Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.
Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 — Nama untuk Sang Gadis Kecil
Suasana rumah kecil itu akhirnya mereda setelah hampir satu jam penuh kepanikan. Hembusan angin sore menerobos celah tembok, membawa ketenangan yang terasa kontras dengan kekacauan emosional Li Yun barusan. Di halaman depan, pria itu duduk bersandar di kursi bambunya, wajahnya pucat, rambut acak-acakan, dan tatapannya kosong seperti baru saja mengalami krisis eksistensial akut.
Di pangkuannya, seorang gadis kecil duduk dengan nyaman, menyandarkan punggung mungilnya pada dada Li Yun sambil mengayun-ayunkan kaki tanpa beban apa pun di dunia.
Li Yun memijat pelipisnya, berusaha memahami ulang kehidupannya.
“…hei nak,” gumamnya akhirnya, suaranya letih. “Paman sedang tidak bercanda. Bisa kau beritahu dari mana asalmu? Bagaimana kau bisa berada di sini?”
Gadis kecil itu menatapnya dengan mata bulat dan polos. “Aku? Aku juga nggak tahu, Papa…”
Li Yun hampir pingsan untuk kedua kalinya dalam sehari.
Papa.
Papa lagi.
Itu bukan panggilan main-main. Dia mengatakannya dengan polos, tulus… dan benar-benar percaya.
Li Yun memejamkan mata. Oke, tenang. Coba pikir logis, Li Yun. Ini pasti sesuatu dari dunia kultivasi yang aneh. Atau mungkin…
Seketika imajinasinya meledak.
Apakah dia korban perang?
Apakah orang tuanya dibantai oleh kultivator jahat dan dia melarikan diri ke sini?
Atau apakah dia anak yatim dari panti asuhan desa?
Atau… tunggu, aku pernah baca banyak novel transmigrasi. Apa ini momen klasik di mana seorang senior tak sengaja menemukan anak berbakat tapi terluka batin? Apakah ini semacam trope utama??
Li Yun mengerutkan kening dalam-dalam.
Dunia kultivasi memang keras, bahkan bagi anak yang seumur ini.
Dia menatap gadis kecil di pangkuannya. Begitu mungil, begitu polos… dan begitu keterlaluan imutnya. Mata bulat bening yang seperti menunggu jawaban dari dunia.
Li Yun merasakan hatinya mencelos.
“Kasihan sekali…” gumamnya lirih dalam hati. “Dia pasti sudah melalui banyak hal.”
Padahal gadis kecil itu saat ini sedang menatap Li Yun karena bingung melihat ekspresi bapaknya yang tiba-tiba berubah tragis.
Li Yun akhirnya mengambil keputusan besar yang bahkan para tetua sekte pun perlu rapat dewan dulu untuk mencapainya.
Jika anak sekecil ini sampai memanggil orang lain papa karena trauma… bagaimana mungkin ia bisa aku serahkan ke pusat bantuan kota?
Dia mengelus kepala gadis itu dengan lembut.
Baiklah… sampai segalanya jelas… aku akan menjadi ayah sambungnya.
Li Yun menelan ludah stabilisasi moral dan berkata, “Nak… siapa namamu?”
Gadis itu tersenyum malu-malu dan menggeleng.
“Aku belum punya nama… apa Papa bisa memberiku nama?”
Li Yun merasa mentalnya tertarik entah ke mana.
“…kau… belum punya nama?”
Dia hampir menangis lagi—kali ini karena iba.
Traumanya sudah parah sampai menganggap dirinya tidak punya nama? Astaga dunia kultivasi memang iblis…
Li Yun berpikir. Wajahnya serius, seperti sedang memilih nama jurus pamungkas.
“Hm… bagaimana kalau…”
Dia menatap wajah bulat gadis itu.
“…Xiao Bao?”
Sekejap mata gadis itu berbinar begitu terang seperti dua bintang jatuh.
“Xiao Bao suka sekali!! Papaaaaa!”
Dia langsung memeluk Li Yun erat-erat.
Hati Li Yun meleleh seperti mentega terkena matahari.
Jadi… seperti ini rasanya jadi ayah…
Dia mengusap punggung anak kecil itu dan berdeham. “Baiklah, Xiao Bao… bisa ceritakan bagaimana kau masuk ke rumah ini?”
Xiao Bao mengangkat tangan kecilnya dan menunjuk ke arah belakang rumah.
“Itu… lewat anggur.”
“…lewat apa?”
“Anggur,” ulang Xiao Bao polos sambil memasang wajah yakin.
Li Yun hanya berkedip.
Sementara itu Baal—si serigala kecil—sudah berkeringat dingin. Benar-benar basah kuyup. Bahkan bulunya gosong sedikit karena stres.
Li Yun kemudian memukul telapak tangan pada keningnya.
“Aahh… jadi begitu. Pasti kau menemukan celah dekat barrel anggur itu ya. Yah… rumah tua memang banyak celah.”
Baal di belakangnya: “APA!?”
Li Yun menepuk kepala Xiao Bao.
“Baiklah nak, jadilah anak yang baik. Papa akan menjagamu.”
Xiao Bao tersenyum lebar, pipi tembemnya merona.
“Xiao Bao akan jadi putri yang baik untuk Papa!!”
Li Yun tidak siap.
Tidak siap sama sekali.
Rasanya seperti ada panah emas penuh emosi yang ditembakkan langsung ke jantungnya.
Dia duduk tegak.
Matanya berkaca.
Dunia terasa lebih hangat satu derajat.
Kemudian Li Yun ingat sesuatu.
Anggur.
Ah ya. Proses fermentasinya.
Dia berdiri dengan Xiao Bao masih menempel di pinggangnya. “Baiklah—Papa mau periksa anggur dulu—”
Tapi tiba-tiba—
“Awooo!! Woof!!” Baal melompat menghadang seperti bodyguard yang mempertaruhkan nyawa.
Li Yun mengerutkan kening. “Ada apa lagi denganmu, hah!? Dari tadi merengek terus seperti habis menelan rempah busuk.”
Xiao Bao mengangguk polos. “Iya, kenapa puppy-nya meraung terus dari tadi, padahal dia bisa ngomong.”
Li Yun melirik.
“…apa maksudmu, nak?”
Xiao Bao menunjuk Baal.
“Waktu Xiao Bao ketemu puppy, dia bisa ngomong dan terlihat ketakutan’…”
Li Yun membatu.
Baal hampir mati berdiri.
Li Yun memandang serigala kecil itu.
Serigala kecil itu memandang balik.
Keduanya saling tatap seperti dua pria yang baru mengetahui rahasia memalukan satu sama lain.
Lalu Xiao Bao menunjuk kolam ikan.
“Itu juga! Waktu Xiao Bao lihat tadi, ikannya bisa terbang.”
Li Yun refleks menatap kolam.
Ikan koi itu buru-buru kembali berpura-pura berenang normal seperti ikan biasa dalam film dokumenter.
“…dan pohon itu,” Xiao Bao menunjuk Pohon Nirvana besar di kebun.
“Tadi… bisa bergerak…”
Li Yun menatap pohon itu.
Pohon Nirvana beku seperti patung. Tidak goyang, tidak berdesir, tidak berkedut.
Bahkan daun yang harusnya bergerak tertiup angin pun ikut membatu.
Luar biasa profesionalitasnya.
Li Yun menutup mata sejenak.
Ah… sepertinya traumanya memang sangat dalam… sampai berhalusinasi parah seperti itu…
Dia perlahan menggendong Xiao Bao ke dadanya.
“Tidak apa-apa, Xiao Bao. Kau tidak perlu takut. Di sini aman… dan Papa akan melindungimu.”
Xiao Bao tampak bingung sejenak—tapi kemudian tersenyum dan memeluk Li Yun erat-erat.
“Baik Papa…”
Di belakangnya, Baal, Pohon Nirvana, dan naga air bergetar.
Mereka baru saja lolos dari bencana eksistensial paling besar dalam sejarah.
Dan Li Yun…
Li Yun memulai babak baru hidupnya sebagai ayah tanpa sadar.