NovelToon NovelToon
Cinta Bagai Duri

Cinta Bagai Duri

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: Maharanii Bahar

" Apa maksud dari keluarga mu bicara seperti itu mas? Apakah aku kalian anggap orang asing selama ini? Apa bakti ku pada suami serta keluarga ini tidak berarti apa apa?" Ria berkata dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.

Selama ini ia hanya dianggap orang asing oleh keluarga suami nya sendiri padahal dia lah yang selalu ada untuk suaminya ketika sedang terpuruk bahkan dia rela menjadi tulang punggung mencari rezeki demi sesuap nasi karena suami yang dicintainya di PHK.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maharanii Bahar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 27

Malam itu rumah Ria terasa hangat. Setelah keputusan besar yang diambil siang tadi, suasana hati semua orang tampak ringan. Ibu terlihat sibuk menyiapkan camilan di dapur sambil bersenandung pelan, sedangkan Bapak duduk di teras dengan senyum lega. Di dalam kamarnya, Ria menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapan matanya jauh berbeda dengan setahun lalu—tak lagi sendu, tak lagi takut. Kini ada keberanian, ada ketegasan, dan yang paling penting: ada harapan.

"Mas Andre..." bisiknya pelan.

Ia mengingat bagaimana lelaki itu hadir perlahan-lahan, tidak memaksa, tidak mendesak. Andre hanya hadir dengan keikhlasan, mencintai dirinya tanpa syarat, menerima masa lalunya, bahkan mencintai Nayla sebagai darah dagingnya sendiri. Ria tak bisa menolak lagi: ia jatuh cinta.

Namun di sisi lain kota, langit mendung mengiringi suasana yang berbeda. Di kamar rumah sakit, Winda terbaring lemah. Ia menatap ke arah langit-langit dengan mata sembab. Kata-kata Pak Aji dan Bu Indri terus bergema di kepalanya. Rasa sesak itu bukan hanya karena fisiknya yang lelah, tetapi juga karena jiwanya yang tercabik-cabik oleh kenyataan: orang tuanya pun kini mulai ragu padanya.

Winda mengelus perutnya yang mulai membuncit. “Nak… maafin mama, ya. Mungkin kamu nggak minta dilahirkan di tengah keluarga yang penuh kebencian ini, tapi mama janji, kamu bakal punya ayah yang utuh… bukan bayangan dari mamanya.”

Tangannya meraba ujung kasur, mencari kekuatan dalam sepi. Tak lama, Riyan masuk sambil membawa air putih dan sehelai handuk kecil.

“Kamu minum dulu, Win,” katanya pelan, tanpa banyak bicara.

Winda menerima gelas itu. Tak ada senyum, tak ada tatapan manja seperti dulu. Tapi ada sesuatu yang berbeda—entah kepasrahan atau mungkin kedewasaan.

“Mas… kalau nanti aku pulang, kita bisa tinggal di rumah sendiri nggak? Aku… aku capek. Aku nggak mau anak kita tumbuh dalam rumah yang penuh teriakan,” lirih Winda, hampir berbisik.

Riyan menatap Winda cukup lama. Ia tahu permintaan itu bukan hal ringan. Ibunya, Bu Lila, takkan pernah membiarkan mereka lepas begitu saja. Tapi ia juga sadar—jika terus seperti ini, keluarganya takkan pernah utuh.

“Aku usahakan, Win. Tapi kamu juga harus kuat ya. Aku nggak bisa lawan semuanya sendiri,” jawab Riyan, untuk pertama kalinya terdengar mantap.

Winda tersenyum kecil, samar… tapi itu cukup. Ia masih punya harapan.

 

Malam berikutnya, Andre kembali ke rumah Ria, kali ini tidak sendiri. Ia datang bersama Pak Gino dan Bu Sri—satpam dan ART yang sudah menemaninya sejak lama. Mereka membawa hantaran sederhana, bukan mewah tapi penuh makna. Kedatangan mereka disambut hangat oleh keluarga Ria

Prosesi lamaran berjalan sederhana. Andre duduk bersila di hadapan Bapak, wajahnya tenang tapi tegas.

“Pak, saya datang hari ini untuk meminang Ria. Saya ingin ria menjadi istri sekaligus ibu untuk Nayla. Saya janji akan menjaga mereka seperti nyawa saya sendiri.”

Bapak menatap Andre lama, lalu mengangguk. “Kalau begitu, kita mulai persiapan untuk hari bahagia itu, Nak.”

Ria, yang sedari tadi duduk di samping Ibu, menunduk. Ada air mata di pelupuk matanya, tapi itu bukan air mata kesedihan. Itu air mata dari luka yang kini perlahan sembuh. Ia tak menyangka akan kembali mengenal rasa bahagia. Dan yang lebih penting: ia tidak merasa takut.

 

Sementara itu di rumah Bu Lila, rencana jahat mulai disusun.

“Kamu tahu, Putri, Winda itu terlalu lemah. Tapi kelemahan itu bisa kita manfaatkan,” ujar Bu Lila dengan mata menyipit.

“Apa kita jebak aja, Ma? Mungkin… kita bisa buat Riyan percaya kalau Winda mengkhianatinya. Atau kita ganggu kandungan itu. Biar dia stres, dan akhirnya menyerah,” bisik Putri.

“Jangan bodoh! Jangan sampai anak itu kenapa-napa. Kita butuh dia melahirkan pewaris Riyan dulu. Baru setelah itu, kita kuasai semuanya,” sergah Bu Lila tajam.

Putri hanya mengangguk. Wajahnya dingin, matanya tak menampakkan simpati sedikit pun. Hanya ambisi yang tinggal di sana.

 

Keesokan harinya, Ria duduk di teras. Sinar mentari pagi menari-nari di antara dedaunan. Ia merasa damai, meski di dalam dirinya masih ada luka yang belum pulih sepenuhnya.

“Ibu, aku nggak nyangka bisa merasa begini lagi,” kata Ria lirih saat ibunya datang membawakan teh hangat.

“Waktu memang tidak bisa menghapus luka, Nduk. Tapi waktu bisa bantu kamu berdamai dengan masa lalu. Sekarang kamu sudah membuka hati, artinya kamu siap untuk bahagia.”

Ria tersenyum. “Iya, Bu. Ria siap.”

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal:

“Hati-hati, masa lalu belum selesai denganmu. Jangan percaya siapa pun terlalu cepat.”

Ria terdiam. Tangannya menggenggam ponsel erat. Senyum di wajahnya memudar.

Ibu menyadari perubahan ekspresi itu. “Ada apa, Nduk?”

Ria menggeleng. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma pesan iseng.”

Namun hatinya mulai tak tenang. Ia tahu betul, masa lalu memang tak selalu mau pergi dengan tenang…

Ria menaruh ponselnya di meja, Hatinya bergolak. Meski Andre telah datang dengan niat baik, walau keluarganya menerima dengan lapang dada, tetap saja rasa was-was itu tak sepenuhnya pergi.

Ia bangkit perlahan, masuk ke kamar, dan membuka laci kecil tempat ia menyimpan dokumen-dokumen penting. Di sana, ia menemukan foto lama—foto pernikahannya dengan Riyan, terselip di antara surat-surat. Ia menarik napas panjang. Luka itu belum sembuh total, dan bayangan Riyan masih menghantui sebagian dari dirinya.

“nak!” panggil ibunya dari luar.

Ria buru-buru menyimpan kembali foto itu dan keluar kamar. ibu berdiri di ambang pintu, menunjuk ke arah jalan. Ada mobil hitam berhenti tidak jauh dari pagar rumah.

“Siapa itu?” gumam Ria, mencoba mengenali pelat nomor. Bukan mobil Andre, bukan juga milik keluarga mereka.

Seorang pria turun, mengenakan jas hitam rapi, membawa map cokelat. Wajahnya asing, tapi gerak-geriknya tenang. Ia mendekat ke pagar dan mengetuk pelan.

“Permisi… saya mencari Bu Ria Dewi Ayuningtyas?”

Ria mengangguk pelan. “Saya sendiri. Ada apa, Pak?”

“Saya dari kantor pengacara Farhan & Rekan. Kami diminta untuk mengantarkan ini,” katanya sambil menyerahkan map tersebut. “Terkait gugatan perdata. Kami hanya kurir, Bu. Semua informasi ada di dalamnya.”

Ria menerima map itu dengan tangan bergetar. Pria itu pamit, kembali ke mobil, dan segera pergi. Dengan napas tercekat, Ria membuka isi map tersebut.

Matanya membelalak.

Ria hampir menjatuhkan map itu namun diambil oleh ibu. Napasnya tersengal.

Ibu langsung duduk. “Astaghfirullah. Dia benar-benar sudah kehilangan akal…”

Tanpa pikir panjang, Ria mengambil ponselnya dan menelpon Andre.

“Sayang, aku harus ketemu kamu sekarang. Ada yang gawat…”

Suara Andre langsung serius. “Oke, aku ke sana sekarang.”

 

Sementara itu, di kamar rumahnya, Riyan berdiri di depan cermin dengan wajah datar. Di tangannya, terselip ponsel dengan pesan terakhir dari Putri:

“Semua sudah sesuai rencana. Surat gugatan sudah dikirim. Kita lihat sejauh apa dia bisa bertahan…”

Riyan menatap bayangannya sendiri. Ada rasa kosong di matanya. Ia sendiri tak yakin apa yang ia cari. Apakah ia benar-benar menyesal, atau hanya ingin menghancurkan Ria?

Winda masuk ke kamar, melihat punggung Riyan.

“Kamu kelihatan beda, Mas. Ada apa?”

Riyan tak menjawab. Ia hanya menatap lurus, lalu berkata pelan, “Kalau kamu tahu aku sedang melawan setan dalam diriku sendiri, kamu masih mau di sini?”

Winda mendekat, memeluk dari belakang. “Aku di sini bukan karena kamu sempurna, Mas. Tapi karena aku percaya… kamu masih bisa berubah.”

Riyan terdiam. Tapi di dadanya, perang mulai berkecamuk. Dan entah siapa yang akan keluar sebagai pemenang.

1
kalea rizuky
kebanyakan pov kali Thor dialog ria aja g perlu pov lainnya g penting
kalea rizuky
gk tau diri ne mantan ipar
kalea rizuky
jeng jeng
kalea rizuky
bodoh pake ngemis gt
horasios
Kangennya bukan main, update dong thor. Biar makin jatuh cinta! 😍
Yoi Lindra
Wah, seru banget nih, thor jangan bikin penasaran dong!
Winifred
Bikin deg-degan nih!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!