"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Surat Tanpa Nama dan Dunia di Antara
Malam itu sunyi. Terlalu sunyi. Bahkan desir angin pun terasa berat menelusup ke celah-celah jendela pondok tahfidz Ummu Nafizah. Aisyah duduk di ruang kecil yang menjadi perpustakaan pesantren, bersama Khaerul yang tengah membuka lembaran demi lembaran kitab tua yang ditemukan di gua Pantai Lasonrai. Di atas meja kayu reyot, terbentang surat tanpa nama yang datang tanpa jejak—surat yang seolah menembus ruang dan waktu.
"Bacalah dengan niat hati yang bersih," suara Khaerul lirih, seperti bisikan dari ruang lain.
Aisyah membuka surat itu lagi. Kali ini, tintanya mulai terlihat sedikit lebih pekat. Huruf-huruf arab gundul itu seperti hidup, membentuk rangkaian makna yang tak terbaca secara biasa. Ia mengernyit, tangannya gemetar.
"Ini... bukan tulisan manusia biasa. Ini seperti... disampaikan oleh arwah atau entitas yang pernah ada di antara kita..."
Khaerul mengangguk pelan. "Aku bermimpi tentang gua itu. Dalam mimpi, ada seorang lelaki tua berjubah putih, wajahnya bercahaya, tapi matanya menyimpan luka ratusan tahun. Ia menunjuk surat ini dan berkata: 'Di sinilah akar segala rahasia keluarga kalian, dan sumber fitnah yang selama ini menyelimuti pondok ini.'"
Tiba-tiba ruangan menjadi dingin. Udara menggigil meski tak ada angin. Lampu minyak bergoyang-goyang seolah diguncang oleh tangan tak kasat mata. Aisyah memejamkan mata dan mengucap istighfar dalam-dalam.
Lalu... ia melihatnya.
Bayangan. Cahaya putih menyelinap di dinding, berubah menjadi sosok wanita tua berjilbab lebar. Suaranya tak terdengar, tapi mata Aisyah bisa menangkap isyaratnya.
"Jangan lupakan silsilah darah yang hilang di tangan Samad..."
Khaerul meraih tangan Aisyah. "Kita sedang tidak hanya membuka surat, tapi membuka dimensi yang telah lama tertutup. Ini bukan dunia biasa lagi, Sayang. Ini dunia antara—dunia astral."
Aisyah mengangguk, peluh dingin mengucur di keningnya. Ia tahu, dunia ini adalah perbatasan antara yang kasat dan yang ghaib. Lalu tiba-tiba, tangannya bergerak sendiri, menulis di sisi surat itu:
"Bila darah keturunan yang ditukar telah ditemukan, maka cahaya yang hilang akan kembali. Tapi jika ketamakan masih menguasai, maka pesan ini akan menjadi azab."
Khaerul membaca tulisan itu dengan tertegun. "Kamu tidak sadar menulisnya?"
"Tidak... Seperti ada yang membimbing tanganku."
Suara ketukan terdengar dari arah pintu utama pondok. Tiga kali. Lalu diam. Tak ada siapa pun di luar. Hanya angin laut dan gemuruh ombak jauh di ujung langit malam.
Esok paginya, suasana pondok berguncang.
Salah satu santri ditemukan kerasukan. Mulutnya komat-kamit menyebut nama Mahfudz bin Ibrahim berulang-ulang, dan memperingatkan tentang adanya pengkhianat yang menyamar sebagai penjaga.
"Dia bilang... surat itu harus dibakar sebelum malam ketujuh, atau roh-roh pengkhianat yang terperangkap di gua Lasonrai akan bebas berkeliaran," ujar santri senior dengan suara tercekat.
Aisyah menatap Khaerul dengan sorot mata dalam. "Kita harus kembali ke gua itu. Tapi kali ini, bukan untuk membaca... melainkan untuk menutup sesuatu yang telah terbuka."
Langit petang itu memerah darah. Di balik bukit dan pantai, misteri masih menggantung. Surat tanpa nama bukan sekadar tulisan—ia adalah pemantik dimensi. Dan para pelindung rahasia silsilah keluarga Mahfudz kini telah bangkit dari tidur panjang mereka...
Langit malam kembali menebarkan cahaya purnama yang pucat, seolah ikut mengintai kisah yang tak selesai di antara bebukitan dan pantai sunyi Lasonrai. Di dalam kamar kecilnya, Aisyah masih memandangi surat tanpa nama itu dengan tatapan kosong. Huruf demi huruf dalam surat itu seperti hidup, seakan-akan bisikan dari dunia lain ingin meminjamkan suara.
Tiba-tiba, hawa dingin menyelusup dari bawah pintu. Lentera minyak yang sedari tadi menyala tenang, bergetar dan nyaris padam. Aisyah menoleh cepat ke arah jendela yang kini tampak berkabut dari dalam. Embun malam tak seharusnya sepekat itu. Bukan hanya dingin, tapi seperti kabut dari dunia lain—kabut spiritual yang merasuk hingga ke sumsum.
Doa-doa pelindung segera ia lafazkan. Namun sebelum ia selesai membaca ayat Kursi, suara bisikan lirih terdengar dari dalam dinding. "Dia belum tenang... dia belum selesai..." Bisikan itu tidak berasal dari dunia nyata. Aisyah bisa merasakannya. Dunia spiritual membuka celahnya malam itu.
Pintu kamar mengayun pelan, padahal tidak ada angin. Di ambang pintu, tampak sesosok bayangan perempuan tua berjubah putih, wajahnya kabur seperti tertutup kabut tipis. Sosok itu menunjuk pada surat yang masih tergenggam di tangan Aisyah. "Bacalah yang tersembunyi... bukan dengan mata, tapi dengan ruhmu..."
Tiba-tiba tubuh Aisyah limbung. Dunia di sekelilingnya seperti menghilang. Ia terbangun di sebuah tempat asing—tanah lapang yang kering, dihiasi batu-batu nisan tua dan dahan pohon yang patah. Cahaya di sana bukan dari matahari, tapi dari langit jingga yang redup dan menyedihkan. Di sana, suara tangisan terdengar bersahutan, namun tubuh-tubuhnya tak terlihat.
"Di sinilah jejak awal kehancuran Pak Samad dimulai... dan tak semuanya bisa ditebus dengan darah..."
Aisyah melihat ke tanah. Sebuah batu besar tertulis nama yang sama dengan pengirim surat: Mahfudz bin Ibrahim. Tapi saat disentuh, nama itu berubah menjadi Halimah binti Mahfudz. Lalu berubah lagi menjadi Nuraini binti Mahfudz. Semua nama itu seperti saling menutupi, menyamarkan kebenaran.
Tiba-tiba Aisyah terbangun. Tubuhnya basah oleh keringat. Di tangan kanannya, surat itu tak lagi tampak seperti biasa. Sekarang terdapat satu baris tambahan dalam tulisan Arab gundul: "Rahasia ada pada darah yang terhapus dari silsilah."
Ketegangan itu belum reda ketika Khaerul mengetuk pintu dengan wajah panik. "Seseorang masuk ke kamar arsip pondok. Laci-laci terbuka dan catatan-catatan keluarga hilang."
Aisyah menggenggam surat itu erat. Ia tahu ini bukan sekadar gangguan spiritual, tapi pertanda bahwa orang yang ingin menyembunyikan masa lalu sedang bergerak lagi. Dan mereka kini mengincar bukan hanya dokumen, tapi nyawa.
Langit malam di Batupute berubah menjadi kelam, seperti diselimuti kabut tipis berwarna kelabu yang melingkupi pepohonan. Di kejauhan, debur ombak dari Pantai Lasonrai terdengar pelan, namun malam itu, deburannya terasa lebih berat. Seolah ada bisikan yang menyelinap dalam tiap hembusan angin, membawa aroma mistis yang tak biasa.
Aisyah masih duduk terpaku di beranda pondok. Surat tanpa nama yang tiba-tiba datang siang tadi telah mengguncang pikirannya. Setiap kata dalam surat itu seperti mantra yang menyeretnya kembali ke luka masa lalu—ke masa kelam yang belum sempat ia pahami.
"Rahasia belum selesai diungkap. Jangan percaya pada bayangan sendiri. Mereka yang kau pikir telah tiada, mungkin hanya tersembunyi di balik tirai dunia."
Itu sepenggal kalimat dari surat yang kini mengguncang relung hatinya. Sejak surat itu datang, udara di sekeliling pondok menjadi lebih dingin. Santri-santri mengaku mendengar suara-suara aneh di malam hari, dan beberapa di antara mereka bermimpi buruk tentang sosok berjubah hitam dengan mata merah membara.
Khaerul berusaha menenangkan semua, namun dalam hatinya ia tahu—ini bukan sekadar mimpi buruk. Ini adalah tanda. Tanda bahwa tabir dunia lain mulai terbuka kembali.
Pada malam ketiga setelah surat itu muncul, pondok dikejutkan oleh suara jeritan dari arah dapur santri. Ketika semua orang berlari ke sana, mereka menemukan Nurfa—salah satu santri—tergeletak dengan tubuh menggigil, matanya menatap langit-langit dengan kosong, dan mulutnya berkomat-kamit seperti merapal sesuatu dalam bahasa yang tidak dikenal.
Ustadzah Salma mencoba meruqyahnya, namun sesuatu terasa berbeda. Nurfa meronta dan berteriak, "Dia datang... dia datang dari balik pohon lontara... dia melihat dari langit yang tak berwarna!"
Malam itu, tidak ada satu pun yang tidur.
Menjelang tengah malam, saat bulan tertutup awan, Aisyah yang tengah memandangi mushafnya tiba-tiba merasa hawa di sekelilingnya berubah. Suhu menjadi dingin menusuk, dan angin berdesir dengan suara-suara asing. Ketika ia menengok ke luar, sosok tinggi berjubah hitam berdiri di batas pagar pondok. Wajahnya tak tampak, tertutup kain lusuh, namun matanya merah menyala seolah membakar malam.
Seketika tubuh Aisyah lemas. Ia tahu, ini bukan manusia biasa. Ini adalah... Parakang.
Makhluk mistis dalam legenda Bugis—manusia yang bisa berpindah wujud dan hidup dalam dua dunia, dunia manusia dan dunia gelap. Dalam kepercayaan lama, Parakang tak hanya memakan tubuh, tapi juga mencuri jiwa.
Khaerul yang merasakan sesuatu segera berlari menuju Aisyah, namun tubuhnya terpental oleh angin keras yang tak kasat mata. Sosok itu tak bergerak, tapi anginnya seperti badai. Dari dalam, doa dan ayat-ayat suci dilantunkan oleh para santri yang ketakutan, menciptakan gema spiritual yang membelah malam.
Namun Parakang itu hanya berdiri diam, menatap Aisyah dengan tajam. Dari dadanya keluar suara yang menyerupai erangan dan kata-kata terputus-putus:
"Kau... keturunan yang membawa cahaya... tapi cahaya itu menutupi luka lama... darah yang belum terbalas... kebenaran... dibakar..."
Seketika sosok itu lenyap dalam kabut tipis.
Aisyah jatuh tersungkur. Khaerul segera memeluknya, membacakan doa-doa pelindung. Para santri keluar dari kamar mereka dengan wajah pucat, menyaksikan bagaimana malam itu Pondok Tahfidz Ummu Nafizah hampir dihancurkan oleh kekuatan yang tak mereka pahami.
Namun itu baru permulaan. Keesokan paginya, tanah di halaman pondok retak, dan dari dalamnya muncul potongan kayu tua bertuliskan huruf lontara kuno. Tertulis satu kalimat yang membuat bulu kuduk semua yang membacanya berdiri:
"Tidak semua kebenaran layak dibuka. Tapi jika dibuka, bersiaplah menghadapi kegelapan yang akan menjawabnya."