Malam itu, Gwen seorang gadis remaja tidak sengaja memergoki cowok yang dia kejar selama ini sedang melakukan pembunuhan.
Rasa takut tiba-tiba merayap dalam tubuhnya, sekaligus bimbang antara terus mengejarnya atau memilih menyerah, Karena jujur Gwen sangat takut mengetahui sosok yang dia puja selama ini ternyata seorang pria yang sangat berbahaya, yaitu Arsenio.
Dia baru tahu, kalo Arsenio itu keturunan dari keluarga mafia. Akankah dia tetap mencintai Arsenio?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manusia kanibal
Mobil papi Darren perlahan melambat dan berhenti tepat di depan sebuah gedung tua. Di sebelahnya, Gwen menatap sekeliling dengan rasa penasaran yang mendalam. Kedatangannya kali ini adalah yang pertama, karena Darren tak pernah sekalipun membawanya ke sini sebelumnya.
"Papi, ini tempat apaan?" tanya Gwen, matanya melebar penuh keheranan saat Darren membuka pintu mobil dan meraih beberapa berkas dari kursi belakang.
"Ini markas Om Vincent, Dek," jawab Darren sambil tersenyum, melirik ke arah gedung itu.
Mata Gwen membulat kaget. "Papi masuk geng motor dulunya sama Om Vincent?" tanya Gwen, suaranya meninggi sedikit.
Darren terkekeh lembut, mengusap kepala anaknya dengan sayang. "Bukan geng motor, sayang, tapi geng balapan," jelasnya.
"Maksudnya?" desak Gwen, masih bingung.
"Isinya hanya balapan motor sama mobil, sayang. Bukan geng yang meresahkan masyarakat. Papi dan Om Vincent dulu mendirikan geng ini untuk melupakan masalah hidup. Setelah kami menikah, gengnya terbengkalai. Beruntungnya, Nio dan teman-temannya mengurusnya," Darren mengangkat bahu.
"Mereka anggotanya?" Gwen menunjuk ke arah sekelompok pemuda yang sedang berkumpul di dekat sana, matanya berbinar penasaran.
"Iya," sahut Darren dengan cepat. "Udah nanyanya, sayang? Papi mau masuk nih, Om Vincent udah nunggu," lanjut Darren.
Gwen tersenyum lebar, memperlihatkan barisan gigi putihnya yang rapi. "Udah, nanti kita sambung lagi," ujarnya ringan.
Di sisi lain, tawa kecil Darren melayang di udara. "Ya sudah, nanti malam kamu bisa tanya-tanya sepuasnya kepada papi," balas Darren.
"Dadah, papi!" seru Gwen sembari melambaikan tangan.
Darren menambahkan, "Papi tidak akan lama kok, dan jika kamu bosan, kamu bisa jelajahi tempat ini,"
" Boleh?"
"Boleh dong," jawab Darren membuat Gwen antusiasme yang memancar dari matanya.
"Apa sih yang nggak boleh buat anak papi ini, hmm?" sahut Darren dengan suara yang mengandung canda.
"Makasih, papi," ucap Gwen, sebelum turun dari mobil diikuti oleh Darren yang segera menyusul.
"Papi masuk dulu ya," pamitnya sambil mencium pucuk kepala Gwen dengan lembut.
Mata Gwen mengikuti sosok ayahnya yang berjalan melewati anggota geng dengan rasa bangga yang tak tersembunyi. Mereka semua memberikan hormat. "Papi hebat," gumamnya sambil mulai berkeliling di markas itu dengan langkah penuh rasa penasaran.
Dia berjalan pelan di sekitar halaman luas yang dipenuhi dengan ban-ban bekas dan tumpukan logam. Suara mesin dan deru ban terdengar memecah kesunyian. Di sudut halaman, terdapat sebuah kandang besar.
Di dalam kandang itu, seekor serigala putih dengan bulu sedang di latih oleh seorang penjaga. Serigala itu tampak ganas, matanya memancarkan keganasan dan kecerdasan yang tak terduga.
Penjaga itu, seorang pria berbadan tegap dengan tato yang melingkar di lengannya, sedang memberikan komando dengan suara yang tegas dan lantang.
"Kiri, Argo!" serunya, sambil menunjuk ke arah tertentu. Serigala putih itu langsung bergerak lincah mengikuti arahan. Gwen menyaksikan dengan takjub sekaligus waspada.
Penjaga itu kemudian memberikan daging segar sebagai hadiah. "Bagus, Argo. Kamu hebat!" puji penjaga itu sambil mengelus kepala serigala putih itu dengan kasih.
"Om, serigala ini punya Om?" kata Gwen penuh minat.
"Bukan, Nona. Serigala ini milik Tuan Muda Arsen," jawab penjaga dengan suara rendah.
Ketika mengetahui bahwa serigala itu milik Arsenio, mata Gwen membesar. "Boleh aku menyentuhnya, Om?" tanyanya, rasa kagum dan keingintahuan bercampur menjadi satu.
"Silakan, Nona. Dia tidak akan menggigit," kata penjaga itu sambil tersenyum.
Gwen berjongkok pelan, tangan gemetarnya mengelus lembut kepala serigala itu. Tawa ceria terdengar dari mulutnya. "Dia sangat patuh," katanya dengan suara riang.
"Bubbie!" Tepat saat itu, Arsenio muncul dari sebuah ruangan dengan tangan yang tampak berlumuran darah. Dia segera menyembunyikan tangan di kantong celana ketika melihat Gwen. "Sama siapa ke sini?" lanjutnya.
Gwen, yang merasa gembira, mendongak dan tersenyum lebar. "Kak Nio, kamu di sini juga?" serunya, kegirangan terlihat jelas di wajahnya.
Arsenio hanya mengangguk, matanya tertuju pada Gwen yang penuh keceriaan. "Datang sama siapa?" tanya Arsenio, suara penasarannya menonjol.
"Dengan Papi, dia ada urusan dengan Om," jawab Gwen cepat, matanya sekejap melirik ke arah pintu di belakang Arsenio.
"Ayo masuk," ajak Arsenio.
Gwen menatap pintu di belakang Arsenio dengan tatapan penasaran yang intens. "Itu tempat apa, Kak?" tanyanya, mata berbinar menuntut jawaban.
Arsenio, merasa gelisah, mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan jawaban cepat. "Bukan apa-apa," ujarnya mencoba meyakinkan, namun suaranya terdengar cemas.
"Aku mau masuk dong," desak Gwen, langkah kakinya sudah mengarah ke pintu tersebut.
Arsenio menghadangnya dengan gerakan cepat. "Jangan, itu bukan tempat yang cocok buat kamu. Lebih baik kita masuk saja, aku punya banyak makanan enak di dalam," tawar Arsenio, mencoba mengalihkan perhatian Gwen dengan senyuman yang dipaksakan.
Gwen, tidak terkecoh, memicingkan matanya, tatapan curiganya semakin tajam. "Kakak sembunyiin sesuatu dari aku, ya?" tanyanya, menggali lebih dalam.
Arsenio, yang biasanya lancar berbicara, kali ini tergagap. "Ga ada, Bubbie," jawabnya dengan nada gugup.
"Bohong! Aku mau masuk ke sana. Titik!" ucap Gwen keras kepala, kekeuh dengan keinginannya.
Arsenio, merasa sudut, mencoba merayu. "Lain kali saja ya, please?"
"Tidak, tidak, tidak!" Gwen berteriak, mendorong tubuh Arsenio untuk masuk ke ruangan itu.
Arsenio, dengan ekspresi penuh keputusasaan, mengacak rambutnya dan menghela napas dalam-dalam. "Sial," gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, teriakan histeris Gwen terdengar dari dalam ruangan. Dengan terburu-buru, dia kembali, muka pucat dan takut. "Aaa Kak Nio, ada orang aneh di dalam!" teriaknya, memeluk erat lengan Arsenio yang terkejut.
Arsenio menghela nafas dalam-dalam, matanya memandang Gwen dengan tatapan serius. "Kan sudah kubilang, tempat itu nggak cocok buat kamu," ujarnya lembut namun teguh. Gwen menatapnya balik, rasa ingin tahu terpancar jelas di wajahnya.
"Tadi, lihat apa saja di sana?" tanya Arsenio, mencoba menggali lebih dalam.
"Tadi aku lihat dua pria sedang makan tangan manusia," jawab Gwen dengan suara gemetar, rasa ngeri masih terasa di kulitnya. "Mereka... mereka kanibal?" tambahnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Arsenio hanya mengangguk, matanya tidak berkedip. "Ya, mereka memang manusia kanibal. Punya papi" sahutnya dengan nada datar, seolah-olah hal itu biasa saja.
Gwen mendengus, tidak puas dengan reaksi dingin Arsenio. "Om, ada-ada saja. Biasanya kayak di novel, bos mafia pelihara macan atau harimau, ini malah manusia kanibal." Katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tadi, aku juga kayaknya lihat wajah yang mirip Hery di sana. Sudah mati dia," lanjut Gwen, mencoba mengalihkan perhatian dari kengerian yang baru saja disaksikannya.
"Itu memang Hery," jawab Arsenio, suaranya tetap tenang.
Gwen berhenti menggoyangkan tangan Arsenio, keterkejutan jelas terlihat di wajahnya. "Kakak... kakak bunuh dia?" tanyanya dengan suara tercekat.
"Dia hanya sampah, Bubbie. Banyak perempuan yang dia rugikan. Dia melecehkan banyak perempuan di luar sana. Daripada dia terus merugikan, lebih baik aku...," Arsenio tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi maksudnya sudah jelas.
"Kalau kamu mau marah, sudah terlambat. Bentar lagi tubuhnya bakal dimakan oleh manusia kanibal itu," lanjutnya, masih dengan nada yang sama santainya.
"Aku nggak marah, Kak. Cuma ngeri aja melihat tubuhnya dimakan langsung gitu. Setidaknya dibuat sup gitu," kata Gwen, mencoba meredakan situasi dengan bercanda, meskipun jelas masih ada ketakutan di matanya. "Gimana kalau nanti ada melek Hery, ish, jorok," gumamnya, mengerutkan hidungnya dengan wajah jijik.
Arsenio hanya terkekeh ringan, mencoba meredakan ketegangan yang tercipta. " ya ampun! aku pikir kenapa?katanya mengecup sekilas ujung hidung Gwen.