Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Ketika Luka Tak Lagi Membutuhkan Peluk
Sore itu langit Jakarta tampak kelabu, seperti cerminan isi hati Nayla yang baru saja keluar dari sebuah sesi terapi mingguan. Sudah dua bulan sejak reuni itu, dan sejak ia benar-benar menutup bab masa lalunya dengan Arvan dan Laras. Tapi bukan berarti semua selesai dalam sekali keberanian. Luka tetap tinggal, hanya saja kini tak lagi berteriak. Ia diam, seperti bekas luka yang sudah mengering, hanya terasa saat disentuh.
Nayla duduk di halte busway, menatap lalu lintas sore yang macet. Di seberangnya, ada kafe kecil yang mengingatkannya pada masa awal pernikahan dulu. Tempat ia dan Arvan pernah tertawa, walau jarang. Tempat ia pernah berharap, walau akhirnya kecewa.
Ia membuka ponselnya, ada satu pesan masuk.
Arvan:
Aku tahu ini mungkin nggak penting buatmu. Tapi aku cuma mau bilang, aku nyari tempat tinggal baru. Aku dan Laras… kami nggak lagi tinggal bareng. Aku tahu, semua ini nggak ada hubungannya sama kamu. Tapi aku pikir kamu berhak tahu.
Nayla membaca pesan itu tanpa banyak reaksi. Dulu, mungkin ia akan menangis. Tapi kini, hatinya hanya mengangguk datar.
Bukan karena ia tak lagi punya rasa, tapi karena ia tahu, perasaan yang lama itu sudah selesai.
Ia membalas singkat.
Nayla:
Kamu benar, ini memang bukan urusanku lagi. Tapi semoga kamu belajar mencintai dengan cara yang tidak menyakiti.
Tidak ada balasan lagi setelah itu. Dan Nayla pun tak menunggu.
Malamnya, di kamarnya yang sederhana namun hangat, Nayla duduk menulis di buku jurnalnya. Sebuah kebiasaan baru yang ia pelajari selama proses penyembuhan. Di halaman itu, ia menulis:
"Dulu aku percaya, luka hanya bisa sembuh jika ada yang memeluk. Tapi sekarang aku tahu, kadang luka justru sembuh saat kita berhenti berharap ada yang memeluknya. Saat kita belajar menjadi peluk itu sendiri bagi diri kita sendiri."
Tangannya berhenti, lalu ia menatap pantulan dirinya di cermin. Tidak sempurna, tidak sepenuhnya utuh, tapi juga tidak lagi retak.
Keesokan paginya, Nayla pergi ke panti asuhan tempat ia rutin menjadi relawan. Anak-anak menyambutnya dengan riang. Ada tawa, ada tangan kecil yang menggenggam jemarinya, ada peluk hangat yang tulus tanpa syarat.
Di sana, Nayla merasa hidupnya mulai punya arah baru. Bukan sebagai istri seseorang, bukan sebagai perempuan yang dikhianati, tapi sebagai perempuan yang memilih kembali mencintai hidup, meski sendirian.
Seorang anak perempuan menarik lengan bajunya. “Kak Nayla, nanti kalau besar aku mau kayak Kakak. Kuat.”
Nayla tersenyum, memeluk gadis kecil itu. “Jangan kayak Kakak. Jadilah versi terbaik dari dirimu sendiri.”
Dan untuk pertama kalinya, ia sadar, luka tak selalu perlu peluk dari orang lain. Kadang, cukup keberanian untuk merelakan, dan tangan sendiri yang menghapus air mata.
Tangannya berhenti, lalu ia menatap pantulan dirinya di cermin. Tidak sempurna, tidak sepenuhnya utuh, tapi juga tidak lagi retak.
Pikirannya melayang ke banyak hal. Tentang malam-malam penuh tangis yang kini telah menjadi kenangan. Tentang doa-doa panjang yang dulu dipanjatkan untuk seseorang yang tak pernah benar-benar menoleh padanya. Tentang harapan yang hancur berkeping-keping. Tapi kini semua itu terasa jauh, seperti bab lama dari buku hidup yang sudah ditutup perlahan.
Ponselnya kembali bergetar.
Laras:
Terima kasih sudah datang waktu itu. Aku tahu kamu nggak harus, tapi kamu tetap datang.
Nayla menghela napas. Entah untuk apa Laras mengirim pesan itu. Mungkin rasa bersalah, mungkin hanya sekadar basa-basi. Tapi ia tak berniat membalasnya.
Malam itu ia membuat teh hangat dan duduk di balkon kecil kosannya. Angin semilir menyapu wajahnya. Ia menatap langit malam yang tak sepenuhnya gelap, karena lampu-lampu kota memberi cahaya meski samar. Seperti hidupnya sekarang. Tak seindah harapan, tapi juga tak segelap dulu.
Di sela lamunan, ia teringat obrolan dengan psikiaternya minggu lalu.
"Terkadang, kita terlalu sibuk bertanya kenapa seseorang menyakiti kita, sampai lupa bertanya mengapa kita bertahan di sana begitu lama?"
Pertanyaan itu seperti tamparan. Tapi juga membuka mata. Nayla sadar, selama ini bukan hanya Arvan yang membiarkannya terluka. Dirinyalah yang tak segera pergi ketika luka itu sudah terlalu dalam.
Ia menyesap teh hangatnya, pelan. Kali ini tak lagi terasa pahit, walau tanpa gula.
Hari-hari berikutnya Nayla mulai mengisi waktu dengan aktivitas-aktivitas yang memperkaya jiwanya. Ia kembali aktif menulis, mengisi blog pribadinya dengan kisah-kisah reflektif, berbagi pengalaman, dan perlahan mulai dikenal sebagai penulis yang menyuarakan luka dan harapan perempuan.
Beberapa kali ia diundang menjadi narasumber di komunitas perempuan penyintas pernikahan toksik. Di sana, ia tak hanya menceritakan kisahnya, tapi juga mendengar kisah-kisah lain yang tak kalah pilu. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa luka yang pernah ia alami… ternyata bukanlah sia-sia.
Dari setiap pelukan yang dulu ia harapkan, kini Nayla belajar bahwa dirinya tak lagi membutuhkan itu. Ia telah cukup untuk dirinya sendiri.
Suatu sore, ketika ia selesai mengisi sebuah seminar kecil, seseorang mendekatinya. Seorang pria, berusia sekitar 30-an, dengan mata yang jernih dan senyum yang tenang.
"Apa benar Mbak Nayla?" tanyanya.
"Iya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Nama saya Faiz. Saya dosen di universitas swasta. Sudah lama mengikuti tulisan Mbak Nayla. Kalau boleh, saya ingin mengundang Mbak menjadi pembicara untuk seminar kampus kami minggu depan."
Nayla tersenyum. Ada keraguan kecil, tapi juga ada rasa senang yang tidak bisa disangkal.
"Mungkin saya bisa, Pak Faiz. Silakan kirimkan undangannya."
"Faiz saja. Dan terima kasih, Mbak Nayla. Saya yakin banyak yang bisa belajar dari perjalanan Mbak."
Setelah pertemuan singkat itu, langkah Nayla terasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, hidup sedang membawanya ke arah yang baru. Mungkin belum sepenuhnya cerah, tapi jelas bukan arah yang sama seperti dulu.
Ia menatap langit sore yang mulai berubah jingga.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Nayla membisikkan pada dirinya sendiri:
"Aku baik-baik saja. Dan akan terus baik-baik saja, bahkan tanpa peluk siapa pun."