NovelToon NovelToon
Kez & Dar With Ze

Kez & Dar With Ze

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:378
Nilai: 5
Nama Author: Elok Dwi Anjani

Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.

Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.

Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.

Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kezia

..."Menginginkan suatu hal, tapi hanya bisa di angan-angan. Karena sukar untuk diwujudkan"...

...•...

...•...

Menikmati pagi di hari Senin yang membosankan. Arden menatap keluar jendela yang masih sangat pagi untuk berangkat sekolah. Ia meletakkan kepalanya di meja dengan memiringkan kepalanya menghadap pemandangan langit yang belum terang karena matahari belum seutuhnya keluar.

Arden melirik rak putih di sebelah pintu balkon yang tertata rapi. Rak tersebut tampak indah dengan buku-buku cerita anak-anak dengan lukisan-lukisan abstrak yang hanya beberapa orang saja yang dapat memahaminya.

Sebuah foto dengan pigura bunga-bunga yang terukir indah itu menyimpan banyak kenangan. Baru saja foto tersebut diambil beberapa bulan yang lalu, tapi salah satu dari insan di dalam foto tersebut telah tiada. Walaupun senyuman insan tersebut abadi di dalam lembaran foto yang merupakan benda mati, tapi kenangannya hidup.

"Jam segini pasti keluar buat joging," lirih Arden.

Udara pagi yang dingin di kota mulai menyisih dengan suara kendaraan-kendaraan yang mulai ramai dan pengendara dengan penumpang yang sibuk di dalamnya. Suasana ramai dengan suara klakson dan keramaian kemacetan di pagi Senin ini.

Para pedagang yang sibuk dengan dagangannya. Para ibu rumah tangga serta art rumah yang juga sibuk ke pasar. Jalan-jalan yang dipenuhi kendaraan, banyak pejalan kaki di sisi jalan yaitu pedestrian yang ramai orang, dan zebra cross yang tampak ramai juga dari arah yang berlawanan.

"Udah siap?" Arfan menghampiri Arden dengan memakai jas kantornya.

Arden mengangguk dengan semangat. "Udah!"

Arfan tersenyum dengan mengelus rambut putranya dan menoleh ke arah Zea yang sibuk dengan kotak bekalnya di meja makan. Ya, gadis itu akan membawa bekal karena malas pergi ke kantin yang selalu ramai. Apalagi hari Senin. Setiap Senin selalu lebih ramai daripada hari-hari lainnya. Dari setelah upacara, istirahat pertama, bahkan terakhir pun tetap ramai.

Bahkan, setelah bell pulang sekolah berbunyi pun masih ramai. Karena kumpulan-kumpulan anak geng Zevan yang sudah mulai aktif itu.

Zea memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas lalu memakainya. Ia membalas senyuman Arfan dan menghampiri pria itu dengan semangat paginya, padahal tidak. Karena ia juga tidak terlalu menyukai pagi ini. Pagi yang sudah dimulai dengan berbagai macam ujian dan tes dalam perlombaannya dengan Arlan.

"Papa kenapa nggak berangkat duluan?" Tanya Zea.

"Sengaja. Biar bisa lihat kalian berangkat," jawab Arfan.

Arden berdiri dari duduknya dan melangkah ke garasi untuk mengambil sepedanya. Sementara Zea dan Arfan juga keluar rumah.

"Gimana? Kalau ujiannya lancar-lancar aja, tapi lingkungannya kamu suka nggak?" tanya Arfan.

Zea mengangguk-anggukkan kepalanya walaupun terkadang merasa aneh dan sedikit risih dengan suasana ramai di kota. Tapi ia harus menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan baru ini. Bukan baru sebenarnya, tapi Zea sendiri saja yang belum menemukan tempat ternyamannya di sini selain rumah.

"Kalau lingkungannya tergantung keadaan. Tapi aku belum punya temen yang bener-bener teman kayak mereka yang di rumah itu." Rumah yang Zea maksud adalah rumah Kezia, rumah yang sepi dengan kenangan yang sangat berarti.

Arfan mengelus rambut Zea dengan tersenyum paksa. "Maaf, papa udah pisahin kalian."

"Enggak, justru karena ada Papa yang udah angkat aku sebagai kakak dari Arden itu udah buat aku bahagia. Setidaknya aku masih punya keluarga, dan punya tempat untuk pulang."

Arden keluar dengan menuntun sepedanya ke arah Zea dan Arfan yang berdiri di dekat gerbang rumah. "Kakak nggak berangkat?"

"Bentar lagi."

Zea menyalami Arfan untuk segera berangkat. Ia melirik Arden yang sedang menunggunya di samping karena ingin menyalami Arfan juga.

"Aku berangkat, Pa," pamit Zea.

Arfan mengangguk dan menatap Arden yang sedang mencium punggung tangannya. "Nggak mau Papa anterin?"

Arden menggeleng. "Biar aku mandiri, Pa.."

Pria itu terkekeh dan membiarkan Arden menaiki sepedanya dan berangkat dari arah yang berlawanan dengan Zea.

Gadis yang berjalan dengan santainya menuju jalan raya, dan seorang bocah yang mengayuh sepedanya ke sebuah sekolah dasar. Pagi yang sederhana dengan kedua anaknya yang semangat berangkat sekolah. Arfan tersenyum menatap punggung bocah itu.

Mengenang masa kecil Nathan yang keras kepala untuk berangkat ke sekolah tanpa diantar, dan membiarkan bocah itu kembali pulang dengan mengayuh sepeda di teriknya matahari. Sedikit terharu jika mengingat anak sulungnya, Arfan kembali memasuki rumahnya untuk bersiap akan berangkat ke kantor.

Zea menatap keluar jendela dengan menyandarkan kepalanya di kaca bus. Manik matanya tiba-tiba menangkap segerombolan motor yang melintas dengan logo Caspe yang membuatnya yakin jika itu gerombolannya Zevan.

Saat di lampu merah, seorang laki-laki dengan logo caspe berwarna gold di dadanya mengarahkan tangannya pada jalan yang berlawanan arah menuju sekolah. Zea mengerutkan keningnya. Terlihat jelas jika gerombolan-gerombolan itu memakai celana SMA, tapi mengapa jalan mereka berbeda?

Lampu hijau menyala. Mereka mengarah pada jalan tersebut dengan suara deru mesin motor yang ramai. Zea hanya melihat mereka hingga menghilang dari pandangannya. Ia mencoba untuk tidak memikirkan mereka, karena tiba-tiba nama Caspe itu mulai menempel pada pikirannya. Untuk apa juga dipikirkan. Tidak ada sangkut-pautnya juga untuk Zea.

...••••...

Kezia duduk di gazebo pantai dengan menatap lautan luas di depannya. Bukankah ini kebiasaan Ezra?

Gadis itu sengaja, sengaja memepetkan jam masuk sekolahnya dan membiarkan dirinya terlambat hingga dihukum nantinya.

"Cantik," lirih Kezia.

Angin-angin yang mulai panas, keramaian pantai yang mulai berdatangan. Kezia melirik seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan menenteng sebuah kresek putih.

Kezia mengingat-ingat laki-laki itu, karena pikirannya samar-samar hanya mengingat Ezra yang sedang berbicara dengan laki-laki itu saat di suatu tempat dengan Sean.

"Haii," sapa Bagas.

"Ehm...."

Bagas tersenyum kikuk. Ia bahkan belum memperkenalkan dirinya ke Kezia dan tidak pernah berbicara dengan gadis ini. "Panggil aja Bagas."

"Bang?"

"Eh, iya. Dipanggil Abang Bagas juga nggak apa-apa." Bagas mendudukkan dirinya di samping Kezia dan mengeluarkan minuman kaleng di kreseknya.

"Buat apa?" Kezia menatap tangan Bagas yang menyodorkan minuman kaleng ke arahnya.

"Dulu Kalandra yang jadi temen gua di sini, dan gua yang selalu bawain minuman."

Kezia menerimanya, bahkan langsung membukanya. Hanya beberapa tegukan, lalu menatap benda tersebut.

"Kenapa?" Tanya Bagas.

Kezia menggeleng. "Dulu sering ketemu bang Ez?"

"Udah lama banget, sih. Cuman awal pertemuan waktu dia baru SMA, dan setelah kelas 11, Kalandra udah nggak pernah lagi ketemu gua karena gua sibuk sama persiapan pagi restoran."

Kezia mengangguk paham. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. "Aku berangkat dulu, Bang. Makasih untuk minumannya."

Bagas menatap Kezia yang meraih tas gadis itu dan tersenyum ke arahnya. Ia membalasnya, lalu gadis itu melenggang pergi begitu saja. Jalan Kezia tampak sangat santai, dan seiring punggung gadis itu menjauh. Bagas tidak melunturkan senyumannya sama sekali.

"Kenapa aura kesepian itu terlalu terlihat?" Bagas menghela nafasnya. "Kalandra, dia kangen banget sama elo. Cewek sekecil dia harus hidup tanpa keluarga."

Menyeruput minuman kalengnya, menatap sisi lautan yang mulai ramai bocah-bocah sedang berenang dengan keluarga dan temannya. Bagas memudarkan senyumannya saat manik matanya menangkap sosok Ezra yang ikut berenang dengan tersenyum ke arahnya. Ia mengucek matanya, lalu bayangan itu menghilang begitu saja.

"Kayaknya gua juga kangen sama lo, deh."

...••••...

"Leon mana? Dia nggak masuk?" Tanya Kezia.

Adara menghela nafasnya. "Katanya dia ada acara keluarga, dan bakal nggak masuk 3 hari kedepannya."

"Jadi nggak ada yang bisa diusilin, dong..." Ara melipat tangannya di meja kantin.

Seorang laki-laki celingak-celinguk di ambang pintu masuk kantin dengan seorang laki-laki pula di sebelahnya yang sibuk dengan ponselnya. Saat manik matanya melihat Kezia, Adara dan Ara di meja tengah kantin, ia mengembangkan senyumannya.

"Dicariin, ternyata di sini," kata Darren.

Hampir saja Kezia terlonjak kaget. Ia mengelus dadanya karena Darren yang tiba-tiba ada di sebelahnya.

"Ngapain?" Tanya Kezia.

"Mau ajak kalian nonton. Mau nggak?" Ajak Darren.

Alan meletakkan ponselnya dengan menatap Darren kesal. "Lo kok nggak bilang ke gua dulu, sih? Nanti gua mau keluar sama saudara gua, dan nggak bisa ikutan."

"Sengaja, biar mereka dulu yang tau," balas Darren. "Btw, mana Leon? Gua nggak lihat tali sepatunya."

Adara mengerutkan keningnya bingung. "Ngapain lo cariin tali sepatunya?"

"Biasa..."

"Nggak jelas," timpal Adara.

Alan tertawa meremehkan Leon. "Nggak jelas nggak, tuh? Dia udah nggak jelas dari sononya, kali."

"Mau nonton apa?" Tanya Ara.

"Terserah kalian, gua yang bayarin," jawab Darren.

Sontak ketiga gadis itu senang karena jawaban Darren. Jarang-jarang mereka ditraktir, ataupun diajak Darren. Pasti ada maunya.

"Pasti ada sesuatu lo ajak kita," kata Kezia.

"Iya, biar lo nggak kelihatan sedih terus."

Adara dan Ara memepetkan tubuh mereka dengan menatap Kezia dan Darren yang bersebelahan. "Ciieee....."

"Aelah." Alan melirik Darren malas dan kembali pada ponselnya. Ia tidak ingin mendengarkan temannya yang sedang bucin di sebelahnya. Bahkan kata-kata manis Darren membuatnya sedikit mual.

"Kasihan, orang yang disukai suka sama orang lain," timpal Darren.

Alan merapatkan bibir menahan emosinya agar tidak meletup ke wajah Darren dengan kata-kata pedasnya, tapi terlanjur.

"Lah, elo?"

"Apa?"

"Ngejar-ngejar cewek tapi ceweknya nggak peduli."

Kezia membulatkan matanya. Bukan tidak peduli kepada Darren, tapi ia sedang berusaha mempercayai orang lain. Terlebih-lebih lagi, orang tersebut adalah laki-laki. Ia juga sedang berusaha untuk membuka hatinya untuk Darren.

Jujur saja, Kezia mulai nyaman dengan perilaku Darren yang membuat moodnya kembali, dan nyaman di dekat laki-laki itu. Perilaku Darren yang di luar nalar terkadang membuatnya terkejut, tapi laki-laki itu sangat perhatian. Bahkan tampak serius, hingga Darren sudah tidak lagi beridentitas playboy lagi saat ini.

"Kata siapa?" Balas Kezia.

Sontak Darren mengalihkan pandangannya menatap Kezia dengan serius. Bahkan ia tersenyum sumringah menatap gadis di sebelahnya. "Lo beneran.."

"Gua udah mulai nyaman sama lo."

Alan membuka mulutnya tidak percaya. Jika seperti ini, ia tertinggal jauh oleh Darren yang sudah mencapai dan mendapatkan hasil dari langkah-langkah yang telah laki-laki itu usahakan untuk mendekati Kezia.

...••••...

...TBC....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!