Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Keesokan paginya, matahari mulai merayap di balik awan, menerangi halaman rumah. Setelah sarapan dengan suasana hening, semua orang bersiap menuju rumah sakit untuk melakukan tes DNA.
Anjani duduk di kursi belakang mobil bersama Bu Fatma, Elisabet, dan Marco. Suasana di dalam mobil terasa kaku. Sesekali, Bu Fatma menenangkan Anjani dengan mengelus punggungnya, sementara Marco dan Elisabet hanya saling bertukar pandang tanpa suara.
Sementara itu, di mobil lain, Pak Iksan duduk di samping William, sementara Kevin duduk di kursi belakang. Perjalanan terasa berat, hingga Kevin mencoba mencairkan suasana.
"Pak Iksan... bagaimana perasaan anda jika benak Anjani adalah kakak ku?" tanya Kevin, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Pak Iksan menoleh sebentar, menghela nafas panjang. "Aku akan tetap menyayanginya sebagai anakku,tapi semua itu terserah anjani.dia berhak menentukan pilihan ya."
Kevin mengangguk, matanya menerawang. "Kalau bukan karena kalian, mungkin Anjani tidak akan selamat."
William yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. "Kalian keluarga yang baik... membesarkan anak yang bukan darah daging sendiri tanpa pamrih. Itu tidak semua orang bisa lakukan."
Pak Iksan hanya tersenyum tipis, hatinya terasa hangat meski kegelisahan masih menghantui.Perjalanan menuju rumah sakit dipenuhi ketegangan yang menyesakkan.
Anjani duduk di kursi belakang bersama Elisabet, sementara Bu Fatma di depan, di samping Marco yang menyetir dengan wajah dingin tanpa ekspresi.
Selama perjalanan, suasana terasa begitu sunyi. Anjani menatap kosong ke luar jendela, pikirannya kalut membayangkan hasil tes DNA yang akan dijalaninya. Bukan lagi tentang Adrian, melainkan untuk membuktikan dugaan yang baru-baru ini terungkap—bahwa Elisabet, wanita yang selama ini dianggap orang asing, mungkin adalah ibu kandungnya.
Elisabet melirik Anjani, matanya berkaca-kaca. Perlahan, ia meraih tangan Anjani, menggenggamnya erat. "Apapun hasilnya,nak ... aku tidak akan mengingkari bahwa bu Fatma ibu yang telah membesarkan kamu ."
Anjani hanya tersenyum tipis, meski hatinya penuh luka dan kebingungan.
Marco, yang mendengar percakapan itu, hanya melirik dari kaca spion tanpa komentar. Sementara Bu Fatma mengusap air matanya yang diam-diam menetes, hatinya tercabik antara rasa cemas dan takut kehilangan putrinya.
Setibanya di rumah sakit, mereka langsung menuju laboratorium. Marco mengurus administrasi, sementara Anjani, Elisabet, dan Bu Fatma menunggu di ruang tunggu.
Tak lama, nama mereka dipanggil. Anjani melangkah masuk dengan gemetar, diikuti papa marco. Proses pengambilan sampel darah berlangsung cepat, namun perasaan yang menyelimuti begitu berat.
Usai pengambilan sampel, mereka kembali pulang untuk menunggu hasil tes tersebut.dalam perjalan pulang di dalam mobil , Elisabet terus menggenggam tangan Anjani, seolah tak ingin kehilangan kesempatan lagi.
"Kalau benar aku ibumu... maafkan aku, Nak," bisik Elisabet lirih, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Anjani menatap Elisabet dengan mata berkaca-kaca, hatinya berkecamuk. Ia tak tahu harus bahagia, marah, atau justru lebih terluka. ketegangan menyelimuti setiap sudut ruangan.diperkirakan tes akan keluar dalam beberapa jam.
*****
Adrian berdiri kaku di hadapan meja atasannya, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ruangan kantor yang biasanya terasa nyaman kini berubah menjadi ruang penghakiman.
"Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu, Adrian?" suara Pak Hendra, atasannya, terdengar tajam. "Proposal proyek kemarin berantakan, laporan keuangan telat, dan sekarang klien komplain karena kamu tidak hadir saat presentasi! Kamu pikir ini tempat main-main?"
Adrian menelan ludah, mencoba menahan rasa malu yang membuncah. "Maaf, Pak... saya—"
"Maaf? Kamu pikir permintaan maaf bisa memperbaiki semuanya?" potong Pak Hendra dengan nada meninggi.
Adrian menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal di sisi tubuh. Pikirannya berkelindan antara pekerjaan yang berantakan dan sidang perceraian esok pagi.
"Kalau kamu nggak siap kerja, ajukan cuti! Jangan setengah-setengah kayak gini!" lanjut Pak Hendra tanpa ampun.
Adrian mencoba menenangkan diri. "Saya janji akan memperbaiki semuanya, Pak. Saya hanya sedang ada masalah pribadi."
Pak Hendra menyipitkan mata, nadanya mulai melunak meski masih tajam. "Masalah pribadi? Semua orang di sini punya masalah, Adrian. Tapi itu bukan alasan buat mengabaikan tanggung jawab!"
Adrian terdiam, matanya menunduk. Dalam hatinya, ia tahu Pak Hendra benar. Tapi bagaimana mungkin ia bisa fokus saat hatinya sedang terkoyak? Talak sudah terucap, dan kini Anjani benar-benar akan pergi dari hidupnya.
"Kalau kamu masih pengen pekerjaan ini, buktikan!" suara Pak Hendra memecah lamunannya. "Saya kasih waktu seminggu buat beresin semua pekerjaan yang kacau. Kalau nggak, kamu tahu konsekuensinya!"
Adrian mengangguk pelan. "Baik, Pak. Terima kasih atas kesempatannya."
Pak Hendra menghela nafas panjang. "Adrian... saya tahu kamu karyawan yang berbakat. Jangan hancurkan karirmu hanya karena perempuan."
Adrian tersentak, dadanya terasa sesak.
Bukan sekadar perempuan, batinnya berontak. Anjani adalah wanita yang sudah menemani hidupnya sejak mereka pacaran. Wanita yang rela meninggalkan keluarganya demi menikah dengannya.
Namun, semua pengorbanan itu ia balas dengan penghianatan dan kebodohan.
Keluar dari ruangan Pak Hendra, Adrian berjalan gontai menuju meja kerjanya. Ponselnya bergetar, menampilkan satu pesan dari Anggun.
"Mas, udah makan siang? Aku udah di kafe dekat kantor, kalau mau bareng kasih tahu ya."
Adrian menatap layar ponselnya tanpa ekspresi. Anggun memang selalu ada di saat Anjani pergi, tapi kehadirannya justru menambah beban di hatinya.
Ia mengetik balasan singkat.
"Nggak usah. Aku sibuk."
Adrian menutup ponsel dan menyandarkan kepalanya di kursi. Dadanya terasa sesak. Di satu sisi, ia tak rela kehilangan Anjani. Tapi di sisi lain, ada Anggun yang menunggunya dengan penuh harap.
Hatinya bimbang, terjebak di antara cinta lama yang memudar dan cinta baru yang belum pasti.
Dan esok pagi, semua akan berubah. Entah itu kebebasan atau penyesalan seumur hidup.
Di seberang telepon, wajah Anggun yang semula berbinar langsung berubah masam. Tatapan matanya redup, seakan tak percaya dengan jawaban dingin dari Adrian. Jemarinya yang tadi lincah menekan layar ponsel kini terhenti, menggenggam erat benda itu dengan gemetar.
"Kenapa, Mas?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Ia menatap kosong ke luar jendela kafe tempatnya menunggu. Secangkir kopi di hadapannya mulai mendingin, tak tersentuh sejak tadi. Hatinya mendidih, bukan hanya karena kecewa, tapi juga rasa cemburu yang diam-diam membakar dada.
"Dia masih mikirin perempuan itu..." bisiknya lirih.
Sejenak, Anggun menggigit bibirnya, menahan emosi yang berkecamuk. Sudah berbulan-bulan ia menunggu kesempatan ini, berharap Adrian benar-benar berpisah dengan Anjani. Tapi kenapa justru sekarang Adrian menjauh?
Ponselnya kembali ia letakkan di atas meja. Tatapannya berkaca-kaca, tapi ia buru-buru menghapus air matanya.
Tidak, aku nggak boleh nyerah, batinnya berbisik.
Anggun menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia mengambil ponselnya lagi, mengetik pesan dengan hati-hati.
"Aku ngerti, Mas. Tapi aku di sini kalau kamu butuh teman cerita."
Namun, sebelum pesannya terkirim, ia mengurungkan niat.
Tidak. Adrian harus sadar kalau aku bukan sekadar teman cerita.
Anggun menghapus pesannya, lalu mengetik yang baru.
"Mas, aku nggak masalah kalau kamu sibuk. Tapi aku cuma ingin nemenin kamu. Jangan jauh-jauh dari aku."
Pesan itu ia kirim dengan hati berdebar. Beberapa detik berlalu tanpa balasan. Anggun menggigit bibirnya, menahan gemuruh emosi yang makin membuncah.
Dalam hati, ia berjanji akan melakukan apa saja agar Adrian sepenuhnya menjadi miliknya—meski harus membuat Anjani benar-benar pergi dari hidup pria itu.
******
Ruangan dokter yang sempit terasa penuh oleh ketegangan. Semua anggota keluarga duduk melingkar, menanti dengan napas tertahan. waktunya pengambilan dan pembacaan hasil tes DNA ,Detik demi detik berlalu begitu lambat, seakan waktu enggan beranjak.
Dokter yang memegang amplop coklat itu menatap mereka satu per satu sebelum membuka hasil laboratorium. Suara kertas berdesir membuat dada Anjani berdegup kencang.
"Hasil tes DNA menunjukkan... terdapat kecocokan 99% antara Tuan Marco dan Anjani."
Ruangan itu mendadak sunyi. Semua orang seakan membeku, sulit memproses kenyataan yang baru saja terungkap.
Marco yang sejak tadi menunduk, perlahan mengangkat wajahnya. Matanya memerah, menahan emosi yang bergejolak. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya.
"Anakku..." suara Marco bergetar, hampir tak terdengar.
Elisabet menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar menahan isak. Tanpa ragu, Marco dan Elisabet berdiri bersamaan, menghampiri Anjani yang masih terpaku di tempatnya.
Marco merentangkan kedua tangannya, dan tanpa sadar, Anjani melangkah maju. Begitu tubuhnya tenggelam dalam pelukan Marco, Elisabet ikut merengkuh mereka berdua. Tangis ketiganya pecah, menumpahkan semua penantian dan penyesalan yang bertahun-tahun terpendam.
"Anakku... maafkan kami... kami kehilanganmu selama ini...," isak Elisabet.
Anjani hanya bisa menangis, tubuhnya bergetar di tengah pelukan hangat yang baru pertama kali ia rasakan dari orang tua kandungnya.
Tiba-tiba, Kevin yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan dengan mata berkaca-kaca, perlahan melangkah mendekat. Tangannya gemetar sebelum akhirnya ikut memeluk Anjani dari samping, menyatukan mereka dalam pelukan keluarga yang selama ini terpisah.
"Selamat datang di keluarga kita, Kak...," bisik Kevin, suaranya serak menahan tangis.
Anjani menoleh, menatap Kevin dengan mata penuh air mata. Tanpa sadar, tangannya meremas punggung Kevin, menerima kehadiran adik yang baru saja ia ketahui.
Di sudut ruangan, Rose menunduk, air matanya jatuh tanpa suara. Bu Fatma yang duduk di pojok ruangan menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isak yang tak terbendung.
Anjani perlahan melepaskan diri dari pelukan keluarganya, lalu berlutut di depan Bu Fatma.
"Ibu... aku nggak akan pernah melupakan Ibu... Ibu yang sudah membesarkan aku... Aku tetap anak Ibu..."
Bu Fatma langsung memeluk Anjani erat, menangis sejadi-jadinya.
Marco, Elisabet, dan Kevin hanya bisa menatap haru, menyadari betapa besar cinta yang telah diberikan Bu Fatma selama ini.
Dalam suasana penuh haru, luka yang pernah tercipta perlahan mulai terobati. Meski perjalanan mereka masih panjang, hari itu menjadi awal baru bagi keluarga yang akhirnya menemukan kembali potongan yang selama ini hilang.
Apakah Anjani akan bahagia dengan keluarga baru nya…?
hrs berani lawan lahhh