12th Layers

12th Layers

Bab 1: Teralis

Langit di Lapisan Pertama bukanlah langit, melainkan luka yang menganga. Ia menggantung di atas kota Teralis sebagai kabut hitam pekat yang tak pernah bergerak, seperti jaring raksasa yang menunggu mangsa. Suara dentang logam, teriakan, dan derak mesin tua adalah denyut nadi hari-hari di sini—keras, berkarat, dan tanpa belas kasihan.

Maelon Herlambang bangun sebelum bel listrik meraung. Tidurnya singkat, sering terputus oleh mimpi buruk atau jeritan anak-anak lain yang ketakutan. Lantai kayu yang retak menjadi ranjang, karung bekas semen jadi alas tidur. Hanya tubuhnya sendiri yang memberi hangat, dan malam yang dingin tak pernah kehabisan cara untuk menusuk.

Panti Asuhan Gema Harapan berdiri di antara reruntuhan dan saluran pembuangan. Kepalanya, Bu Rantini, menjadikan tempat itu sebagai tambang uang. Anak-anak dipekerjakan tanpa ampun, dan yang gagal menyetor cukup... dijual. Tak pernah dikatakan terang-terangan. Tapi Maelon melihatnya. Ia ingat jelas satu malam ketika seorang anak perempuan bernama Yela ditarik paksa dari tempat tidur. Esok paginya, kasurnya kosong. Namanya dihapus dari buku catatan. Tidak pernah disebut lagi.

Setiap malam, Maelon menyelinap ke bangunan batu tua di ujung kota. Dulu disebut kuil. Kini tak ada lagi pendeta, hanya debu, sisa dupa, dan arca tunggal yang berdiri di tengah ruangan. Ia adalah Dewa Blasphemy—satu-satunya yang tersisa, atau satu-satunya yang pernah ada. Arca itu tinggi, tak berwajah, tangannya menggenggam mata tertutup, dan dadanya terbuka menampakkan rongga hitam. Dewa ketidaktahuan, pengorbanan, dan kebenaran terlarang. Di dunia ini, hanya kebenaran yang dihukum.

Maelon tak berdoa. Ia hanya bicara dalam hati—kalimat-kalimat yang tak pernah selesai. Ia tahu tidak ada yang akan menjawab. Tapi ia terus datang, karena hanya di sana ia bisa merasa sedikit... bersih.

Dan ada satu alasan lagi.

Nalaya.

Gadis berusia lima belas tahun yang tinggal di kamar paling sempit di panti. Rambutnya hitam panjang, kulitnya pucat, matanya seolah tidak pernah benar-benar menatap. Nalaya tak bekerja seperti anak-anak lain. Bu Rantini menyebutnya “rapuh”—sebuah alasan untuk tidak menyuruhnya mengangkat barang berat atau pergi ke stasiun. Tapi kenyataannya, semua biaya hidup Nalaya ditanggung oleh Maelon. Ia bekerja dua kali lebih keras, menyerahkan dua kali lebih banyak setoran. Tapi tidak pernah sekali pun memberitahu Nalaya.

Ia tidak ingin belas kasihan. Ia hanya ingin Nalaya tetap hidup.

Siang itu, kabut turun lebih awal dari biasanya. Udara terasa berat, seakan dunia menahan sesuatu yang tak ingin ia muntahkan. Bau logam tua dan jelaga tak lagi hanya memenuhi hidung, tapi menempel di kulit, menusuk hingga ke tulang. Di langit, burung-burung hitam berputar rendah, seperti pertanda dari langit yang tak pernah lagi menyapa kota Teralis.

Maelon baru saja kembali dari gudang logam. Punggungnya basah oleh keringat dingin, tangannya berlumuran serbuk besi dan sedikit darah dari goresan paku berkarat. Sepanjang jalan pulang ke panti, ia sempat menoleh ke reruntuhan kuil tua tempat ia biasa berdoa. Tidak hari ini, pikirnya. Tubuhnya terlalu lelah, dan pikirannya dihantui kekhawatiran yang samar.

Nalaya belum kembali sejak pagi.

Begitu ia melangkah melewati gerbang berderit panti, suara bel listrik berbunyi tiga kali berturut-turut—bunyi yang tak pernah membawa kabar baik. Anak-anak yang sedang menyikat lantai berhenti. Suara sendok yang sedang mengaduk bubur basi terdiam. Semua mematung.

Tiga denting berarti satu hal: pengambilan.

Bu Rantini memanggil Maelon. Suaranya datar, bahkan nyaris ramah—dan itulah yang membuatnya terasa seperti pisau.

Ia masuk ke aula tengah, tempat tiga orang berpakaian hitam berdiri tegak laksana bayangan yang diberi tubuh. Tubuh-tubuh mereka besar, dibalut pelat logam ringan dan lambang sayap patah di dada. Mata mereka tersembunyi di balik helm gelap. Salah satunya memegang selembar kertas yang digulung rapi, seperti surat perintah mati.

“Maelon Herlambang,” ucap pria itu dengan nada netral, “atas nama Otoritas Penataan Dunia, Anda dituduh melakukan pencurian logam kelas satu, pemalsuan laporan setoran, dan konspirasi pelarian dari Lapisan Satu.”

Kata-kata itu seperti pintu yang ditutup di dalam dada Maelon. Sunyi. Dingin. Tanpa ampun.

Ia mengedarkan pandangan. Anak-anak berdesakan di balik pintu. Tidak satu pun membela. Tak satu pun bersuara. Dan Nalaya—

Nalaya tidak ada di sana.

“Tidak mungkin...” gumam Maelon, nyaris tak terdengar.

“Bukti cukup jelas,” sahut Bu Rantini. Ia mengangkat sebuah buku catatan lusuh, menunjuk deretan angka. “Setoran logam untuk panti kosong selama dua minggu terakhir. Juga ditemukan komponen logam ilegal di bawah ranjang Anda pagi tadi.”

Maelon menggeleng pelan. Ia bahkan belum pulang ke kamar. Sesuatu dalam dirinya mulai retak, tapi ia masih berusaha menolak keyakinan yang mulai tumbuh—keyakinan bahwa ini bukan kesalahan. Ini adalah jebakan.

Lalu pintu aula terbuka dengan suara kecil. Seorang gadis masuk dengan langkah ringan.

Nalaya.

Ia memakai gaun lusuh berwarna krem, rambutnya dikepang seadanya, mata hitamnya menghindari tatapan siapa pun. Ia berjalan pelan, seperti orang yang sedang membawa beban tak kasatmata. Wajahnya tenang. Terlalu tenang. Seperti seseorang yang telah mengucapkan selamat tinggal pada sesuatu dalam dirinya.

“Aku...” suaranya nyaris tak terdengar, tapi ruangan itu hening. Suaranya menembus semuanya.

“Aku melihat Maelon... menyembunyikan logam dari gudang. Dan... aku yang pertama kali menemukan buku setoran palsunya.”

Maelon tidak langsung bicara. Tidak langsung marah. Ia hanya menatap Nalaya seperti melihat mimpi yang runtuh perlahan. Tidak ada air mata. Tidak ada teriakan. Hanya sunyi yang menusuk, dan darah yang seperti berhenti mengalir.

“Nalaya...” bisiknya. “Kenapa?”

Gadis itu tak menjawab. Ia hanya menunduk lebih dalam. Tapi mata mereka sempat bertemu—dan dalam mata itu, Maelon melihat segalanya.

Takut. Lelah. Dan keinginan untuk bertahan hidup, berapa pun harganya.

Penjaga menarik Maelon dengan paksa. Ia tak melawan. Rotan Bu Rantini tak perlu bicara lagi—segala sesuatu sudah ditentukan. Dunia ini tak butuh kebenaran, hanya butuh seseorang untuk dikorbankan.

Di luar, kabut telah berubah menjadi dinding tebal. Maelon diseret melewati gerbang panti, melewati anak-anak yang menunduk dalam diam. Tidak satu pun memanggil namanya. Tidak satu pun bertanya.

Ketika pintu logam kendaraan pengangkut tertutup di belakangnya, Maelon menatap ke langit kelabu satu kali lagi. Dan di antara napas terengah dan tubuh yang lelah, ia berseru dalam hatinya.

“Dewa Blasphemy, jika ini bagian dari takdir-Mu... maka biarkan aku menjadi sesuatu yang tak bisa ditelan dunia ini lagi. Jangan biarkan kebenaran mati dalam diam.”

Lalu gelap menelannya, bukan sebagai akhir—tapi sebagai awal dari sesuatu yang bahkan dewa pun tak bisa cegah.

Terpopuler

Comments

Aisyah Christine

Aisyah Christine

cerita yang menarik. lanjut thor

2025-04-26

1

angin kelana

angin kelana

pertama baca coba lanjut..

2025-04-26

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1: Teralis
2 Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3 Bab 3: Selamat
4 Bab 4: Sekutu?
5 Bab 5: Tanda
6 Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7 Bab 7: Kekuatan Baru
8 Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9 Bab 9: Reruntuhan Misterius
10 Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11 Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12 Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13 Bab 13: Misi
14 Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15 Bab 15: Menyerang
16 Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17 Bab 17: Penyelamat (Savior)
18 Bab 18: Jeffrie Nova
19 Bab 19: Perjalanan Jauh
20 Bab 20: Penjelasan Doctrina
21 Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22 Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23 Bab 23: Anak Baru
24 Bab 24: Latihan
25 Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26 Bab 26: Latihan Stamina
27 Bab 27: Ritual Nullis
28 Bab 28: Masih Latihan
29 Bab 29: Latihan Diluar
30 Bab 30: Pengalamannya Nyata
31 Bab 31: Menuju Tingkat 2
32 Bab 32: Eksplorasi
33 Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34 Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35 Bab 35: Tugas Patroli
36 Bab 36: Masa Lalu
37 Bab 37: Melawan
38 Bab 38: Persiapan
39 Bab 39: Perang
40 Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41 Bab 41: Pertarungan Berakhir
42 Bab 42: Menjelajah
43 Bab 43: Menjelajah (2)
44 Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45 Bab 45: Vivi Meningkat
46 Bab 46: Kembali Ke Teralis
47 Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48 Bab 48: Bertemu Kembali
49 Bab 49: Nalaya
50 Bab 50: Mother Creator
51 Bab 51: Mimpi
52 Bab 52: Dilema
53 Bab 53: Terkepung
54 Bab 54: Artefak Dewa
55 Bab 55: Kekuatan Aetheron
56 Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57 Bab 57: Neraka?
58 Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59 Bab 59: Kematian Bu Rantini
60 Bab 60: Mengakhiri
Episodes

Updated 60 Episodes

1
Bab 1: Teralis
2
Bab 2: Dibuang ke Luar Tembok
3
Bab 3: Selamat
4
Bab 4: Sekutu?
5
Bab 5: Tanda
6
Bab 6: Kejatuhan Calvereth Aetheron
7
Bab 7: Kekuatan Baru
8
Bab 8: Kenangan Pemilik Sebelumnya
9
Bab 9: Reruntuhan Misterius
10
Bab 10: Ritual Peningkatan Lapsus
11
Bab 11: Tingkat 1 - Reah (Retakan)
12
Bab 12: Tawaran Yang Mencurigakan
13
Bab 13: Misi
14
Bab 14: Pabrik Terbengkalai
15
Bab 15: Menyerang
16
Bab 16: Pertarungan Tanpa Harapan
17
Bab 17: Penyelamat (Savior)
18
Bab 18: Jeffrie Nova
19
Bab 19: Perjalanan Jauh
20
Bab 20: Penjelasan Doctrina
21
Bab 21: Penjelasan Lebih Lanjut
22
Bab 22: Desa Ordo Nirakarna
23
Bab 23: Anak Baru
24
Bab 24: Latihan
25
Bab 25: Dunia Lapisan Pertama
26
Bab 26: Latihan Stamina
27
Bab 27: Ritual Nullis
28
Bab 28: Masih Latihan
29
Bab 29: Latihan Diluar
30
Bab 30: Pengalamannya Nyata
31
Bab 31: Menuju Tingkat 2
32
Bab 32: Eksplorasi
33
Bab 33: Tingkat 2 Lapsus - Drelm (Getaran)
34
Bab 34: Gerakan Mencurigakan
35
Bab 35: Tugas Patroli
36
Bab 36: Masa Lalu
37
Bab 37: Melawan
38
Bab 38: Persiapan
39
Bab 39: Perang
40
Bab 40: Kekuatan Roy Terungkap
41
Bab 41: Pertarungan Berakhir
42
Bab 42: Menjelajah
43
Bab 43: Menjelajah (2)
44
Bab 44: Menemukan Senjata Terkutuk
45
Bab 45: Vivi Meningkat
46
Bab 46: Kembali Ke Teralis
47
Bab 47: Menyusup Masuk Kota
48
Bab 48: Bertemu Kembali
49
Bab 49: Nalaya
50
Bab 50: Mother Creator
51
Bab 51: Mimpi
52
Bab 52: Dilema
53
Bab 53: Terkepung
54
Bab 54: Artefak Dewa
55
Bab 55: Kekuatan Aetheron
56
Bab 56: Rahim Iblis Yang Melahirkan Anak-Anak Penderitaan
57
Bab 57: Neraka?
58
Bab 58: Kehampaan Dalam Pembalasan
59
Bab 59: Kematian Bu Rantini
60
Bab 60: Mengakhiri

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!