Samantha tidak mampu mengingat apa yang terjadi, dia hanya ingat malam itu dia minum segelas anggur, dan dia mulai mengantuk...kantuk yang tidak biasa. Dan saat terbangun dia berada dalam satu ranjang dengan pria yang bahkan tidak ia kenal.
Malam yang kelam itu akhirnya menjadi sebuah petaka untuk Samantha, lelaki asing yang ingin memiliki seutuhnya atas diri Samantha, dan Samantha yang tidak ingin menyerah dengan pernikahannya.
Mampukah Samantha dan Leonard menjadi pasangan abadi? Ataukah hati wanita itu bergeser menyukai pria dari kesalahan kelamnya?
PERINGATAN KONTEN(CONTENT WARNING)
Kisah ini memuat luka, cinta yang kelam, dan batas antar cinta dan kepasrahan. Tidak disarankan untuk pembaca dibawah usia 18 tahun kebawah atau yang rentan terhadap konten tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 : Menjadi Tawanan Pria Asing
Hari itu, kantor dipenuhi riuh yang padat dan teratur. Mesin printer berdengung nyaris tanpa jeda, telpon berdering bergantian, dan langkah cepat para karyawan seperti irama tak kasat mata yang tak pernah berhenti. Samantha duduk di balik mejanya, tubuhnya condong sedikit ke depan, matanya fokus pada laporan yang baru saja dikirim Christ, laporan terakhir dari proyek majalah eksklusif yang akan rilis minggu depan. Ia tampak serius, rambutnya digulung rapi ke atas, kacamata membingkai matanya yang tajam, dan pena di tangannya terus bergerak memberi catatan dan koreksi di margin halaman.
Namun Samantha bukan perempuan yang mudah goyah oleh tekanan. Ia mengatur semuanya dengan ketenangan yang membuat orang-orang sekelilingnya kagum sekaligus was-was. Ada aura otoritas yang tidak membentak tapi jelas tak bisa ditawar.
Menjelang jam pulang, suasana kantor mulai mengendur. Beberapa pegawai bersenda gurau kecil, suara mesin ketik mulai jarang terdengar. Samantha tengah membereskan laptopnya saat ketukan lembut terdengar di pintu.
"Nathaneil Graves," gumamnya lirih ketika melihat sosok tinggi itu melangkah masuk, mengenakan setelan abu gelap dan dasi marun, senyumnya seperti biasa, tenang namun menyiratkan misteri.
"Hari yang sibuk?" tanyanya sambil menutup pintu dan melangkah santai ke arah meja Samantha.
Samantha mengangkat alis, senyumnya tipis. "Seperti biasa. Tapi tidak ada yang tidak bisa diatasi."
Nathaneil duduk di kursi di hadapannya, memiringkan kepala sedikit sambil menatap wajah Samantha.
"Kau selalu terlihat tenang saat semua orang panik. Itu menyebalkan dan... mengagumkan dalam waktu yang sama." Nadanya ringan, hampir genit. "Bagaimana dengan makan siangmu tadi? Apakah sempat?"
Samantha tertawa kecil, "Setengah sandwich dan segelas kopi. Aku hidup mewah hari ini."
Nathaneil ikut tertawa, dan suasana di antara mereka menjadi ringan, hangat dalam batas yang aneh.
Namun kebersamaan itu dipotong tiba-tiba oleh dering dari ponsel di saku jas Nathaneil. Ia mengeluarkannya, dan dalam sekejap, ekspresi wajahnya berubah. Nada suaranya tak terdengar jelas saat ia mengangkat panggilan itu, tapi mata tajam Samantha bisa menangkap ketegangan yang mengeras di rahang lelaki itu.
Beberapa detik berlalu, lalu Nathaneil menutup panggilan itu. Ia mengembuskan napas, menyimpan ponselnya, dan mencoba tersenyum kembali.
"Maaf," katanya. "Kelihatannya aku harus membatalkan rencana sore ini."
Samantha mengerutkan dahi, tapi tetap menjaga nadanya ringan. "Ada yang penting?"
"Cukup mendesak. Tapi tidak perlu membuatmu khawatir," jawab Nathaneil sambil berdiri perlahan. "Aku hanya... kecewa saja. Aku pikir kita bisa menutup hari dengan sesuatu yang menyenangkan. Tapi mungkin di lain waktu."
Samantha mengangguk pelan, matanya mengikuti langkah Nathaneil ke pintu.
"Jaga dirimu," ucapnya sebelum lelaki itu membuka pintu.
"Aku selalu mencoba," balas Nathaneil tanpa menoleh.
Saat pintu tertutup kembali, Samantha memejamkan matanya sesaat. Entah kenapa, ada kelegaan yang tak bisa ia tolak. Sebuah ruang hening yang seolah memberinya kesempatan untuk bernapas sedikit lebih dalam.
Namun ia tidak tahu, detik-detik kepergian Nathaneil barusan... adalah bagian dari malam yang tak akan pernah berjalan biasa.
...****************...
Malam sudah merangkak saat Samantha menutup map terakhir di
mejanya. Suasana kantor sedikit senyap, suara lembut AC yang masih berdengung seperti bisikan dari kejauhan. Lampu-lampu sebagian sudah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari lorong utama. Ia meraih mantel yang tergantung di belakang kursi, mengenakannya sambil menarik napas lega.
Langkah-langkahnya menyusuri koridor dengan tenang, beradu lembut dengan lantai marmer. Di benaknya, ia mulai merangkai rencana kecil untuk malam ini bersama Leonard, segelas whiskey favoritnya yang sudah disimpan sejak lama, atau mungkin memanggang daging di balkon apartemen, ditemani angin malam dan obrolan santai yang sudah lama tak mereka nikmati. Senyum merekah di bibirnya saat membayangkan ekspresi Leonard saat melihatnya pulang lebih awal.
Namun begitu lift membawanya turun ke basement parkir, hawa malam itu berubah.
Begitu pintu lift terbuka, Samantha melangkah keluar dengan santai. Deretan mobil mewah dan kendaraan pribadi berjejer rapi dalam diam. Lampu-lampu di langit-langit menyala sebagian, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari di antara tiang-tiang beton. Suasana dingin dan sunyi menelan suara langkahnya.
Ia berjalan menuju mobilnya, jemarinya merogoh tas kecilnya, mencari kunci. Tapi seketika ia berhenti.
Perasaannya menegang.
Ada sesuatu.
Bukan suara, bukan gerakan, melainkan insting yang tajam seperti kilat dalam gelap. Perasaan aneh bahwa seseorang sedang menatapnya. Mengawasinya.
Samantha menoleh perlahan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaan lelah. Tapi matanya menyapu sudut-sudut parkiran yang temaram, tidak ada siapapun.
Ia kembali melangkah, kali ini sedikit lebih cepat. Kunci mobil sudah tergenggam di tangannya. Ia menekan tombol remote, suara klik dari pintu mobil membuat jantungnya sedikit mereda.
Namun...
Samar, di balik salah satu pilar beton, sebuah bayangan bergerak.
Hampir tak terdengar. Hampir tak terlihat.
Samantha membeku sesaat, seluruh syarafnya tegang. Ia tidak bisa membedakan apakah itu hanya pantulan cahaya... atau sesuatu yang lebih nyata. Lebih berbahaya.
Ia menoleh ke belakang. Kosong.
Tak mau mengambil risiko, Samantha mempercepat langkah, membuka pintu mobilnya dan masuk dengan cepat, lalu segera mengunci pintunya dari dalam.
Dadanya naik turun. Ia menatap kaca spion. Masih tidak ada apa-apa.
Namun saat ia menghidupkan mesin dan lampu utama mobil menyala, samar terlihat... jejak sepatu di lantai beton, arahnya mengarah ke mobilnya. Tapi tak ada siapa-siapa di sana sekarang.
Ia tak tahu... bahwa malam itu, bayang-bayang mulai menempel lebih dekat daripada yang ia duga. Dan sesuatu, atau seseorang, sedang menunggu momen yang tepat, untuk menyeretnya keluar dari cahaya.
...****************...
Samantha mengatur napasnya, mencoba menenangkan diri. Lampu mobil menyinari jalan beton di hadapannya, ia hanya perlu keluar dari basement ini dan kembali ke jalanan yang ramai. Namun, tepat saat ia hendak mengganti gigi ke posisi mundur,
Sesuatu terjadi.
Tiba-tiba saja, dari belakang, sebuah lengan kekar melingkar erat ke lehernya, menarik tubuhnya ke sandaran kursi. Ia ingin berteriak, ingin melawan, namun seseorang telah menyusup ke dalam mobilnya, bersembunyi di kursi belakang, menunggu momen yang tepat.
"Aaaaa—!"
Jeritannya tertahan. Bau menyengat menusuk hidungnya, sesuatu ditekan ke wajahnya. Kain basah. Cairan kimia.
Pandangannya mulai kabur.
Suara detak jantungnya menggema di telinga, sementara dunia di sekitarnya mulai memudar. Tangan dan kakinya memberontak, tapi semuanya terasa semakin berat, semakin jauh, semakin sunyi...
Gelap.
Ketika Samantha membuka mata, kepalanya terasa berat, pikirannya buram. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengenali di mana dirinya berada. Namun yang ia lihat hanyalah langit-langit mobil gelap yang asing, interior kasar, aroma tajam bahan kimia bercampur dengan bau plastik dan logam.
Tubuhnya tak bisa bergerak.
Kepanikan langsung meledak dalam dadanya saat ia sadar kedua tangannya diikat dengan tali nilon kuat. Kakinya juga diikat. Mulutnya tertutup lakban hitam, menekan bibirnya rapat.
Ia berusaha menjerit, tapi hanya suara tercekik yang keluar. Matanya liar menatap ke sekeliling, mencoba mencari petunjuk. Mobil itu sedang bergerak, ia bisa merasakan getaran roda menghantam aspal kasar, namun ke mana? Ia tak tahu. Jendela-jendela tertutup gelap, membuatnya mustahil melihat ke luar.
Di kursi depan, ia bisa melihat sosok seorang pria duduk diam, tangan di kemudi, wajahnya tertutup bayangan gelap. Tapi suara napas dan posturnya jelas bukan seseorang yang ia kenal. Orang itu tidak terburu-buru, tidak panik. Justru terlalu tenang.
Seolah semua ini adalah rencana yang telah disusun lama dan dijalankan dengan dingin.
Air mata mulai menggenang di sudut mata Samantha, bukan karena lemah, tapi karena ketakberdayaan yang begitu mendadak. Ia tidak tahu di mana dirinya, siapa yang membawanya, atau apa yang akan terjadi setelah ini.
Dan di antara kepanikan yang membuncah, satu nama terlintas dalam pikirannya:
Leonard.
Apakah ia akan sadar Samantha tak pulang? Akankah ia mencarinya?
Atau...
Sudah terlambat?