Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Gedung-gedung pencakar langit terlihat pucat di bawah cahaya abu-abu yang menggantung. Di lantai atas kantor proyek Ciledug City, Andre duduk di balik meja kaca besar dengan wajah tegang. Laporan hasil investigasi yang dikumpulkan oleh tim audit independen tergeletak di hadapannya, lengkap dengan bukti-bukti penyelewengan dana, manipulasi pembukuan, dan pengalihan aset diam-diam.
Namanya tertera jelas di salah satu halaman: Erwin Lesmana, partner lama Andre sekaligus teman bisnis ayahnya.
Tak butuh waktu lama hingga pintu ruangan terbuka. Erwin masuk dengan gaya khasnya yang arogan—jas gelap, jam tangan mewah, dan ekspresi seolah dunia ada di bawah telapak kakinya.
“Kau memanggilku?” tanyanya, duduk tanpa dipersilakan.
Andre menatapnya tajam, lalu melemparkan dokumen setebal hampir dua ratus halaman ke meja di depannya. “Baca halaman 37 sampai 42.”
Erwin mengernyit tapi tetap membuka dokumen itu. Semakin lama ia membaca, wajahnya berubah—dari bingung, menjadi defensif, lalu memucat.
“Apa maksudmu menunjukkan ini?” suaranya rendah namun bergetar.
“Jangan pura-pura, Win.” Andre bersandar di kursinya. “Aku tahu kamu manipulasi dana untuk proyek perumahan satelit. Kamu alihkan dana supplier ke rekening pribadimu, ditambah penipuan invoice.”
Erwin membanting dokumen itu. “Aku nggak kerja sendirian. Sistem ini sudah ada sejak lama! Bahkan sebelum kamu jadi bagian tim.”
Andre mencondongkan tubuh. “Mungkin. Tapi aku tidak akan tutup mata.”
“Jadi kamu mau main bersih sekarang? Setelah kamu nikah sama cucu mantan diktator itu?” cibir Erwin.
Andre tidak terpancing. “Aku memecatmu. Hari ini juga. Semua akses kantor, e-mail, dan proyek dicabut. Legal team akan menghubungimu soal pengembalian dana dan proses hukum.”
“Berani sekali kamu!” Erwin berdiri, menunjuk Andre. “Kamu pikir kamu siapa, hah? Anak gundik yang tiba-tiba dapat proyek warisan?! Kamu pikir ayahmu akan dukung kamu?”
Andre berdiri juga, menatapnya sejajar. “Bapak mungkin tidak akan dukungku. Tapi aku tahu membiarkan kamu tetap di sini adalah racun.”
“Dasar pengecut!” teriak Erwin. “Kau pikir istrimu bisa melindungimu selamanya? Dunia ini kecil, Dre! Dan aku tak akan lupa ini!”
“Silakan,” sahut Andre tenang. “Tapi jangan pernah injakkan kakimu lagi di proyek ini.”
Erwin tertawa miring lalu meludah ke lantai. “Semoga kamu puas. Tapi hidup itu karma. Dan kamu akan tahu rasanya dijebak.”
Lalu ia pergi—membanting pintu keras hingga bergetar. Andre menatap punggung pintu itu beberapa saat, lalu menghela napas panjang. Tangannya sedikit gemetar.
Tak ada yang mudah dalam menghadapi pengkhianatan. Terutama dari orang yang dulu pernah dia percaya.
Saat ia keluar ruangan, tim audit dan kepala operasional sudah menunggu. Mereka hanya diam, mengangguk kecil. Salah satu dari mereka menepuk bahu Andre, tanda dukungan.
Hari itu, Andre belajar bahwa menjaga integritas kadang artinya kehilangan orang. Tapi demi sesuatu yang lebih besar, ia siap bayar harganya.
...****************...
Malam itu, saat Andre pulang, Lily menatap wajahnya yang lelah dan berkata lirih, “Apa yang terjadi?”
Andre memeluknya erat. “Satu orang pergi, tapi setidaknya proyek kita selamat.”
Namun saat mereka berjalan menuju ruang makan, salah satu staf rumah menyodorkan amplop cokelat tanpa nama.
Andre membukanya, dan di dalamnya—hanya satu lembar kertas: potongan koran lama, dengan headline tentang kasus lama ayah Lily.
Lily membeku. Andre menggenggam tangannya lebih erat.
“Seseorang ingin bermain lebih kotor,” gumam Andre.
Pagi itu terasa lebih kelabu dari biasanya. Langit Jakarta dipenuhi awan, seolah ikut memantulkan isi hati Andre yang sejak semalam tak bisa tidur.
Pukul sembilan tepat, Andre melangkah masuk ke ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung kantor pusat Suthajningrat Group. Tak ada firasat buruk sebelumnya—hanya ketegangan biasa menjelang presentasi evaluasi proyek.
Namun begitu ia masuk, suasana ruangan langsung terasa aneh. Semua direksi sudah duduk. Termasuk sang ayah, Sultan Munier, yang biasanya jarang hadir kecuali untuk keputusan penting. Dan di sudut kanan ruangan, duduk Bowo, lengkap dengan jas biru laut dan senyum kecil yang sukar dibaca.
Andre berdiri, sempat menatap satu per satu wajah-wajah yang dikenalnya sejak muda.
“Silakan duduk, Andre,” ujar ayahnya pelan, namun penuh tekanan.
Andre duduk perlahan.
Tak sampai lima menit kemudian, semua berubah.
Tanpa basa-basi, ayahnya meletakkan berkas hasil penyelidikan investigasi keuangan proyek Ciledug City.
“Sebagai Direktur Proyek, kamu gagal mengawasi timmu. Dana bocor, ratusan miliar melayang. Kamu tahu apa artinya ini?”
Andre membuka mulut, hendak menjelaskan bahwa ia sudah memecat orang yang bertanggung jawab, bahwa sistem akan ia perketat, bahwa kerugian masih bisa ditutup.
Namun Sultan Munier mengangkat tangan, menghentikannya.
“Tak ada tapi-tapian. Kamu sudah cukup membuatku malu,” suaranya dingin. “Mulai hari ini, jabatanmu saya cabut. Semua proyekmu akan diambil alih Bowo.”
Suara ruangan seperti menghilang.
Andre menegang. Matanya menatap sang ayah, seakan tak percaya.
“Apa?” bisiknya pelan.
“Kamu tidak layak. Bahkan dari awal pun kamu bukan pilihan utama,” lanjut sang ayah tajam. “Kalau Bowo tidak sibuk di luar negeri, perusahaan ini tidak pernah saya percayakan padamu.”
Kalimat itu menusuk. Menyayat.
Andre menelan ludah, lidahnya kering. “Jadi semua ini… hanya karena aku anak dari ibu yang salah?”
Bowo sempat menatapnya iba, namun diam.
Sultan Munier tersenyum tipis. “Tidak perlu membawa-bawa ibu. Ini masalah kapasitas. Dan kamu sudah membuktikan ketidakmampuanmu.”
Andre bangkit perlahan. Jantungnya berdentum keras. Seluruh tubuhnya panas, seolah mendidih. Namun ia menahan diri.
Ia tidak akan meledak. Tidak akan memberi mereka kepuasan.
Ia hanya menatap sang ayah, lalu membalik badan dan berjalan keluar ruangan tanpa menoleh. Dingin. Sepi. Hampa.
...****************...
Mobil hitam yang membawa Andre kembali ke rumah bata merah di Senopati terasa seperti peti mati berjalan.
Ia duduk bersandar, kemejanya terbuka dua kancing, napasnya berat.
Ponselnya bergetar beberapa kali. Pesan masuk dari rekan-rekan. Beberapa menyampaikan simpati. Beberapa lainnya… diam.
Andre hanya menatap kosong ke jendela.
Ia teringat saat pertama kali diangkat jadi Direktur Proyek, bagaimana Lily ikut merayakannya dengan sebotol wine dan senyum manis. Ia ingat malam-malam begadang di kantor, membangun sistem, merekrut tim baru, menjaga reputasi nama Suthajningrat.
Sekarang?
Semuanya dirampas dalam satu pagi.
...****************...
Lily mendapati Andre pulang lebih awal dari biasanya. Wajahnya pucat, langkahnya lemas, matanya kosong.
Ia tak berkata apa-apa. Langsung menuju kamarnya.
Lily, yang sedang memotong buah untuk makan siang, mengikuti Andre ke atas. Ia menatap pria itu yang duduk di tepi ranjang, memegangi kepalanya dengan kedua tangan.
“Andre?” tanyanya pelan.
Andre tak menjawab. Hanya mendesah pelan, lalu tertawa kecil—pahit, getir.
“Aku bahkan tidak bisa mempertahankan satu hal pun dalam hidupku.”
Lily duduk di sampingnya. “Kamu bisa cerita padaku.”
Andre menoleh, matanya merah. “Ayahku… mencopotku. Semuanya diambil alih Bowo. Aku bahkan tidak punya ruangan lagi di kantor.”
Lily meremas tangannya. “Aku minta maaf.”
Andre mengangguk pelan. “Mungkin… ini memang takdirku. Selalu jadi cadangan. Selalu kalah.”
“Aku nggak pernah lihat kamu sebagai cadangan, Andre,” suara Lily hangat, namun tegas. “Kamu lebih dari itu. Kamu cuma… lahir di tempat yang salah.”
Andre menatapnya. Mata mereka saling bertaut.
Namun dalam dada Andre, masih ada lubang besar. Lubang yang menganga karena harga dirinya terinjak, karena usaha bertahun-tahunnya dibuang seperti debu.
“Aku capek, Lily…”
Lily mengangguk. “Kalau kamu mau istirahat, istirahatlah. Aku di sini.”
Ia bangkit, dan meninggalkan Andre sendiri di kamar.
...****************...
Andre duduk di ranjang, membuka laptopnya, dan mengetik satu kalimat di email:
Kepada seluruh rekan kerja, mulai hari ini saya resmi mengundurkan diri dari seluruh jabatan di Suthajningrat Group.
Lalu ia menghapusnya.
Ia menatap layar kosong lama sekali.
Lalu berkata pelan, “Apa aku benar-benar tidak punya apa-apa lagi… selain dia?”