dan empuk.
Jemarinya perlahan membuka halaman pertama.
Hening. Detak jam dinding terdengar begitu jelas, seolah waktu menahan napas bersamanya. Rose sadar, sebentar lagi ia mungkin akan kembali masuk ke dalam rahasia yang Lucas sembunyikan rapat-rapat. Rahasia yang bisa menjelaskan siapa sebenarnya pria yang kini terikat padanya, yang penuh misteri hingga hampir menghabiskan semua gadis di Motessa.
*
Bersambung!
*
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini. Jangan lupa kasih bintang terbaik dan ulasan manis ya. Setiap komentarmu adalah seperti percikan api yang bikin semangatku menyala untuk terus menulis. Ayo, tulis pendapatmu, teorimu, atau bagian favoritmu_aku baca semuanya, lho!