menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"DIAM!!" Aldebaran menunjuk Diana dengan kasar. "Jangan panggil aku seperti itu! Kau bukan istriku lagi, Diana!"
Aldebaran tahu ibunya masih mengharapkan dirinya agar bisa rujuk dengan Diana—mantan istrinya meski Aldebaran menolak ia tahu ibunya akan tetap memaksanya. Ia berusaha menenangkan diri tapi hatinya gelisah.
Lilia, pikirannya terus tertuju pada gadis itu, apa yang akan gadis itu pikiran jika ia tahu mantan istrinya kembali? Dan keinginan ibunya yang menginginkannya untuk kembali rujuk dengan Diana, wanita yang telah mengkhianati pernikahannya.
Namun, pikiran itu terputus ketika suara Bu Anne memecah keheningan.
"Cukup! Aldebaran!" serunya, suaranya tegas, penuh otoritas. "Kau tidak bisa bicara seperti itu pada Diana!"
Aldebaran menoleh tajam ke arah ibunya, matanya bersinar penuh amarah dan rasa tidak percaya. "Bu! Aku tidak akan mau kembali pada orang yang sudah meninggalkanku!" katanya dengan nada penuh ketegasan. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, suaranya semakin bergetar oleh emosi. "Dan wanita ini sudah melakukannya! Coba pikirkan, Bu! Aku melihatnya—" ia terhenti, menelan ludah, namun memaksakan kata-kata itu keluar. "Aku melihatnya bercinta dengan pria lain di depan mataku!"
Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan. Diana sedikit tersentak, meskipun ia cepat menutupi keterkejutannya dengan sikap dingin. Bu Anne, bagaimanapun, tidak menunjukkan tanda-tanda mundur.
"Aldebaran," katanya, suaranya menajam seperti bilah pedang, "semua orang pernah membuat kesalahan. Pernikahan itu penuh dengan ujian. Kau juga tidak sempurna!"
Aldebaran terkesiap. "Kesalahan?" Ia tertawa getir, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. "Ibu menyebut itu kesalahan? Itu penghinaan! Penghinaan terhadap diriku!"
Namun, Bu Anne tak bergeming. Ia berdiri, langkahnya mantap, mendekati Aldebaran dengan tatapan tajam. "Aku tidak peduli apa yang kau pikirkan. Diana adalah istrimu, dan dia wanita yang pantas untukmu. Dia tahu caranya menjadi istri seorang Aldebaran!"
"Dia bukan istriku lagi, Bu!" Aldebaran membentak, frustrasi meluap dari suaranya. "Dia wanita yang meninggalkanku untuk pria lain! Dan aku tidak akan membiarkan wanita seperti itu memasuki hidupku dan Lilia!"
"Lilia?" suara Bu Anne meninggi, penuh rasa sinis. "Anak yatim piatu yang kau adopsi itu? Kau benar-benar akan memilih gadis itu dibanding istrimu sendiri?"
Kata-kata itu menusuk Aldebaran lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Ia menggeleng, menatap ibunya dengan ekspresi penuh luka dan amarah. "Ya, Bu. Aku memilih Lilia, karena dia adalah keluargaku sekarang. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Ibu, menyakiti dia atau merusak hidupnya."
Bu Anne memutar matanya, lalu berbalik menghadap Diana, yang kini berdiri diam dengan senyum kecil penuh makna. "Jangan khawatir, Diana. Kau tetap bagian dari keluarga ini. Aku tidak akan membiarkan Aldebaran membuat keputusan bodoh seperti ini."
Diana hanya mengangguk pelan, tatapannya tak lepas dari Aldebaran. Senyumnya semakin lebar, seolah ia tahu bahwa kehadirannya sudah cukup untuk membuat segalanya menjadi semakin rumit.
Aldebaran berdiri mematung, tubuhnya tegang, tangan terkepal erat. Hatinya bergejolak. Ia tahu pertempuran ini belum selesai—dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa benar-benar sendirian di dalam rumahnya sendiri.
Dan di malam itu juga Aldebaran memutuskan untuk tidak melanjutkan makan malam di rumah mewahnya, ia sudah terlanjur sakit hati dengan Diana di tambah lagi desakan ibunya yang tak mengerti seperti apa perasaan Aldebaran saat ini. Ia memilih pergi dan mengendarai mobil sedan mewahnya dengan kecepatan tinggi. Genggamannya mengencang di setir mobil hingga buku-buku jarinya memutih.
Aldebaran tak menyangka bahwa ibunya akan bertindak sejauh ini agar ia kembali dengan diana—mantan istrinya. Setiap kata-kata ibunya terngiang-ngiang di telinganya, semakin membuat darah Aldebaran mendidih.
Sementara itu, di apartemen mewah di pusat kota apartemen milik Aldebaran, suasana terasa sunyi dan dingin. Lampu-lampu redup memberikan cahaya lembut yang membuat bayangan Lilia memanjang di lantai marmer. Gadis itu duduk di meja makan yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Aldebaran sang ayah angkat. Di depan Lilia, piring yang disiapkannya untuk Aldebaran masih bersih, tanpa goresan sendok sedikit pun.
Lilia melirik jam dinding di sudut ruangan. Sudah hampir tengah malam. Detik-detik jarum jam terasa semakin lambat, seperti mempermainkan kecemasannya. "Apa Papa lembur lagi?" pikirnya sambil menggigit bibir bawah, kebiasaan yang muncul setiap kali ia merasa gelisah.
Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan. Apakah Aldebaran terlalu sibuk dengan pekerjaannya? Atau ada sesuatu yang buruk terjadi? Kekhawatiran mulai merayap ke dalam benaknya. Dia tahu Aldebaran adalah pria yang kuat dan tangguh, tetapi tetap saja, ia tak bisa mengabaikan rasa takut akan sesuatu yang tidak ia ketahui.
Di meja makan itu, Lilia mencoba menahan rasa kantuknya. Dia sudah menyiapkan makan malam sederhana untuk mereka berdua, hanya sup hangat yang dia pelajari dari resep daring, tetapi dia yakin Aldebaran akan menghargainya. Lilia ingin membuat momen sederhana bersama pria yang telah menyelamatkannya dari kesendirian.
Namun, waktu terus berlalu, dan bayangan Aldebaran tidak juga muncul di ambang pintu. Perasaan kecewa perlahan menggantikan harapannya. "Papa selalu sibuk... tapi aku tahu dia sayang padaku," bisik Lilia pada dirinya sendiri, mencoba menghibur hatinya yang mulai terasa hampa.
Tangannya menopang dagu saat ia menatap kosong ke arah piring di depannya. Matanya yang besar dan polos mulai terasa berat. "Mungkin Papa hanya lupa memberitahuku," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.
Akhirnya, kantuk mulai menguasainya. Tanpa sadar, Lilia tertidur di atas meja makan. Kepalanya bersandar pada lengannya yang kecil dan mungil, seolah mencari kehangatan dari permukaan meja yang dingin. Wajahnya yang polos terlihat damai, meski di balik itu ada jejak kecil kekhawatiran yang belum hilang sepenuhnya.
Di keheningan malam itu, hanya detak jam dan hembusan lembut angin dari pendingin ruangan yang menemani Lilia. Meski kesendirian terasa menusuk, dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa Aldebaran akan pulang—entah kapan—dan itu memberinya sedikit kehangatan di tengah kedinginan yang menyelimuti ruangan.
Malam itu jam menunjukan 23:45 malam, Aldebaran sampai di parkiran bawah tanah di komplek apartemen mewahnya, ia memarkir mobilnya dengan sedikit terlalu cepat namun ia tak peduli, tanpa menunggu lama Aldebaran keluar dari mobilnya dan menutup pintu dengan keras hingga membuat suara dentuman pintu mobil bergema di tempat parkir yang sepi.
"SIAL!" teriaknya frustasi. Aldebaran berdiri sambil memijat pangkal hidungnya merasakan kepalanya berdenyut sakit karena tekanan beban pikirannya saat ini.
Aldebaran menghela napas panjang mencoba menenangkan gejolak emosinya saat ini, ia masih belum bisa melupakan bagaimana saat Diana meninggalkannya demi pria lain.
"Kau tidak tahu betapa sakitnya aku, Diana? Atas apa yang sudah kalau lakukan." kata Aldebaran pelan. "Aku... Aku butuh seumur hidup untuk menata kembali kehidupanku yang sudah kau hancurkan." Aldebaran menunduk dalam, ia tertawa getir seolah menertawakan nasib yang terus mempermainkannya.
Wajah pria yang dulu selalu terlihat berwibawa dan tak tergoyahkan kini terlihat lelah dan bahu yang dulu gagah kini merosot tenggelam dalam kesedihan dan ketidak pastian. Setelah bertahun-tahun baru kali ini Aldebaran merasa kalah dalam hidupnya, bahkan ibu yang selama ini ia pikir akan bisa berjalan di sampingnya dan akan selalu mendukungnya kini berbalik menikamnya.
Bersambung....
semangat upnya..