"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan ke Lembah Kabut
Pagi itu langit di atas Akademi Seomu berwarna keperakan. Setelah ujian ketiga selesai dan para murid dinyatakan resmi bergabung, hari pertama sebagai murid akademi benar-benar dimulai.
Namun belum sempat mereka menikmati masa santai, lonceng peringatan berdentang. Para tetua segera memanggil beberapa murid terpilih ke aula utama. Di antara mereka, nama Aqinfa disebut lebih dulu.
“Karena perolehan skor tertinggi dan kesiapan mental serta teknik, Aqinfa akan ditugaskan ke Lembah Kabut bersama tim peninjau,” ujar Tetua Huai dengan suara tegas.
Dalam daftar itu, selain Aqinfa, ada juga Weimu dan Ziqi sebagai senior pendamping, serta satu murid pria dari empat yang memberi selamat sebelumnya—dialah Qinlei, yang dikenal sopan dan pandai bicara. Dua murid perempuan lainnya yang ikut dalam tim adalah sahabat Aqinfa, Weyi, dan satu murid baru bernama Lanyin—seorang gadis kalem dengan rambut hitam sepundak dan mata ungu keabu-abuan.
Enam orang terpilih itu segera bersiap. Mereka hanya diberi waktu beberapa jam untuk membawa barang yang diperlukan. Misi ini bersifat investigasi sekaligus pengamanan, karena telah dilaporkan adanya kekacauan energi spiritual dan aura membusuk yang meresahkan para penduduk sekitar Lembah Kabut.
Di gerbang selatan akademi, keenamnya berkumpul. Aqinfa tampak semangat seperti biasa, bahkan terlalu semangat. Ia berjalan di samping Ziqi dan terus berceloteh tanpa henti.
“Senior Ziqi, kau tahu tidak? Aku bahkan belum pernah keluar sejauh ini dari akademi. Ini terasa seperti petualangan sungguhan! Hei, jangan terlalu diam, nanti aku bisa pingsan karena kebosanan!”
Ziqi menoleh sedikit. “Lalu jangan pingsan.”
Weyi tergelak. “Kalau dia pingsan, kita semua harus berhenti.”
“Aku tidak akan pingsan, tenang saja!” seru Aqinfa sambil tertawa.
Di belakang mereka, Weimu berjalan sambil mengamati suasana. Ia menatap Aqinfa dari jauh, matanya sedikit berubah saat mendengar suara tawanya yang riang. Di sebelahnya, Lanyin menjaga langkahnya tenang. Sementara Qinlei selalu mencari celah untuk mendekati Aqinfa.
“Kalau terjadi sesuatu, aku akan melindungimu,” ujarnya lembut saat mereka berhenti sejenak di hutan kecil menjelang penginapan pertama.
Aqinfa menoleh. “Terima kasih... tapi aku punya pedang juga, kau tahu.”
Ziqi sempat melirik saat mendengar itu, namun tetap tak berkomentar. Weimu juga menyipitkan mata, namun tak berkata apa-apa. Situasi itu terasa canggung beberapa saat.
Mereka tiba di sebuah penginapan sederhana di lereng bukit sebelum memasuki wilayah Lembah Kabut. Malam itu, mereka duduk dalam satu meja makan yang panjang. Lanyin duduk di samping Weyi, keduanya mencoba membuka percakapan.
“Jadi, kau murid baru juga?” tanya Weyi pada Lanyin.
“Iya... aku berasal dari kota utara. Baru saja diterima di akademi dua bulan lalu,” jawab Lanyin pelan.
“Wah, kita harus bertukar cerita lain waktu,” balas Aqinfa riang.
Qinlei tiba-tiba meletakkan semangkuk sup di hadapan Aqinfa. “Kau belum makan ini, sebaiknya hangatkan tubuhmu. Malam di lereng bisa sangat dingin.”
“Oh… eh, iya, makasih.”
Aqinfa menerima, namun pandangannya mencuri lihat ke arah Ziqi, yang hanya duduk diam di ujung meja, makan perlahan seperti biasa.
Weyi menyikut Aqinfa. “Kalau kau tidak suka, bilang saja.”
“Aku… bukannya tidak suka. Tapi lihat dia,” Aqinfa berbisik pelan, mengedip ke arah Ziqi.
Weimu yang duduk di seberang langsung memalingkan wajah, berpura-pura mengaduk supnya. Namun matanya tak bisa membohongi—ada perasaan tak nyaman yang mulai tumbuh.
Di sisi lain, Ziqi tampaknya sadar akan semua itu. Namun tidak sepatah kata pun ia ucapkan. Ia tetap menjadi dirinya—dingin dan diam, namun justru itulah yang membuat Aqinfa terus tertarik.
“Kenapa tidak satu meja saja dengan kami, Senior Ziqi?” tanya Aqinfa akhirnya.
Ziqi menoleh perlahan, lalu menjawab singkat, “Sudah cukup di sini.”
Malam itu berlalu dalam ketegangan samar yang hanya bisa dirasakan oleh hati-hati yang terlibat. Lanyin dan Weyi bertukar pandang sejenak, lalu tersenyum kecil—mereka tahu, petualangan ini tidak hanya akan menguji kekuatan, tapi juga perasaan.
Dan perjalanan baru saja dimulai.