NovelToon NovelToon
Sayap-Sayap Bisu

Sayap-Sayap Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.

Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.

Dari sanalah kisah ini bermulai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 28

“Kenapa kamu tidak menemaninya pulang?” Fly bertanya pada Gen.

Anak lelaki sebaya Alsa itu merupakan adik sepupu Gen. setelah selesai belajar, seorang pria dewasa datang menjemput anak lelaki itu menggunakan mobil. Sedangkan Gen masih berada di saung belakang rumah Fly. Vio dan Ara juga sudah pulang. Begitupun seluruh murid dan wali mereka.

Ibu Fly muncul di bingkai pintu, “Fa, sini masuk ajak tamunya!”

Tamu?

Gen tersenyum tipis. Teramat tipis hingga tak terlihat dari jarak dua meter. Fly menunjuk pintu masuk dengan dagunya. Mereka berjalan ke dalam.

Di sana, sudah terhidang makanan ringan seperti yang dihidangkan ibu Fly untuk para wali. Fly teringat akan Aza ketika Gen duduk. Sebab posisinya sama, juga cara mereka duduk. Benar kata Alsa. Dari kejauhan mereka memang sangat mirip.

“Terima kasih, tante.” Gen berkata sopan, setelah ibu Fly menurunkan segelas teh hangat dari nampan kecil.

“Loh?” Ibu Fly tampak mengucek kedua matanya hingga berkali-kali.

Alsa menjerit dari arah kamarnya. Disambut omelan singkat dari ayah Fly. Kemudian dilanjutkan dengan tangisan Rizal. Rumah ini bising dalam sekejap. Namun wanita itu masih terpaku ke tempat pemuda itu duduk sembari tersenyum kepadanya.

“Kenapa sih, Bu?” tanya Fly.

“Kamu temannya Fly?”

Gen mengangguk, “Teman kuliah, tante. Nama saya Gentala.”

Sejenak, ibu Fly melirik anaknya. Nampan yang telah kosong itu masih erat digenggam. Lantas menggaruk kepala yang ada di balik kerudung hitamnya. Rasa linglung menyertai.

“Dari tadi ibu kira Aza,” bisik ibu Fly.

Karena mulut ibunya mendekat ke telinga, Fly jadi merasa tidak enak dengan Gen. takut jika Gen tersinggung. Hingga ia langsung menjauhkan telinga dari mulut ibunya. Sedangkan Gen tampak melihat-lihat arah lain.

“Apa sih, Bu. Jangan bisik-bisik, deh.”

“Gentala, ya. Nama yang bagus. Kalau boleh tahu, dari mana?”

“Dari jalan Aster 12, tante. Komplek deket SMK 07.”

Sebuah pernyataan yang membuat Fly kebingungan. Sejak kapan Gen tinggal di sana? Bukankah seharusnya ia tinggal di ibukota? Bersama dengan keluarganya. Oleh karena itu, sambil menyimak obrolan ibu dan Gen, Fly akan sekaligus mendapatkan informasi tentang Gen yang saat ini tiba-tiba mendaftarkan sepupunya di rumah tahfiznya.

“Kok pas masih kuliah nggak pernah main ke sini. Padahal lumayan deket.”

“Sebenarnya saya baru beberapa bulan tinggal di sini. Sengaja aja. Mau nyari suasan baru. Kebetulan di sini rumah tante saya. Adik dari ayah saya. Jadi, saya coba aja tinggal di kota yang sama. Ternyata Fly ada di kota ini,” jelas Gen.

Ternyata sebuah ketidaksengajaan. Kehadiran Gen dan Aza sama saja. sama-sama membuat dunia terasa begitu sempit.

“Kakak dia artis loh, Bu,” timpal Fly.

Seketika Gen menepuk dahi. Sepertinya ia tidak mau jika ada yang membongkar identitasnya sebagai adik dari artis terkenal. Sebab ia benar-benar tidak merasa bangga akan hal itu.

“Artis, siapa?”

“Krista. Ituloh yang sering main film romantis.”

“Yang mana tuh?”

Kali ini Fly yang menepuk dahi, “Masa nggak tahu. Padahal dia lagi naik daun.”

“Yang ini, tante,” ujar Gen sambil memperlihatkan foto kakaknya dari HP-nya.

“Oh, yang ini. Ini sih ibu juga tahu. sering muncul di teve. Tapi lupa mulu namanya. Soalnya susah.”

“Inget aja Khadijah, tante. Nama asli dia Khadijah,” ungkap Gen.

Ibu Fly mengangguk tanpa mengerti. Fly dan Gen tertawa kecil. Tanpa sengaja malah saling melempar tatap. Seketika mereka langsung tertunduk sesaat. Ingatan KKN yang menyenangkan di awal itu muncul kembali.

Setelah puas mengobrol dan Gen meminta ibu Fly untuk merahasiakan identitasnya, ia pergi lagi ke dapur. Menyisakan Fly dan Gen yang masing-masing berusaha membuang rasa canggung masing-masing.

Ingin sekali Fly bertanya kepada Gen perihal perkembangan hubungannya dengan Isa. Kapan mereka nikah? Kapan mereka memperjelas semuanya? Lantas, apakah jika menikah maka mereka akan tinggal di kota yang sana dengan Fly di sini? Sepertinya itu begitu menyakitkan ketika dibayangkan.

“Kenapa kamu bisa tahu di sini ada rumah tahfiz. Apakah kamu tahu kalau aku yang membukanya?”

Gen mengangguk, “Tahu dari Aza.”

“Di mana Aza sekarang?”

“Mungkin di rumahnya. Bukankah seharusnya kamu sudah tahu tinggal di mana?”

Tentu saja Fly sudah tahu letaknya. Hanya saja ia tidak terpikirkan untuk ke sana. lagipula untuk apa? meminta penjelasan dari seseorang yang jelas-jelas menghindar. Jika ia ke sana, bukankah hanya membuka peluang untuk mempermalukan diri? Bagaimana jika orang tua Aza bertanya siapa dia? bukankah ia bukan siap-siapanya Aza? Baiklah, mengapa sekarang ia malah memikirkan Aza di saat seseorang yang pernah benar-benar ia akui mengisi hatinya, yakni Gen.

“Maaf, aku berbohong. Sebenarnya aku ke kota ini bukan sebuah kebetulan. Aku tahu bahwa ini tempat tinggalmu.”

“Dari Aza?”

Gen mengangguk.

“Jangan katakan itu. Kamu hanya membuatku membuka masa-masa memalukan.”

“Maaf, tapi aku mengaku menyesal telah menyakitimu. Aku akan meluruskan niatku. Dengan datang ke rumahmu hanya untuk menemani Thalhah, sepupuku.”

Fly tersenyum kecil sambil mengangguk. Sekalipun entah mengapa ia merasakan sesak di dada yang tak terlihat. Jawaban Gen seperti sebuah penolakan halus. Tentang tidak adanya nam Fly dalam hatinya. Salah. Sungguh salah baginya ketika Gen datang. Entah apapun niat lelaki itu, tetap saja hanya membuat hatinya repot. Perasaan yang ia kubur begitu dalam, bangkit sudah. Terbayang setiap mengajar selalu ada wajah Gen di antaranya. Bagaimana ia akan fokus pada tugasnya. Jika senantiasa terselubung degupan tak terarah dan tak elok itu?

“Aku selalu iri dengan seseorang yang menjadikan Tuhannya sebagai tempat merebahkan penat duniawi. Iri. Sangat iri. Aku iri dengan seorang penghafal Al-Qur’an.”

“Hah? Sangat tidak memunginkan. Orang sepertimu iri dengan orang sepertiku.”

“Entah siapapun orangnya, ketika hal positif ia lakukan. Akan selalu menciptakan celah untuk bisa dikagumi.”

Diam! Astaga, manusia macam apa ini?

Fly membuang wajah. Sakit dan bahagia berbaur. Itulah yang ia rasakan dari ucapan-ucapan Gen. Sekejap membuat sakit, sekejap membuat berbunga-bunga.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Fly, mengalihkan pembicaraan.

“Kuliah.”

“Langsung lanjut S2?”

“Iya.”

Setelah berbincang banyak, Gen pamit pulang sebelum azan magrib berkumandangan. Lelaki itu melambai, sekaligus melayangkan bulu-bulu halus yang menembus sanubari Fly dan menggelitiknya hingga ia tak kuasa untuk menahan senyuman. Walaupun setelah itu ia langsung menampar dirinya sendiri.

“Gen itu untuk Isa. Ingat itu!” ucap Fly pada dirinya sendiri.

“Ngomong sama siapa, kak?”

Alsa tiba-tiba muncul di hadapan Fly. Wajah polosnya begitu penuh dengan tanya. Tak lama, muncul juga Rizal yang turut berdiri mematung di dekat Alsa.

“Nggak ada. Orang dewasa itu emang suka ngobrol sama diri sendiri untuk menenangkan diri.” Fly menjawab asal.

“Emangnya orang dewasa itu selalu nggak tenang kalau habis ngobrol sama cowok?”

“Hei! Jangan ngomong gitu. Nggak bener, ya!” tegas Fly dengan tatapan tajam ke arah Alsa.

“Oh iya, kak. Si anak baru itu kok manja banget. Masa dia nggak ngasih kakak yang mirip ustaz Aza itu gabung sama wali lainnya. Padahal udah gede juga.”

“Namanya juga baru. Apalagi ia paling telat datangnya. Makanya malu.”

“Tapi jadinya kak Fa kayak nggak fokus gitu. Malu ya, dilihatin kakak itu. nanti ustaz Aza cemburu, loh.”

“Apa sih, anak kecil. Sok tahu urusan cemburu. Mending sana kamu mandi. Bau keringet, tahu!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!