Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 28
Tidak ada lagi debatan Puja meminta pulang, tidak pula ada wajah yang ditekuk karena kesal, tidak ada penyesalan.
Puja merasakan dejavu. Masa kecil yang indah bersama sang ayah, rumah Kavi ini membawanya terbang ke masa itu.
Di belakang rumah terbentang sungai buatan berair jernih dengan jembatan kayu dibuat melengkung di atasnya. Puja berada di jembatan itu saat ini. Memeluk diri seraya memandang aliran air yang tenang ditemani cahaya bulan di ketinggian.
"Kamu bisa masuk angin kalo begini."
Derap langkahnya sampai tak disadari Puja saking terbuai khayal, tahu-tahu Kavi sudah berdiri saja di dekatnya. Menciptakan keterkejutan yang lumayan menghentak jantung.
Sehelai kain rajut persegi panjang dibalutkan Kavi di pundaknya.
"Makasih," ucap Puja, sangat menghargai itu karena dingin mulai menusuk. Dia mungkin tak bisa bertahan untuk waktu yang lama jika tetap di sana dengan baju seadanya.
Beruntung Kavi sangat pengertian akan hal kecil yang 'tak terpikirkan.
"Kamu suka tempat ini?" tanya pria itu seraya bergerak ke samping Puja, berdiri berdampingan menghadap titik yang sama.
Puja menolehnya sekilas, lalu menjawab, "Tentu. Aku merasa seperti kembali ke masa kecil, mandi di sungai bersama Ayah setelah kotor-kotoran di kebun dengan sayuran."
Sudut bibir Kavi tertarik melebar. "Aku bisa melihatnya dari mata kamu. Aku juga merasakannya karena ayah kamu pernah membawaku juga ke tempat sama."
Sontak menghela pandangan Puja lagi ke arahnya.
"Kamu benar. Saat itu ibu dan ayahmu ada tugas di luar kota, tapi kamu gak mau ikut dan malah terima ajakan ayahku ke kampung halaman kami."
"Ya. Aku makan ikan hasil pancingan Om sampai muntah karena kekenyangan. Lalu kamu datang dengan air hangat yang ternyata sangat panas saat kuteguk," ujar Kavi, terkekeh mengenang bagian itu.
Pun dengan Puja. "Beruntung bibir dan lidahmu tak sampai melepuh. Kalau iya, bukan cuma makian, aku pasti kamu tarik ke kantor kepala desa."
"Kemungkinan besar begitu."
Keduanya terkekeh bersamaan.
Setelah digali lebih dalam, ternyata kenangan mereka sangatlah banyak saat remaja. Tapi karena ego dan rasa malu, Kavi berubah jadi penjahat yang membenci Puja. Puja si gendut mata kodok yang sebenarnya begitu lucu dengan segala tingkah konyolnya.
Mendadak Kavi menyesali.
Semudah itu hatinya dibolak-balik.
Mengingat semua sikap minus yang dia buat, lelaki ini menghela pandang ke wajah itu, wajah yang sangat cantik dengan hidung mancung mencuat lurus terlihat saat menyamping. Semakin cantik diterpa cahaya bulan.
"Puja ...."
"Hmm." Terdengar jawaban singkat tanpa menoleh, Puja beralih asyik menatap sekumpulan burung malam yang bertengger di atas kabel.
Sementara Kavi terus menatapnya tanpa berniat merubah haluan. Semakin lama, semakin jantungnya ingin meledak.
"Puja," ulang Kavi kedua kali.
"Ya." Barulah berhasil menarik perhatian wanita itu. Wajahnya resmi menghadap, namun Kavi sendiri justru tidak, malah berganti lurus ke depan.
"Ada apaan?" tanya Puja.
Terlihat Kavi tengah berpikir, Puja masih menunggu tanpa merubah hadap. Wajahnya yang lebih rendah mendongak menyamping untuk bisa mendapat tatapan jelas atas wajah lelaki itu.
Gantian, sekarang dirinya yang dibuat kagum.
Cahaya bulan menuang ilusi indah ke pikirannya. Setiap garis dan lekukan wajah Kavi begitu sempurna sampai dia menelan ludah.
Hatinya terus mendorong kuat pada rasa ingin memiliki seutuhnya.
Sampai kemudian fantasi itu terganggu oleh pertanyaan Kavi detik kemudian.
"Puja, bisakah kamu memaafkan atas semua kesalahan aku di masa lalu sampai saat ini?"
Kali ini pria itu menatapnya, tatapan penuh harap berbaur dengan rasa bersalah.
"Aku mau memulai semuanya dari titik awal sama kamu."
Itu mengejutkan. Setelah sekian lama ....
Puja mendadak gagap. "A-aku ...."
Demi semua hal menjadi lurus dan serius, Kavi merubah hadapnya pada Puja lalu menarik kedua pundak wanita itu untuk kemudian dia hadap luruskan juga padanya.
Bening mata Puja ditatapnya dalam. Sekian detik sampai pada akhir mengakui bahwa dirinya, "Aku mulai menyukai banyak yang ada sama kamu. Aku mencemaskan kamu, aku takut kamu kenapa-napa, aku gak suka kamu berdekatan sama banyak pria termasuk Jun dan teman-teman kantor."
Puja tercengang, itu pemaparan tidak diduga dari mulut seorang Kavi. "Apa kamu lagi mengungkapkan perasaan kamu sama aku, Kavi?” tanyanya, takut salah mengerti.
"Ya!" Tanpa diduga lagi Kavi menjawab cepat. "Aku gak tahu persisnya kapan perasaan itu mulai sekompleks ini," akunya jujur. "Tapi Puja ... beneran, aku lagi gak lawak atau cuma nge-prank. Aku suka kamu sebagai Puja, bukan sebagai Mocca yang beberapa waktu lalu kukejar-kejar."
Puja tenggelam bisu, selain hanya manik matanya yang bergulir tak beraturan menyapu seluruh bagian wajah Kavi. Mungkin masih mencari kebenaran dari ucapannya, tapi yang terjadi justru dia malah 'tak bisa memikirkan apa pun. Isi kepalanya seperti mendadak kosong.
Menanggapi kediaman itu, Kavi mengambil inisiatif.
Satu telapak tangannya menyelinap perlahan ke belakang kepala Puja, menguasai tengkuk. Sedang satu lainnya menyentuh pinggang, lalu merayap ke bagian punggung. Sekali hentak bergerak, tubuh ramping Puja ditariknya dalam dekapan, senada iring dengan kecupan cepat di bibir wanita itu.
Puja hanya bisa melebarkan mata. Raga dan pikirannya mendadak tak sinkron. Dia ingin mendorong Kavi, namun tubuhnya sendiri justru melemah pasrah.
..
"Maaf," ucap Kavi setelah melepas sentuhan bibirnya. "Maaf karena gak minta izin kamu melakukan ini, kedua kalinya."
Napas Puja sama tak tenang. Dia menatap pria itu kini dengan hati kacau, merasa masih banyak yang harus dipertimbangkan. Tapi itu sungguh bukan isi benak yang sebenarnya.
“Kavi ... kamu lagi gak bohongin aku, 'kan?"
“Aku udah bilang tadi, 'kan?!" tukas Kavi. “Aku serius, Puja!” Dua tangan Puja masih digenggamnya.
Kembali mata mereka saling bertatap.
Walau dalam remang, pancaran mata itu Puja bisa melihatnya, tidak ada kebohongan yang tersirat. Sekarang saatnya dia menelaah perasaannya sendiri.
Cukup lama hingga memakan menit, sementara Kavi menunggu dengan hati berdebar.
Setelah memikirkan dan menata perasaannya sekian saat, Puja akhirnya memutuskan, "Kalo sungguh-sungguh dengan perasaan itu, ... jangan kecewakan aku."
Senyuman Kavi merekah lebar, "Terima kasih."
perjalanan dan ekspansi bisnis mungkin bisa jadi pembelajaran juga buat pembaca..
tetaplah berkarya dan menjadi yang terbaik.. 👍👍😍🙏
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..