Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Apakah Aku Tidak Menarik?
Pagi itu, Claire terbangun dengan senyum yang belum sepenuhnya mengembang. Ada rasa hangat yang samar di dadanya, sisa dari keintiman malam sebelumnya. Ia melirik ke sisi ranjang di sebelahnya. Kosong. Aaron sudah tidak ada. Sebuah kekecewaan kecil merayap masuk, namun Claire menepisnya.
Aaron hanya sudah lebih dulu bangun. Dia bukan orang pemalas sepertimu.Ia bangkit, merapikan gaun tidurnya, dan melangkah menuju kamar mandi.
Setelah selesai membersihkan diri dan mengenakan pakaian, Claire menuruni tangga menuju ruang keluarga. Aaron sudah di sana, duduk di sofa dengan laptop di pangkuan, jari-jarinya menari di atas keyboard. Ia tampak tenggelam dalam pekerjaannya, dahinya sedikit berkerut saat konsentrasi.
Aaron tidak menyapanya seperti biasanya. Ia bahkan tidak mengangkat kepala ketika Claire duduk di sofa yang sama, hanya berjarak beberapa meter.
Serius sekali...
Claire merasakan gelembung kecemasan mulai terbentuk di perutnya. Harapan kecil yang ia bawa dari semalam perlahan mulai menguap. Ia mengamati Aaron diam-diam, mencari tanda-tanda yang sama seperti tadi malam: tatapan lembut, senyum samar, atau sentuhan yang menenangkan. Namun, Aaron seperti kembali ke mode "Direktur Silvan" yang dingin dan fokus pada pekerjaannya.
Sejak pagi itu, pola yang mengganggu mulai terlihat jelas. Aaron tetaplah Aaron yang perhatian dalam hal non-fisik. Ia akan memastikan Claire makan tepat waktu, menanyakan apakah ia tidur nyenyak, atau bahkan menyuruh Susan membawakan camilan kesukaan Claire.
"Nona, Tuan menyuruh saya membawakan teh jahe ini untuk mengurangi mual," ujar Susan suatu siang, meletakkan secangkir teh di meja Claire.
"Terima kasih, Susan," jawab Claire, namun pandangannya tak lepas dari Aaron yang kembali tenggelam dalam laptopnya.
Aaron juga akan memastikan Claire istirahat yang cukup. "Kau tidak terlihat begitu baik," katanya suatu sore, saat Claire mencoba membantu Susan merapikan beberapa dokumen. "Kembali ke sofa dan istirahat." Nadanya tegas, menunjukkan kekhawatiran, namun tanpa ada sentuhan fisik yang menyertainya.
Semua itu terasa seperti tanggung jawab, sebuah kewajiban yang dingin, bukan berasal dari keinginan tulus yang sama seperti malam itu. Aaron tidak lagi menggoda. Tidak ada lagi sentuhan tak terduga yang membuat jantung Claire berdebar. Dia tidak pernah meraih tangannya, tidak pernah mengusap perutnya, atau bahkan sekadar menyentuh lengannya. Seolah-olah, setelah malam itu, Aaron menarik sebuah garis tak kasat mata di antara mereka.
Apa yang Aaron pikirkan tentangku? Pertanyaan itu menjadi melodi baru dalam kepala Claire, lebih sering diputar daripada lagu kesukaan. Ia mengalihkan pandangannya dari Aaron, menatap keluar jendela yang menampilkan pemandangan kota yang luas. Apakah aku tidak menarik baginya?
Claire merasakan keraguan pahit merayapi dirinya. Ia melihat pantulan samar dirinya di kaca jendela: seorang wanita dengan perut yang membesar, wajah yang sedikit membengkak, dan tubuh yang kini tidak lagi ramping. Apakah tubuhku yang sekarang membuatnya jijik? Bayangan Benjamin melintas sekilas. Benjamin, yang selalu memujinya cantik, bahkan di saat terburuknya. Tapi Aaron? Aaron hanya menatapnya dengan tatapan tenang, tanpa gairah.
Apakah dia hanya bersikap baik karena bayiku? Apakah dia hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang ayah? Claire mencengkeram novel di pangkuannya.
Jika hanya itu, lalu apa arti dari semua momen keintiman emosional yang sudah terjadi? Kecupan di kening, pelukan, tawa Aaron, bahkan sentuhan lembut di kamar mandi. Apakah semua itu hanya bagian dari "tugas"nya juga?
Apakah dia menganggapku sebagai adik atau teman saja? Pikiran itu terasa seperti pukulan. Claire tidak ingin menjadi adiknya. Ia tidak ingin menjadi temannya. Ia ingin menjadi wanitanya.
Atau... apakah ini balasan atas perlakuan dinginnya dulu padaku? Apakah Aaron sedang membalas semua ketidaknyamanan yang kurasakan di awal-awal pernikahan kami? Rasa takut itu membuat perutnya melilit lagi. Ia tahu Aaron sangat logis dan tidak pernah melupakan detail. Mungkinkah Aaron sedang menikmati penderitaan batinnya saat ini?
Kegelisahan itu mulai terlihat dari gestur Claire. Ia sering memegang perutnya, seolah mencari perlindungan dari bayi di dalamnya. Ia akan melirik dirinya di cermin, dengan tatapan kritis, membandingkan bentuk tubuhnya yang sekarang dengan citra dirinya di masa lalu. Setiap kerutan di wajahnya, setiap inci tambahan di pinggulnya, terasa seperti cacat di matanya sendiri.
Beberapa hari berikutnya, Claire mencoba inisiatif untuk memancing reaksi Aaron, untuk melihat apakah ada percikan lain di luar tanggung jawab.
Suatu pagi, saat Aaron sedang menyeruput kopi dan membaca koran, Claire sengaja batuk-batuk kecil, sedikit berlebihan, berharap Aaron akan mendekat atau setidaknya bertanya dengan nada khawatir.
"Uhuk! Uhuk!" Claire batuk, sambil melirik Aaron. Pria itu hanya mengangkat kepalanya, menatapnya datar.
"Kau batuk?" tanya Aaron, tanpa intonasi. "Perlu kubuatkan teh jahe?"
"Ah, tidak, tidak perlu," jawab Claire cepat, senyumnya kaku, merasakan pipinya sedikit menghangat karena malu. Ia menghela napas.
Percobaan gagal.
Di lain waktu, saat Aaron sedang berjalan melewati ruang keluarga, Claire tiba-tiba menjatuhkan pulpennya, tepat di kaki Aaron. Dengan perut yang besar, ia membungkuk perlahan, berpura-pura kesulitan meraihnya, berharap Aaron akan membantunya.
"Oh, astaga! Pulpenku!" Claire berseru dramatis, tangannya menjulur ke lantai, seolah kesulitan meraihnya. Ia menahan napas, menunggu reaksi Aaron.
Aaron berhenti, menatap pulpen yang tergeletak di lantai. Ia kemudian menatap Claire yang membungkuk dengan susah payah. "Susan!" panggil Aaron, nadanya tegas, tak ada secercah pun rasa ingin membantu sendiri. "Tolong ambilkan pulpen Nona Hayes!"
Susan muncul dari dapur dengan cepat. "Baik, Tuan!" Ia segera mengambil pulpen itu dan menyerahkannya pada Claire.
"Terima kasih, Susan," gumam Claire, wajahnya memerah padam. Ia mencuri pandang ke Aaron yang sudah melanjutkan langkahnya, tanpa ekspresi.
Lagi-lagi, gagal.
Suatu sore, Claire melihat Aaron sedang sibuk di ruang kerjanya. Claire memutuskan untuk mencoba taktik yang lebih berani. Ia berjalan perlahan ke arah pintu ruang kerja Aaron, memejamkan mata, lalu dengan dramatis ia memukul pintu itu pelan, seolah ia kehilangan keseimbangan.
"Aduh!" Claire berseru, sedikit berlebihan, berharap Aaron akan panik dan bergegas keluar.
Pintu terbuka. Aaron muncul, menatap Claire dengan alis terangkat. "Ada apa?" tanyanya, suaranya tenang, tanpa sedikit pun nada panik atau kekhawatiran yang berlebihan.
"Aku... aku tadi... hampir terpeleset," bisik Claire, malu. Ia bisa merasakan pipinya semakin memanas.
Aaron hanya mengangguk. "Berhati-hatilah. Kau harus lebih pelan." Ia tidak bergerak untuk menopangnya atau menawarkan bantuan lebih. Ia hanya menyandarkan diri di kusen pintu, menatap Claire, seolah Claire hanya sedang melaporkan kejadian biasa.
Keesokan malamnya, Claire mencoba cara lain yang lebih langsung. Ia mengenakan gaun tidur satin berwarna merah gelap, yang sedikit lebih terbuka di bagian dada dan bahu, menonjolkan lekuk tubuhnya yang membesar. Biasanya ia akan mengenakan gaun katun yang sederhana, namun sekarang dia punya misi yang harus dilakukan. Claire berdiri di depan cermin, memutar tubuhnya, merasa canggung sekaligus penuh harap. Ini adalah upaya terakhirnya untuk memancing reaksi Aaron.
Ketika Aaron masuk kamar setelah mandi, pandangannya langsung tertuju pada Claire. Aaron memang menatapnya, matanya menyapu Claire dari atas ke bawah, namun tatapan itu tidak berubah. Tidak ada kilatan gairah, tidak ada senyum menggoda, hanya pandangan yang sama tenangnya seperti saat ia melihat selembar kertas.
"Kau terlihat... nyaman," komentar Aaron, suaranya datar, tanpa emosi lain. Ia kemudian berjalan menuju meja di sudut kamar, mengambil sebuah buku, dan kembali ke ranjang, bersiap membaca.
Claire menelan ludah, senyumnya mengering. Kata "nyaman" terasa seperti pukulan telak. Hanya nyaman? Itu sama sekali bukan reaksi yang ia inginkan.
Tak menyerah, Claire mencoba taktik lain. Ia duduk di sisi ranjang Aaron, lebih dekat dari biasanya. Ia melirik ke arah Aaron yang sedang membaca. Kemudian, ia meletakkan tangannya di lengan Aaron, membelai pelan, dan sedikit meremasnya. Claire menahan napas, menunggu reaksi.
Aaron berhenti membaca. Ia menoleh, menatap tangannya yang disentuh Claire, lalu beralih menatap wajah Claire.
"Ada apa, Nona Hayes?" tanyanya, suaranya tenang, tanpa perubahan nada. Ia sama sekali tidak menarik tangannya, namun juga tidak membalas sentuhan itu. Aaron hanya menunggu penjelasan.
Claire menarik tangannya perlahan, hatinya terasa mencelos. "Aku... aku hanya ingin tahu apa yang sedang kau baca." Ia berbohong, suaranya nyaris berbisik.
Aaron mengangkat buku itu. "Ini laporan keuangan triwulanan," jawabnya datar, dan kembali fokus pada halaman-halaman yang penuh angka itu.
Claire merasa semakin kecil, semakin tidak terlihat, meskipun Aaron berada di dekatnya. Ia mulai merasakan keheningan di antara mereka, sebuah keheningan yang jauh lebih menyakitkan daripada keheningan Aaron di masa lalu. Dulu, keheningan itu adalah pengabaian. Sekarang, keheningan itu adalah penolakan, sebuah isyarat tak terlihat yang menusuk lebih dalam.
Keesokan harinya, di malam hari saat mereka kembali ke kamar tidur, Claire berbaring di tempat tidur king size yang terasa begitu luas. Aaron mematikan lampu, kegelapan menyelimuti mereka, namun pikiran Claire tetap terang benderang. Ia menatap punggung Aaron yang membelakanginya, pria itu berbaring lurus, kaku. Tidak ada lagi tangan yang meraih, tidak ada lagi kecupan di kening. Hanya keheningan yang menyakitkan.
Claire memejamkan mata, merasakan air mata menggenang di pelupuknya. Bagaimana aku bisa membuatnya melihatku? Bagaimana aku bisa membuatnya menginginkanku, seperti Benjamin dulu? Pertanyaan itu menghantuinya.
Aaron ada di sampingnya, begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Kegelisahan itu memuncak, memeras hatinya. Ia ingin berteriak, bertanya langsung: Apa yang salah denganku, Aaron? Apa kau tidak menginginkanku? Namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya, terlalu takut untuk diucapkan, terlalu takut akan jawaban yang mungkin akan menghancurkannya sepenuhnya. Ia hanya bisa berbalik memunggungi Aaron, membiarkan air mata mengalir dalam diam.