Keyz, pemuda berusia sekitar lima belas tahun tanpa sengaja menelan dua buah kristal kehidupan milik Gabrielle dan Lucifer.
Dua kekuatan yang bertolak belakang, cahaya dan kegelapan. Air dan Es. Menyelimuti dirinya.
Dan tiga kesadaran telah bersemayam di dalam jiwanya. Siapakah yang akhirnya nanti berkuasa atas tubuh Keyz?
Gabrielle?
Keyz sendiri?
Ataukah sang laknat dari neraka jahanam, Lucifer?
Ini sedikit berbeda dengan world without end yang sudah tamat, tapi akan saya tulis kembali dengan nuansa yang lebih mendalam. lebih gelap, dan lebih sadis. dan cerita yang sedikit berbeda.
dan pastinya, Keyz yang disini, bukan Keyz yang cemen!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Minotaur
1
_______________________________________________
Tanah berguncang pelan, lalu semakin keras, seiring reruntuhan mengubur sisa-sisa kejayaan Kuil Piramida kedua. Pilar-pilar emas runtuh bagai ranting patah, dan patung-patung kuno pemuja Gabrielle pecah menjadi debu. Aura suci yang sebelumnya mengelilingi kuil itu perlahan menghilang—seolah-olah roh penjaganya, Ra’Horakthy, benar-benar telah lenyap dari dunia ini.
Dari dalam tanah Kuil Piramida, Keyz dan Alice berlari dengan napas memburu, debu menguar dari setiap langkah mereka. Mereka nyaris tertimpa batu besar yang jatuh dari langit-langit lorong bawah tanah yang telah mereka lewati. Kilatan pedang Keyz menghantam bebatuan untuk membuka celah saat jalan tertutup.
Di atas, Suki dan Selene berdiri di ambang kehancuran. Saat salah satu dinding puncak Kuil Piramida retak hebat, mereka saling pandang. Tanpa kata, mereka melompat bersama, membelah udara dan mendarat di Padang Rumput Tobias di antara dua piramida yang kini terlihat tak lagi agung.
Beberapa saat kemudian, keempatnya bertemu kembali. Debu dan darah masih menodai pakaian mereka. Tapi sorot mata mereka tak menunjukkan rasa lelah—hanya tekad untuk menyelesaikan misi mereka.
Keyz menatap piramida yang baru saja runtuh. “Kita selamat…”
Suki menyilangkan tangan di dada. “Tinggal Kuil Piramida ketiga. Minotaur pasti ada di sana.”
Selene menyeka darah dari pipinya dan tersenyum lemah. “Apa kalian semua baik-baik saja?”
Alice mengangguk, meskipun napasnya masih berat. “Aku kira kita akan terkubur hidup-hidup… Tapi aku baik-baik saja sekarang. Kau, Selene?”
“Aku masih bisa berdiri dan membaca mantra. Itu sudah cukup,” jawab Selene dengan nada bercanda.
Keyz menoleh pada Suki. “Kamu?”
Suki mengangkat pedangnya yang sudah penuh retakan. “Walau pedangku hancur. Tapi aku masih punya katana yang bisa menebas satu atau dua raksasa.”
Mereka tertawa kecil, sejenak melupakan beban yang mereka pikul.
Namun, tawa itu tak berlangsung lama.
Tatapan mereka kini tertuju ke arah Kuil Piramida ketiga. Piramida terbesar dari semuanya. Lebih kelam, lebih tajam, dan dindingnya penuh dengan lambang-lambang tak dikenal yang tampak berdenyut samar seperti daging hidup. Tanah di sekitarnya penuh rerumputan liar dan. Udara seolah lebih berat di tempat itu.
Saat mereka mendekati gerbang batu raksasa, suasana mendadak berubah drastis. Udara menjadi dingin. Angin yang sebelumnya tak ada kini berputar-putar, membawa bisikan-bisikan aneh yang terdengar seperti sebuah jeritan. Burung-burung di Padang Rumput Tobias terbang menjauh. Langit menjadi lebih gelap, padahal matahari masih tinggi di atas kepala.
Gerbang itu terbuka perlahan… tanpa disentuh.
Dari dalam kegelapan, suara berat dan gemuruh menggema ke luar. Suara derap langkah. Berat. Seret. Lalu berhenti.
Dari kegelapan yang tebal, muncul siluet raksasa. Cahaya samar memperlihatkan tubuh tinggi besar berotot, kulitnya berwarna gelap dan kasar seperti batu terbakar. Kepala banteng raksasa dengan tanduk melengkung ke atas menatap mereka dengan mata merah menyala.
Minotaur.
Bersamanya datang tekanan tak terlihat yang membuat lutut siapa pun bisa gemetar. Nafasnya mengembus keluar seperti asap dari neraka.
Keyz maju satu langkah, menatap monster itu. “Semoga ini benar-benar menjadi pertarungan terakhir kita…”
NB. Ilustrasi Minotaur Di Kuil Piramida Ketiga.
2
_______________________________________________
Gerbang batu itu terbuka sepenuhnya. Suara gesekan batu menggetarkan tanah, lalu terdiam. Kegelapan dari dalam kuil seperti kabut pekat yang menjalar keluar, menghapus cahaya mentari di sekitarnya. Keempat petarung itu berdiri di hadapan gerbang, diam dalam kewaspadaan. Mereka tahu… ini bukan lawan biasa.
Muncul dari bayangan, Minotaur berdiri setinggi dua kali tinggi manusia biasa. Tubuhnya dilapisi kulit sekeras batu obsidian, otot-ototnya menegang di bawah kulit hitam legam yang memancarkan panas seperti bara. Kedua tanduknya melengkung tajam ke atas, berkilat bagai bilah senjata kuno. Setiap embusan napasnya menghembuskan asap, dan mata merah menyala itu… bukan sekadar mata binatang. Itu adalah mata makhluk yang mengenal perang, yang haus darah, yang hidup hanya untuk menghancurkan.
“Aku akan mengalihkan perhatian makhluk itu,” gumam Keyz, mengangkat Elerion—pedang hitam yang memancarkan cahaya gelap. Saat ia menarik napas dan memusatkan kekuatan, pedang itu bergetar lalu terbelah, membentuk dua bilah suci: Zaphkiel, senjata langit yang pernah menjadi milik Uriel.
“Aku di belakangmu,” kata Alice. Ia berdiri dengan tenang, jubah putihnya berkibar pelan. Di tangannya sudah ada tongkat perak bermata kristal. Mantra penyembuh dan pelindung telah berpendar samar di udara sekitarnya.
Suki maju sejajar dengan Keyz. Di tangannya, pedang hitam miliknya mengalirkan aura kelam, retakan di bilahnya seperti berdenyut, tapi tetap menghunuskan teror. “Kita hancurkan makhluk ini bersama. Kalau perlu, aku gunakan semua sisa hidupku.”
Selene berdiri sedikit di belakang, membuka Kitab Sihir Solomon. Halamannya terangkat sendiri, berputar cepat sebelum berhenti. Lambang sihir kuno memancar dari lembaran kitab itu, dan udara di sekitarnya langsung terasa berat. “Aku akan membatasi gerakannya. Tapi jangan pernah lengah.”
Minotaur mengangkat kapak raksasa dari punggungnya—panjangnya lebih dari tubuh manusia dewasa, dan mata kapak itu seperti logam terkutuk yang memancarkan energi neraka. Ia menghela napas keras, lalu menginjak tanah.
—Blar!!!—
Ledakan kecil tercipta.
Debu beterbangan, dan ia mengayun kapaknya ke depan.
Keyz melesat duluan. Secepat kilat, tubuhnya memantul di atas bebatuan, dua Zaphkiel-nya menebas udara membentuk jalur cahaya. Minotaur menangkisnya satu dengan tangan kosong, gemetar menahan dorongan dua pedang surgawi. Tanah di bawah kaki mereka hancur. Suki menyusul dari kiri, membidik sisi yang terbuka.
—Blar!!!—
Bilah pedang hitam Suki menebas kulit keras Minotaur, menciptakan percikan merah tua. Namun makhluk itu hanya berbalik, menyambutnya dengan pukulan telak dari gagang kapaknya. Suki terpental, tapi memutar tubuhnya di udara dan mendarat dengan kuda-kuda mantap.
“Cepat sembuhkan!” serunya.
Alice mengangkat tongkatnya. "Heall" Cahaya putih menyelimuti Suki, menyembuhkan luka dalam sekejap. Sementara itu, Selene mengangkat tangannya tinggi. Dari Kitab Solomon, muncullah rantai cahaya yang menjulur ke langit, lalu menancap dari segala arah mengelilingi Minotaur, mengikatnya dalam kubus sihir.
“Sihir Pengikat Keempat,” desis Selene. “Lemah terhadap api dan kekuatan kasar, tapi cukup untuk menghentikannya sementara.”
Keyz tak membuang waktu. Ia melompat ke udara dan membentuk simbol langit dengan dua Zaphkiel-nya, memutar lalu menusuk lurus ke arah dada Minotaur.
Namun sebelum bilah itu mengenai sasaran, Minotaur meraung. Raungan itu memecahkan segel sihir dengan kekuatan brutal, dan semburan energi hitam menabrak Keyz di udara. Ia terpental mundur, meluncur hingga menghantam batu besar, meskipun segera berdiri kembali—berlumur debu dan darah.
“Aku tak pernah dia bisa lepas dari jeratan sihir ku…” ucap Selene terkejut.
Suki kembali menyerang, kali ini dengan dua tangan menggenggam penuh pedangnya yang bergetar hebat. Ia menerjang rendah, memotong kaki Minotaur, tapi makhluk itu mengangkat kakinya tinggi dan menginjak ke tanah.
—Dum!!!—
Gelombang kejut menggulung seperti ombak.
Suki terguling ke belakang, membentur dinding kuil.
Alice memejamkan mata, dua mantra dilemparkannya sekaligus: satu untuk perisai, satu lagi untuk penyembuhan massal. Cahaya dari tubuhnya berubah menjadi lapisan-lapisan cahaya yang melindungi seluruh tim.
Keyz kembali berdiri. Darah menetes dari bibirnya. Ia menatap Minotaur tanpa gentar, dan mengangkat dua Zaphkiel. “Kita belum selesai…”
Minotaur hanya menggeram. Ia merunduk sedikit, lalu berlari. Tanah gemetar di bawah setiap langkahnya. Ia mengayunkan kapaknya secara melingkar—pukulan yang bisa meratakan benteng.
Keyz menahan serangan itu dengan menyilangkan Zaphkiel, tetapi tetap terdorong mundur. Di belakangnya, Alice menahan tubuhnya dari terhempas lebih jauh. Suki dan Selene pun kembali berdiri berdampingan.
Mereka berempat menatap ke depan. Napas mereka berat. Tubuh mereka mulai luka. Tapi di mata mereka api tekad masih menyala.
Minotaur berdiri kokoh di depan pintu kuil yang terbuka. Tubuhnya hanya sedikit terluka.
3
________________________________________________
Darah menetes di ujung bibir Keyz. Napasnya memburu. Tanah di sekitarnya hancur. Retakan besar menjalar ke segala arah dari tempat Minotaur terakhir menginjak tanah. Udara bergetar—seolah langit pun ikut menahan napas.
Minotaur kini berdiri di tengah puing-puing, dadanya naik turun, dan kapak raksasa itu masih tergenggam erat di tangan kanan. Bayangan tubuhnya membentuk siluet menakutkan di tengah cahaya senja yang merayap dari balik reruntuhan kuil. Meskipun tubuhnya telah terluka, tidak ada tanda bahwa kekuatannya berkurang. Justru sebaliknya—semakin lama, kekuatan kegelapan di sekelilingnya terasa semakin padat. Semakin mengancam.
Keyz menoleh ke belakang, memastikan ketiga rekannya masih berdiri. Suki, Selene, dan Alice mengangguk pelan. Luka telah mereka terima, tapi semangat belum padam.
Lalu, tanpa aba-aba, pertarungan kembali dimulai.
Minotaur meraung. Tanah berguncang. Ia berlari ke depan, kapaknya melingkar membelah udara.
Keyz bergerak lebih dulu. Ia melompat menghindar ke samping, mendarat dan langsung menjejak tanah, melesat dengan kecepatan yang membuat tubuhnya tampak seperti bayangan.
Dua Zaphkiel-nya bersinar di tangan, dan suara seruan memenuhi udara.
“Phantom....... Slash!!” Langkahnya berhenti sesaat, lalu tubuhnya berayun ke depan—menciptakan puluhan bayangan yang menyerbu Minotaur dari segala arah. Tebasan itu begitu cepat, hingga waktu seolah terhenti sesaat.
Minotaur mengangkat kapaknya menahan, namun—
“HOLY RAIN!!” Suara Alice menggema seperti nyanyian para dewa-dewi. Dari atas langit yang mulai retak oleh cahaya suci, turun hujan—bukan air, melainkan jutaan jarum cahaya, jatuh seperti hujan salju yang menyilaukan, menyelimuti tubuh Minotaur dalam serangan bertubi-tubi.
Tubuh raksasa itu mundur satu langkah. Lalu dua.
Bayangan Keyz —Phantom Slash menghantam dari segala arah, dan hujan cahaya menembus kulit kerasnya. Asap tipis mulai mengepul dari punggung dan dadanya. Namun ia belum roboh.
Suki, dengan luka di pelipis dan napas memburu, menyeringai. “Giliranku.”
Ia melempar pedang hitamnya ke samping—dan pedang itu menghilang menjadi asap hitam. Sebagai gantinya, dua katana ramping muncul di kedua tangannya, bersinar dengan cahaya merah samar.
Satu lompatan. Dua. Tubuhnya membelah langit.
“DRAGON... SLAYER!!!” Ia berteriak sambil menebas dari atas.
Bayangan naga merah menyembur dari tubuhnya, menyatu dengan kedua katananya. Tebasannya menciptakan gelombang berbentuk Naga Raksasa, meraung dan menghantam Minotaur dari atas—membelah udara dan menabrak tanah dengan dentuman menggelegar.
—BLAARRR!!!—
Gelombang merah melesat seperti semburan api.
Minotaur terdorong ke belakang. Tanah di bawahnya pecah. Satu lututnya hampir menyentuh tanah.
“Masih belum cukup…” gumam Selene. Ia menutup Kitab Sihir Solomon di tangannya, lalu melepaskannya ke udara.
Kitab itu melayang, terbuka sendiri, halaman-halaman berputar cepat. Cahaya hijau dan emas melingkari tubuhnya.
Selene membentangkan tangan. “EARTHQUAKE!!”
Getaran menggelegar memancar dari bawah kaki Minotaur. Tanah kuil yang telah hancur, kini retak lebih hebat. Lantai suci itu pecah dan menjebak kaki Minotaur dalam lubang yang dalam. Ia kehilangan keseimbangan—kapaknya menancap ke tanah, dan tubuhnya terhuyung.
Keyz, yang telah berdiri di sisi lain, tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Ia menarik napas, lalu melompat. Tubuhnya melayang tinggi, lalu berputar mundur, salto ke belakang. Dua Zaphkiel-nya bergetar.
“X... SLASH!!” Teriakan itu memotong udara. Kedua Zaphkiel dilempar ke depan, membentuk huruf X yang bercahaya Hitam kemerahan. Serangan itu menembus udara, menghantam dada Minotaur, dan…
—BOOM!—
Sebuah ledakan terang terjadi saat serangan itu membelah tubuh makhluk itu dari bahu kanan ke pinggang kiri.
Namun... belum cukup.
Minotaur masih berdiri. Luka besar terbuka di dadanya, darah gelap mengalir. Tapi tangan kirinya masih menggenggam tanah, mencoba berdiri.
Keyz menatap ke bawah dari ketinggian, napasnya tertahan. “Selesai...”
Ia membalik tubuh di udara, melakukan tiga kali salto.
“METEOR... BREAKER!!”
Tubuh Keyz turun dengan kecepatan luar biasa, dilapisi cahaya hitam pekat. Ia menghantam tepat di atas kepala Minotaur—seperti meteor yang jatuh dari langit.
Ledakan dahsyat mengguncang Kuil Piramida. Cahaya menyebar ke segala arah, menerangi reruntuhan dan mengusir bayangan yang tersisa.
—DUUUUMMMMMM!!!—
Tanah runtuh. Pilar-pilar berguguran. Batu-batu beterbangan.
Saat debu mengendap… Minotaur tak lagi berdiri.
Tubuhnya telah hancur, pecah berkeping, meledak menjadi cahaya gelap yang lenyap perlahan ke udara. Hanya menyisakan… dua benda yang tertinggal di tengah kawah pertempuran:
Sebuah tanduk besar, dan kapak raksasa.
Mereka telah menang.
Keyz terjatuh ke lutut, napasnya berat. Zaphkiel kembali ke tangannya, perlahan berpendar lembut. Alice berjalan mendekat dan menyentuh bahunya dengan sihir penyembuh yang hangat. Suki duduk bersandar di puing tembok, kedua katananya tertancap di tanah. Selene mengambil kembali Kitab Sihir Solomon, lalu menatap langit yang mulai tenang.
Tidak ada yang bicara selama beberapa saat. Yang terdengar hanya angin dan detak jantung mereka.