NovelToon NovelToon
12th Layers

12th Layers

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Fantasi / Sci-Fi / Misteri
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.

Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28: Masih Latihan

Saat Maelon dan dua lainnya tiba kembali di gubuk Roy, aroma makanan hangat menyambut dari dalam—campuran sederhana dari sayuran rebus, kaldu kental, dan potongan kecil daging akar yang ditumbuk. Di atas meja reyot, dua piring tambahan telah disiapkan.

Roy duduk dengan tenang, wajahnya redup diterangi cahaya lentera minyak yang bergoyang perlahan. Ia menoleh dan tersenyum kecil. “Kau berhasil hari ini, Vivi. Mulai sekarang, kau adalah bagian dari Ordo Nirakarna. Kita tidak punya banyak, tapi malam ini… kita rayakan dengan apa yang kita bisa.”

Vivi terdiam sejenak. Lalu ia duduk perlahan, menyeka sedikit kotoran dari tangannya sebelum mengambil sendok kayu yang disiapkan untuknya. “Terima kasih… aku tidak akan mengecewakan kalian.”

Suasana makan malam berlangsung dalam keheningan yang damai. Bunyi sendok menyentuh mangkuk menjadi satu-satunya suara selain deru angin lembut di luar. Maelon makan dengan tenang, rasa lapar dari latihan seharian terpuaskan oleh kehangatan sederhana yang tak bisa dibeli oleh dunia luar. Vivi pun makan dengan pelan—tidak serakah, tidak gugup, seolah tubuhnya mulai menyatu dengan kehidupan baru ini.

Setelah piring mereka bersih, dan udara mulai dingin, Maelon bangkit dari duduknya. Ia menatap Roy dan Jeffrie, matanya tenang namun penuh maksud. “Aku ingin beristirahat… dan mencoba menyerap satu batu lagi malam ini.”

Jeffrie hanya mengangguk. “Ingat, satu saja. Biarkan tubuhmu terbiasa.”

Roy menambahkan, “Dan jangan paksa dirimu. Kadang kekuatan membutuhkan jeda untuk menyatu.”

Maelon tak menjawab, hanya memberi anggukan ringan. Ia melangkah menuju kamarnya yang sempit di sudut gubuk—lantainya dingin, dindingnya rapuh, namun kini terasa sedikit lebih hangat. Di atas jerami yang disusun seadanya, ia duduk bersila. Tangan kanannya mengeluarkan satu batu inti—masih hangat, berdenyut pelan, seperti nadi yang tersembunyi dalam kristal kecil.

Ia memejamkan mata. Mengatur napas. Dan perlahan, membiarkan kekuatan Aetheron meresap masuk. Kali ini, ia siap.

Dan malam pun turun sepenuhnya, perlahan, seperti kain gelap yang menutup tubuh dunia. Di luar, angin menggesek atap dengan suara lirih, sementara di dalam, satu kehendak kecil terus menyala—berjuang untuk menjadi lebih kuat.

Malam itu, saat kekuatan dari batu inti meresap perlahan ke dalam tubuhnya, Maelon tak hanya merasakan energi yang mengalir panas dan menggeliat dalam aliran darahnya—ia juga disergap oleh serpihan kenangan. Bukan miliknya. Tapi milik seseorang yang telah tiada, seseorang yang pernah memiliki kekuatan ini sebelum ia. Fragmen-fragmen itu datang seperti mimpi yang retak: seseorang berdiri di antara reruntuhan, sendirian, tubuhnya terbakar cahaya biru yang menyayat udara—dan meskipun wajahnya tak pernah jelas, Maelon bisa merasakan apa yang ia rasakan. Ketakutan. Keinginan untuk lepas dari segalanya. Tapi juga keyakinan yang tak bisa digoyahkan.

Saat gema kenangan itu sirna, Maelon membuka mata. Napasnya berat, kulitnya sedikit basah oleh keringat dingin, tapi tubuhnya tidak menolak kekuatan itu. Justru terasa lebih menyatu, seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai memahami—Aetheron bukan sekadar ledakan kekuatan, tapi sebuah kehendak murni untuk menembus keterbatasan.

Ia berbaring perlahan di atas jerami tipis yang menjadi tempat tidurnya, dan malam membawanya ke dalam tidur yang tenang… untuk pertama kalinya, tanpa mimpi buruk.

---

Pagi datang dalam warna pucat. Cahaya tipis menelusup dari celah dinding, menandakan hari telah dimulai. Maelon bangun perlahan, rasa penat dari malam sebelumnya masih ada, tapi jauh lebih ringan. Di meja kecil, Roy sudah menyiapkan sepiring kecil roti kasar dan beberapa potong buah dingin. Tanpa banyak kata, Maelon duduk dan menghabiskannya dengan tenang, hanya cukup untuk memberi tenaga.

Setelah selesai, ia mengenakan kembali jaket tipisnya yang telah robek di sisi bahu, lalu keluar dari gubuk. Tidak ada Daniel yang menunggu hari ini.

Angin pagi menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan suara samar dari warga desa yang mulai bekerja di ladang. Maelon menyusuri jalanan tanah yang mengarah ke tempat latihan. Sepanjang perjalanan, ia memperhatikan dunia kecil ini hidup dengan cara sederhana—orang-orang menggali, membawa air, bercocok tanam dengan tawa yang pelan dan letih, seolah penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang mereka rangkul.

Sesampainya di ladang, Maelon melihat sosok Daniel sudah berdiri di sana, menyilangkan tangan di depan dada, matanya mengawasi ladang seperti biasa. Ia hanya memberi anggukan kecil saat Maelon mendekat.

Beberapa saat kemudian, langkah pelan dan suara dedaunan terinjak terdengar dari arah jalan. Vivi muncul, masih mengenakan pakaian yang sedikit terlalu longgar untuk tubuh kurusnya, namun wajahnya tampak mantap. Ia mendekat tanpa ragu.

Daniel menoleh pada mereka berdua. Untuk pertama kalinya sejak kemarin, Maelon merasa ini bukan hanya latihan—ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan ia siap.

Daniel menatap mereka berdua—dua anak muda yang berdiri dengan postur berbeda tapi mata yang sama-sama menyala. Vivi tampak kaku, kedua tangannya saling menggenggam di depan perut, seperti masih berusaha menyesuaikan diri dengan ritme dunia baru yang belum lama ia masuki. Maelon berdiri di sebelahnya, sedikit lebih tegap dari sebelumnya, dengan napas yang tak lagi gugup seperti kemarin. Ada kemantapan samar di balik wajah letihnya.

“Hari ini dan seterusnya,” ucap Daniel, suaranya tenang, sedikit berat seperti biasa, “Vivi akan ikut dalam latihan.”

Maelon mengangguk pelan, menerima kalimat itu tanpa perlu banyak kata. Ia sudah menduga, sejak ritual kemarin. Vivi kini adalah bagian dari mereka, dan perjalanan ini bukan lagi miliknya sendiri.

Vivi melangkah setengah maju, tubuhnya condong sedikit membungkuk. “Mohon bimbingannya,” ucapnya lirih namun sungguh-sungguh.

Daniel menatapnya sejenak. Ia bukan lelaki yang mudah tersenyum, tapi caranya menatap memberi cukup pengakuan. “Aku tidak akan memperlakukanmu berbeda hanya karena kau baru,” katanya. “Kita di sini karena dunia luar tidak memberi kita tempat. Tapi kekuatan, jika kau benar-benar menginginkannya, akan memberimu ruang untuk bertahan.”

Ia membalikkan tubuhnya, berjalan perlahan menuju sisi ladang yang lebih lapang. Lalu menunjuk ke jalur tanah yang membentang cukup panjang, setengah kering, setengah berlumpur.

“Kita mulai dari dasar,” katanya. “Hari ini kita akan melatih stamina kalian. Tubuh yang rapuh tidak bisa menopang kekuatan. Doctrina bukan sekadar ledakan kekuatan; itu adalah medan yang terus menggerus tubuhmu dari dalam. Kalian harus bisa bertahan, bahkan ketika tubuh kalian ingin menyerah.”

Latihan dimulai.

Langkah pertama—lari memutari ladang. Satu putaran, dua, lalu lima. Tanpa batas waktu. Mereka harus terus berlari sampai tubuh mereka sendiri yang memutuskan untuk berhenti. Matahari pagi merangkak naik, menyinari ladang, membakar kulit. Tanah yang tadinya sejuk menjadi lengket dan berat. Maelon berlari di depan, napasnya mulai berat setelah putaran keenam, keringat membanjiri punggungnya. Vivi tertinggal beberapa langkah di belakang, napasnya tercekat dan tubuhnya beberapa kali hampir limbung, tapi ia terus memaksa kaki mungilnya melangkah.

Daniel berdiri di ujung ladang, mengamati dengan mata tajam. Tidak berteriak, tidak menyemangati—ia hanya mengawasi, seperti menimbang berapa lama ketahanan mereka bisa bertahan sebelum retak.

Setelah lari, mereka dipaksa melanjutkan dengan latihan ketahanan posisi. Berdiri dalam posisi kuda-kuda rendah selama mungkin. Paha bergetar. Betis menegang. Maelon menggertakkan gigi. Vivi jatuh tiga kali, tapi Daniel tak menoleh. “Bangkit lagi,” ucapnya datar. Dan Vivi bangkit. Lagi dan lagi. Ia tahu, rasa malu jauh lebih ringan daripada menyerah.

Setelah itu, datang latihan napas. Duduk bersila di atas batu yang diletakkan di tanah. Mata tertutup. Tubuh diam. Hanya aliran napas, panjang dan dalam, diatur dalam hitungan tetap. Daniel berkata, “Kau harus belajar mengatur napas seperti kau mengatur aliran kekuatan dalam tubuhmu. Jika napasmu kacau, maka seranganmu akan goyah. Jika napasmu putus, maka kekuatanmu pun akan tersedak.”

Mereka duduk diam hampir satu jam. Suara ladang menjadi satu-satunya teman—desir angin, jeritan burung, dan suara garpu cangkul para warga yang bekerja tak jauh dari sana. Dunia perlahan meluruh menjadi sunyi. Peluh mengalir tak terasa. Nafas melambat, dan Maelon mulai merasakan dentuman lemah dalam dirinya—denyut yang berasal dari Aetheron. Sementara Vivi, masih gemetar, tapi mulai menemukan ritme. Bibirnya sedikit pecah, tapi matanya tak lagi menunduk.

1
Aisyah Christine
ceritanya bagus sama kayak cerita kultivator tapi versi moden.
Aisyah Christine
seperti mati hidup semula maelon
Aisyah Christine
smoga ada yang membantu
Aisyah Christine
mengerikan..
Aisyah Christine
apa berlaku persugihan?
Aisyah Christine
lebih baik ambil peluang dari mati tanpa mencuba😂
Aisyah Christine
terima tawaran atau menolak. akan tetapi apa ada peluang ke2?
Aisyah Christine
pasti susah utk memahaminya. bagaimana maelon bisa bersatu dan berkomunikasi dgn kekuatan baru
Aisyah Christine
ini kulivator moden thor😂
Aisyah Christine
perjuangan yang belum tuntas.. smoga bisa bekerjasama dgn tubuh yang baru.
Aisyah Christine
entah ini 1 keberkahan atau kutukkn tapi yg jelas maelon semakin kuat
Aisyah Christine
apa kayak parasit? tubuhnya udh pindah ke ank remaja itu?
GrayDarkness: 10/10
total 1 replies
angin kelana
survival..
angin kelana
pertama baca coba lanjut..
GrayDarkness: terima kasih banyak, semoga suka.
total 1 replies
Aisyah Christine
terus bertahan untuk hidup
Aisyah Christine
tanda dr makhluk aneh itu
Aisyah Christine
lebih baik mencoba sesuatu dr mati sia²😂
Aisyah Christine
cerita yang menarik. lanjut thor
GrayDarkness: terima kasih, do'ain aja biar bisa dieksekusi dengan baik. kalo ada kesalahan bilang aja biar nanti langsung diperbaiki.
total 1 replies
GrayDarkness
terima kasih sarannya akan diperbaiki secepatnya
azizan zizan
kekuatan ini datang bukannya dengan paksaan.. di ulang2 terus..
GrayDarkness: done, sedang direview terima kasih. kalo ada yang lain bilang aja, biar langsung diperbaiki.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!