NovelToon NovelToon
Misteri 112

Misteri 112

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Penyelamat
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Osmond Sillahi

Robert, seorang ilmuwan muda brilian, berhasil menemukan formula penyembuh sel abnormal yang revolusioner, diberi nama MR-112. Namun, penemuan tersebut menarik perhatian sekelompok mafia yang terdiri dari direktur laboratorium, orang-orang dari kalangan pemerintahan, militer, dan pengusaha farmasi, yang melihat potensi besar dalam formula tersebut sebagai ladang bisnis atau alat pemerasan global.

Untuk melindungi penemuan tersebut, Profesor Carlos, rekan kerja Robert, bersama ilmuwan lain, memutuskan untuk mengungsikan Robert ke sebuah laboratorium terpencil di desa. Namun, keputusan itu membawa konsekuensi fatal; Profesor Carlos dan tim ilmuwan lainnya disekap oleh mafia di laboratorium kota.

Dengan bantuan ayahnya Robert yang merupakan seorang pengacara dan teman-teman ayahnya, mereka berhasil menyelamatkan profesor Carlos dan menangkap para mafia jahat

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Sillahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayang-bayang Baru

...“Pertempuran di laut mungkin telah usai, tapi di balik gelapnya layar komputer dan peta dunia yang berpendar, perang yang jauh lebih rumit baru saja dimulai.”...

Kapal Kapten Edi kembali berlayar perlahan menuju daratan. Laut yang tadinya mengamuk kini mulai tenang, seakan ikut menghela napas atas pertempuran yang baru saja usai. Di geladak utama, Jenderal Rahman duduk dengan tangan terikat, wajahnya tetap tegas meski jelas kekalahan tergurat di mata.

Denny berdiri di depannya, matanya tajam penuh amarah. “Kau tahu berapa banyak nyawa yang jadi korban dari proyek gila kalian?”

Jenderal Rahman menatap Denny tanpa gentar. “Dan kalian pikir, dengan menangkap kami, semuanya berakhir? Kalian hanya memotong salah satu tentakel. Gurita ini masih hidup. Kalian bahkan belum tahu siapa yang menggerakkan semuanya dari bayang-bayang.”

Mark berjalan mendekat. “Kami tahu cukup banyak untuk menyeretmu ke pengadilan.”

Rahman menyeringai. “Pengadilan? Dunia ini tidak dikendalikan oleh hukum, Mark. Tapi oleh uang dan rasa takut. Kau pikir menangkap aku dan Leonard membuat kalian menang? Kalian hanya mengganggu sedikit ritme. Sistem akan terus berjalan. Orang-orang seperti kalian ... akan segera dilupakan.”

Sebelum Mark sempat menjawab, Kapten Edi naik ke dek dan mendengar kalimat itu. Ia maju dengan langkah tegas, matanya menyala marah.

“Memalukan,” gumam Kapten Edi, suaranya dalam dan serak. “Kau berseragam bintang tiga, tapi jiwamu busuk. Harusnya tentara melindungi rakyat, bukan jadi monster yang memangsa mereka.”

Jenderal Rahman menyipitkan mata. “Aku melayani negara dengan caraku.”

“Tidak. Kau melayani dirimu sendiri, dan orang-orang serakah yang menganggap manusia cuma bahan eksperimen.” Kapten Edi meludah ke laut. “Kalau bukan karena sumpahku sebagai marinir, sudah kutenggelamkan kau ke laut sejak tadi.”

Amanda muncul dari dalam, wajahnya letih tapi lega. “Sinyal komunikasi stabil. Roy dan pasukan Sabhara sudah menunggu kita di dermaga utama. Mereka siapkan pengawalan ke Laboratorium Desa.”

Beberapa jam kemudian, dua kapal besar itu bersandar di dermaga kecil di pesisir. Udara darat terasa panas dibanding hembusan laut, namun membawa aroma kemenangan.

Roy berdiri di barisan depan bersama beberapa personel Sabhara bersenjata lengkap. Ia menghampiri Mark dan Denny sambil memberi hormat ringan. “Selamat datang kembali. Aku dengar pertunjukan kalian luar biasa.”

Mark hanya tersenyum tipis. “Pertunjukannya berdarah-darah.”

Roy melirik ke belakang, melihat para tahanan yang dikawal keluar satu per satu. Leonard, Albert, Bagas, dan terakhir Jenderal Rahman.

“Ayo, kita bawa mereka ke Laboratorium Desa. Penahanan sementara sudah siap, dan tim interogasi sudah datang dari Jakarta,” ujar Roy.

Laboratorium Desa kini tampak seperti markas militer. Drone patroli terbang rendah, alat pelacak dipasang di tiap sudut, dan ruang penahanan bawah tanah diperkuat.

Elisabeth duduk di ruang interogasi, menatap dinding dengan wajah tenang. Saat pintu terbuka, ia hanya tersenyum kecil.

“Ah ... akhirnya reuni keluarga,” ucapnya saat melihat Leonard masuk diborgol. “Kau tertangkap juga?”

Leonard tidak menjawab. Ia hanya duduk diam, menghindari tatapannya.

Samuel yang berdiri di balik kaca pengawas hanya geleng kepala. “Tiga dari empat sudah di tangan.”

“Lalu siapa yang keempat?” tanya Misel yang berdiri di sampingnya.

Samuel menatap layar CCTV yang memperlihatkan wajah Leonard dari dekat. “Leonard bilang ... masih ada dalang di balik semua ini. Di atas Elisabeth dan dirinya.”

Jesika menambahkan dengan suara pelan, “Dan transaksi terakhir dilakukan dari ... Jenewa.”

Robert menoleh cepat. “Perusahaan farmasi itu?”

Amanda mengangguk. “Swiss adalah markas dari empat konglomerat riset farmasi dunia. Kalau benar ada keterlibatan di sana ... kita belum selesai.”

Mark masuk ke ruangan, memegang map berisi cetak biru sistem EVA yang berhasil disalin. Ia meletakkannya di meja dan berkata, “Kita punya bukti. Dan kita punya nama. Tapi kali ini ... kita butuh jaringan internasional.”

Roy mendekat, menyodorkan perangkat komunikasi khusus. “Aku sudah bicara dengan Interpol. Mereka butuh waktu, tapi siap bantu.”

Denny, yang sejak tadi diam, berkata pelan, “Kalau ini sudah menyentuh Swiss ... mungkin kita akan bertemu dengan monster yang jauh lebih besar.”

Kapten Edi tertawa kecil di sudut ruangan. “Kalau begitu, siapa yang siap berlayar lagi?”

Mark menatap seluruh timnya satu per satu. “Pertempuran di laut sudah selesai. Tapi perang di balik meja eksekutif baru akan dimulai.”

Amanda menambahkan, “Dan kali ini, kita bukan hanya bawa senjata. Tapi juga kebenaran ... dan seluruh dunia akan tahu.”

Langit sore mulai memerah di atas Laboratorium Desa. Tapi mata Mark tak lepas dari peta elektronik di layar.

Di sana, satu titik berwarna merah mulai berkedip.

Koordinat: Jenewa, Swiss.

Nama File: EVA-Prime.

Status: AKTIF.

Dan babak selanjutnya pun mulai terbuka.

***

Sementara langit mulai meredup di atas Laboratorium Desa, jauh di belahan ibu kota di sebuah gedung bertingkat di kawasan elit Jakarta Selatan sebuah pertemuan rahasia sedang berlangsung di ruang konferensi berpanel kaca hitam, tersembunyi di balik nama resmi Lembaga Inovasi dan Teknologi Nusantara.

Di sana, Gunawan, seorang pria setengah baya yang dikenal publik sebagai staf khusus Kementerian Riset dan Telekomunikasi, sedang berdiri gugup di depan layar besar yang menampilkan sambungan video dari luar negeri. Pria di layar itu tampak elegan namun dingin. Berpakaian jas tiga potong, duduk di balik meja panjang dari marmer hitam.

Pria itu adalah Klaus Rosenberg, Salah satu tokoh kunci dalam jejaring farmasi internasional dan dalang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang proyek EVA.

“Bicara,” suara Klaus terdengar berat, nyaris seperti suara logam.

Gunawan menelan ludah. “Pak Klaus ... situasi tidak seperti yang kita harapkan.”

“Saya dengar Batu Langit sudah jatuh,” potong Klaus tajam, matanya menyipit.

Gunawan mengangguk perlahan. “Ya, benar. Batu Langit sudah dilumpuhkan. Elisabeth tertangkap.”

Suara napas Klaus terdengar dari mikrofon. Panjang dan menahan amarah. “Dan EVA?”

“Kami juga tidak lagi menerima sinyal dari Offshore Research Unit SANG MU... Komunikasi terputus sepenuhnya.”

Klaus mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap layar seakan bisa mencengkeram kerah Gunawan dari seberang benua. “Apa maksudmu ... teman-teman kita di sana tidak bisa dihubungi?”

Gunawan menjawab dengan suara pelan, “Kami menduga mereka sudah disergap.”

Klaus menghantam meja dengan kepalan tangannya. “Kalian janji padaku bahwa formula itu akan jatuh ke tangan kami utuh dan bisa dikembangkan tanpa jejak ke media! Tapi yang kalian berikan hanyalah kegagalan demi kegagalan!”

Gunawan mencoba membela diri. “Kami masih bisa mengelola kerusakan. Kami belum kehilangan semua aset. Beberapa ilmuwan simpatisan masih berada di jaringan. Kami sedang bergerak cepat.”

“Dan Robert?” potong Klaus cepat. “Apakah dia sudah di tangan kalian?”

Gunawan menggigit bibir bawahnya. “Belum, Tuan. Dia masih berada dalam pengamanan kelompok mereka. Entah dimana dia.”

Klaus tertawa sinis, dingin. “Luar biasa. Jadi aku sudah menggelontorkan hampir tiga ratus juta dolar untuk hasil yang bahkan tidak mendekati target awal? Kau pikir aku main-main, Gunawan?”

Gunawan menunduk dalam-dalam, wajahnya mulai basah oleh keringat. “Tuan Klaus, saya mohon sedikit waktu lagi. Saya sudah siapkan jalur baru. Beberapa rekan di Kemenhan dan Balitbang siap membantu kami mengakses lokasi mereka. Bahkan, jika perlu, kami akan kirim satuan khusus dengan kedok operasi rahasia.”

Klaus menatapnya lama, sebelum akhirnya bersandar kembali ke kursinya. “Robert dan formulanya... adalah prioritas utama. Dan EVA, jika sistem itu sudah tidak bisa kami kuasai, maka pastikan mereka juga tidak bisa memakainya. Kau mengerti maksudku, bukan?”

Gunawan mengangguk cepat. “Ya, Tuan. Saya paham. Sabotase atau eliminasi penuh jika perlu.”

Klaus mengusap dagunya perlahan. “Satu peringatan terakhir, Gunawan. Jika dalam tujuh hari aku belum menerima kabar baik, maka bukan hanya proyek ini yang akan mati ... tapi juga semua karirmu, keluargamu ... dan nama belakangmu akan dihapus dari sejarah. Kami takkan gagal hanya karena birokrat lokal yang terlalu lamban.”

Sambungan video mati.

Ruangan itu kembali hening, menyisakan hanya desiran AC dan jantung Gunawan yang berdetak seperti genderang perang. Ia menarik napas dalam-dalam.

“Di luar jendela gedung itu, Jakarta tampak sibuk dan damai. Tak ada yang menyadari bahwa di balik gedung-gedung tinggi itu, konspirasi global tengah bergerak dalam senyap dan Indonesia berada tepat di pusaran badai.

1
lelaki senja
yg punya uang punya kuasa weh
lelaki senja
eh sorry. dimana gitu melayaninya
penyair sufi
wah banyak itu
penyair sufi
hmm. kenyataan hukum tumpul di atas
diksiblowing
wih ... tambah seru
Ferdian yuda
kerenn, sejauh ini ceritanya menarik, tapi agak bingung untuk konflik utamanya😭😭😭
Osmond Silalahi: wah makasih infonya
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
mantap jiwaaaa 😍
Osmond Silalahi: wah makasih
total 1 replies
VelvetNyx
Keren ihhh alurnya... Gambang di mengerti kayak lagi baca komik/Drool//Smile/
Osmond Silalahi: wah makasih
total 1 replies
Osmond Silalahi
wkwk
penyair sufi
mantap om. tua tua keladi. makin tua makin jadi
Osmond Silalahi: sepuh pasti paham
total 1 replies
lelaki senja
wih... gaya nyindirnya keren
Elisabeth Ratna Susanti
wah namaku disebut nih 😆
Osmond Silalahi: eh ... maaf. tapi kesamaan nama tokoh hanya kebetulan belaka lah kawan
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
good job untuk authornya 🥳
Osmond Silalahi: wah makasih banyak, kawan
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
tinggalkan jejak
Osmond Silalahi: makasih jejaknya
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
like plus 🌹
Osmond Silalahi: wah makasih
total 1 replies
Lestari
wah wah bikin panasaran cerita y,semangat nulisnya dan jgn lupa mampir
Osmond Silalahi: siap kak
total 1 replies
Lestari
ceritanya seru
Osmond Silalahi: wah makasih
total 1 replies
penyair sufi
ada efek samping yang mengerikan
Osmond Silalahi: itulah yg terjadi
total 1 replies
lelaki senja
wah ngeri jg ya
Osmond Silalahi: itulah realita
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
jangan putus asa.....terus cemunguuut
Osmond Silalahi: siap.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!