Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Issa menatap Dasha tanpa ekspresi. Suaranya terdengar tenang, tapi dingin menelusup di antara kata-katanya.
“Kau akan kembali bersamaku ke Roma. Kau dan anak-anak akan tinggal di rumah. Keluargaku harus tahu keberadaan anak-anakku.”
Dasha terpaku mendengar ucapannya.
“Bukankah itu terlalu mendadak?” tanyanya pelan.
Issa menatapnya dalam.
“Tidak. Kita sudah menunggu bertahun-tahun, Dasha. Jangan egois.”
Ia menelan ludah. Suara Issa tajam, dan tanpa sadar Dasha mungkin sudah mengucapkan apa yang seharusnya hanya ada di pikirannya.
“Baiklah, maaf. Aku akan bicara dengan Ibu dulu tentang hal ini,” ujarnya hati-hati.
Namun, Issa malah membalikkan badan dan pergi begitu saja.
Dasha mendengus kecil.
“Kau tahu, kau tak perlu bersikap kasar meski sedang marah,” serunya, tapi Issa sudah berada di ambang pintu.
“Ya, Dasha. Aku benar-benar marah,” katanya datar sebelum melangkah keluar.
Ia pergi, meninggalkan keheningan yang menusuk. Dasha hanya menarik napas panjang. Terserah dia. Dia sudah dewasa.
Perempuan itu naik ke lantai atas dan langsung menuju kamar. Rasa lelah menimpanya, bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati. Begitu tubuhnya menyentuh kasur, pandangannya gelap.
**
Ia terbangun karena kasur berguncang pelan. Saat membuka mata, Lea putri bungsunya sedang melompat-lompat di atas tempat tidur.
“Sayang, nanti jatuh,” katanya dengan suara serak. Anak itu segera turun, lalu berlari membuka pintu kamar.
“Mima sudah bangun!” serunya dari luar, lalu kembali duduk di sisi ibunya.
“Mima, makanan sudah siap. Papa yang masak! Aku tidak sabar!” katanya penuh semangat.
Dasha tersenyum lembut.
“Baiklah, Mima akan bersiap dulu, lalu menyusul ke bawah.”
Lea mengangguk dan pergi dengan langkah riang.
Setelah merapikan diri, Dasha turun ke ruang makan. Semua sudah duduk di meja makan, hanya ia yang belum. Ia mengambil tempat duduk yang tersisa, tetap di hadapan Issa, yang sama sekali tidak menatapnya.
Lea memimpin doa sebelum mereka mulai makan.
Di tengah makan, Grandma Poppy memecah keheningan.
“Besok pagi aku akan kembali ke Roma. Indie menelepon dan memintaku pulang. Sayang sekali, aku sudah nyaman di sini.”
“Bagus, Grandma,” sahut Issa tanpa menoleh pada Dasha. “Kita bisa berangkat bersama. Aku akan bicara dengan Mama agar kita menunda sehari atau dua hari. Dasha masih perlu bicara dengan ibunya.”
Dasha menatap ibunya di seberang meja.
“Ibu, nanti kita bicara, ya?”
Ia menggenggam tangan Malisa. Sang ibu hanya mengangguk, memahami.
Makan malam berlanjut dalam suasana tenang. Setelahnya, Dasha mencuci piring sementara Issa bermain bersama Leo dan Lea di ruang tamu.
Setelah memastikan dapur bersih, ia berjalan ke ruang tamu.
“Leo, Lea,” panggilnya lembut.
Kedua anak itu menoleh.
“Kalau sudah waktunya tidur, berhenti main ya? Besok lanjut lagi. Sekarang ikut Papa dulu. Mima mau bicara dengan Ibu.”
Lalu ia menatap Issa.
“Tidurlah bersama mereka malam ini. Aku tidur di kamar Ibu.”
Sekilas, seolah ada reaksi di mata Issa, tapi ia hanya mengangguk. Dasha pun meninggalkan mereka dan menuju kamar Malisa.
**
Dasha mengetuk pintu tiga kali.
“Masuk,” sahut suara lembut dari dalam.
Ia membuka pintu dan mendapati Malisa sedang bersandar di sandaran kepala tempat tidur sambil membaca buku. Hobi yang sama diwariskan pada Dasha.
“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.
Malisa mengangguk, tersenyum.
Dasha menutup pintu dan langsung merebah di sisi ibunya.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, sayang?” tanya Malisa.
Dasha memeluknya erat.
“Issa ingin kami ikut ke Roma, Bu. Apa Ibu tak keberatan? Aku ingin tahu pendapat Ibu dulu.”
Malisa mengusap rambut putrinya.
“Kamu tak perlu memikirkan Ibu. Tapi Ibu senang kamu masih minta izin. Sekarang yang perlu kamu pikirkan hanyalah anak-anakmu. Naluri seorang ibu selalu begitu, melakukan segalanya untuk mereka. Itulah cinta seorang ibu.”
Dasha menggigit bibir, matanya berkaca.