“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Mencari Tahu
Laras duduk diam di dalam mobilnya, memeluk setir erat-erat seolah benda itu satu-satunya yang bisa menahannya tetap utuh malam ini.
Hujan mulai turun perlahan, menabur titik-titik air di kaca depan. Seperti langit pun mengerti betapa sunyinya hatinya.
Ia menutup mata.
Air matanya mengalir dalam diam, tanpa suara, tanpa isak. Hanya deras dan berat, seperti hujan yang mulai membasahi seluruh jalanan.
Semua kenangan berputar dalam kepalanya—saat ia kecil, berusaha mendapat perhatian, belajar keras, bekerja membanting tulang, selalu berharap dipuji, disayangi, dianggap ada. Tapi malam ini, semua itu terasa hampa. Seperti balon yang bocor perlahan—kosong di dalam, hancur tanpa suara.
"Sudah nggak guna buat kita."
Kata-kata itu terpatri di hatinya, lebih dalam daripada luka mana pun.
Laras menarik napas panjang, gemetar. Tangannya meraba ke dalam tas kecilnya, mencari tisu, lalu menghapus air mata tanpa benar-benar peduli apakah ia berhasil.
Perlahan, ia menyalakan mesin mobil.
Lampu dashboard menyala, bayangan dirinya sendiri terpantul di kaca. Mata yang bengkak. Bibir yang bergetar. Wajah seseorang yang selama ini hidup untuk membahagiakan orang lain—dan gagal.
Ia menatap pantulan itu lama sekali.
Hingga akhirnya, di sela tangisnya yang hampir kering, sebuah tekad lahir di dalam dadanya.
"Aku harus berhenti hidup untuk mereka," bisiknya, nyaris tak terdengar.
Ia menatap ke depan. Pandangannya masih kabur, tapi untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang terasa pasti di dalam dirinya.
"Aku akan mencari tahu siapa aku sebenarnya."
"Siapa orang tuaku. Dari mana asal usulku.'
Bukan demi siapa pun. Bukan demi diakui. Tapi demi dirinya sendiri. Agar ia tahu... siapa dirinya tanpa kebohongan, tanpa manipulasi, tanpa beban untuk terus membuktikan dirinya layak dicintai.
Ia menggenggam setir lebih erat, jantungnya berdetak lambat namun mantap.
Di luar, hujan semakin deras. Tapi di dalam mobil itu, seorang perempuan perlahan membangun dirinya kembali—dari reruntuhan masa lalunya yang baru saja runtuh malam ini.
Laras menarik napas panjang sekali lagi.
Lalu ia menginjak pedal gas, melaju menembus hujan, menjemput takdir yang akhirnya ia pilih untuk dirinya sendiri.
***
Edward baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah ketika Sherin mendekatinya dengan langkah cepat dan senyum penuh maksud. Wanita itu langsung menyodorkan ponsel ke wajahnya, memperlihatkan sebuah pesan dari klinik kandungan.
Edward malas melirik ponsel itu.
"Sayang, aku butuh uang buat periksa kandungan," ucap Sherin dengan suara manis, terlalu manis hingga terasa memuakkan.
Edward menghela napas malas. Wajahnya datar. Ia baru pulang kerja, kepalanya penuh beban, dan kini Sherin menuntut lagi.
"Nggak bisa besok?" tanyanya tanpa menutupi kejengkelan.
Sherin melipat tangannya di dada, menatap Edward tajam, suaranya naik setengah oktaf.
"Kamu mau anakmu lahir nggak sehat? Cuma karena kamu males transfer uang?!" sindirnya tajam, suaranya sengaja dibuat sedikit keras.
Edward mendecak pelan. Dengan malas, ia mengambil ponsel dari sakunya, membuka aplikasi bank, dan mengetikkan angka dengan wajah kesal. Ia tahu, kalau ia menolak sekarang, Sherin akan membuat keributan. Lagi pula, anak itu... meski ia masih sulit menerima, tetaplah darah dagingnya.
Begitu proses transfer selesai, Sherin tersenyum cerah seolah baru memenangkan hadiah besar.
"Nah gitu dong," katanya riang sambil menepuk-nepuk dada Edward. "Jangan pelit sama istri sendiri... apalagi sama istri yang sedang hamil anakmu!" serunya, sengaja dengan suara keras, nyaris seperti berteriak.
Sherin melirik ke arah pintu. Senyum puas tersungging di bibirnya saat melihat Laras baru saja masuk. Wanita itu masih mengenakan jaket tipis, wajahnya lelah, langkahnya lambat.
'Rasakan itu, Laras,' batinnya.
Wanita mandul. Tak bisa punya anak. Tak bisa membuat suaminya menoleh, apalagi menyentuh.
"Pasti hatinya perih,' pikir Sherin sambil menahan tawa kecil.
Edward juga melihat Laras. Matanya langsung menyipit, sorotannya dingin.
"Dari mana malam-malam begini?" tanya Edward, nadanya tajam, tak menyembunyikan kecurigaan.
Laras menarik napas perlahan. Hatinya terasa berat. Ia tahu apa yang mereka mainkan. Tapi kali ini, ia terlalu lelah untuk berakting seolah semua baik-baik saja.
"Rumah," jawabnya singkat, tanpa berhenti berjalan, tanpa menoleh, tanpa sedikit pun memberi perhatian pada suaminya. Suaranya datar, seolah Edward tak lebih dari angin
Ketidakpedulian itu... menusuk egonya. Edward mengepalkan tangannya. Ia benci sikap Laras yang seolah meremehkannya, seolah tak ada artinya baginya.
Sherin tersenyum penuh kemenangan. Ia melangkah lebih dekat, seolah ingin menambahkan garam ke luka yang terbuka.
"Istri macam apa kelayapan malam-malam?" katanya dengan suara nyaring.
"Entah benar dari rumah... atau jangan-jangan ketemuan sama mantan pacar diam-diam?" ucapnya dengan suara dibuat setengah bercanda, setengah menyindir.
Tawa kecilnya menusuk telinga Laras seperti jarum halus.
Laras berjalan lurus, melewati mereka, seolah suara Sherin hanyalah angin kotor yang berdesir.
Tak ada yang bisa lebih menyakitkan daripada kebenaran yang baru saja ia ketahui malam ini—bahwa selama ini, hidupnya dibangun di atas kebohongan.
Edward memandang Laras, ingin menuntut jawaban, ingin menyerangnya. Tapi ada sesuatu di wajah Laras malam itu—sesuatu yang membuat lidahnya kelu.
Tatapan Laras... kosong. Bukan marah, bukan sedih. Hanya kosong, seolah Edward sudah tidak berarti apa-apa lagi baginya.
Dan itu... entah kenapa membuat amarah Edward membuncah lebih kuat dari sebelumnya.
***
Beberapa Hari Kemudian
Laras melangkah perlahan menyusuri jalanan kampung yang lengang, diapit oleh sawah-sawah hijau yang bergoyang diterpa angin sore. Matanya menatap rumah sederhana didepannya yang dikelilingi pagar bambu.
Napasnya menggantung di udara panas sore itu, dadanya sesak oleh debar yang tak biasa.
“Permisi,” ucap Laras lirih sambil mengetuk pelan pintu kayu dengan hati berdebar.
Seorang pria tua dengan rambut memutih membukakan pintu. Wajahnya terlipat waktu, namun sorot matanya hangat. Laras mengenalinya—atau setidaknya mengira ia mengenal pria itu.
“Iya, ada apa, Nak?” tanya pria itu ramah, namun ragu.
Laras menelan ludah. “Selamat sore. Maaf, apakah ini rumah Pak Dudi?”
“Iya, betul. Saya sendiri.”
Ada rasa lega di hati Laras karena telah menemukan orang yang ia cari. "Saya Laras... dulu tetangga Bapak," ucapnya, ragu namun berharap.
Pak Dudi mengerutkan kening, memandangi wajah Laras lama, tampak berusaha mengingat. “Laras…” gumamnya pelan. Ia menggeleng pelan. "Maaf, saya sudah lama sekali nggak dengar nama itu..."
Laras tersenyum getir. “Dulu saya pernah main sama anak Bapak. Terus… saya pernah nangis-nangis dikejar ayam gara-gara saya tangkap anak ayam. Lalu saya jatuh… ke kolam ikan Bapak.”
Mata Pak Dudi membelalak perlahan. Seberkas ingatan seolah terbangun dari tidur panjangnya. "Laras... Laras kecil? Ya Tuhan… iya, iya! Bapak inget sekarang! Astaga… kamu Laras kecil yang bikin ayam betina Bapak ngamuk-ngamuk sampai kamu nyemplung ke kolam!”
Laras mengangguk, senyum getir mengembang di wajahnya. "Iya, Pak... Itu saya."
Pak Dudi tertawa kecil, tampak terkejut sekaligus terharu. "Astaga... Sudah besar, ya. Cantik sekali."
Laras ikut tertawa meski matanya mulai berkaca-kaca. Tawa itu seperti pintu masa lalu yang terbuka perlahan.
Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan gemuruh di dadanya. "Boleh saya duduk sebentar, Pak?"
"Tentu." Pak Dudi mengajaknya masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana namun bersih. Setelah basa-basi ringan tentang kabar masing-masing, Laras akhirnya memberanikan diri.
“Pak… saya ke sini sengaja mencari Bapak. Saya... Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Apa Bapak tahu siapa orang tua kandung saya?”
Pertanyaan itu membuat Pak Dudi membeku.
Suasana mendadak hening. Hanya suara angin yang melintas di antara mereka.
Pak Dudi menatap Laras lama, seolah menimbang apakah ia harus membuka luka lama itu.
Akhirnya ia menghela napas panjang, napas yang berat dan penuh beban.
“Iya.. Laras. Bapak tahu. Dan kamu berhak tahu.”
Laras menahan napas, jemarinya mengepal di atas pangkuan.
Pak Dudi mulai bercerita. Suaranya lirih, seperti membisikkan rahasia dunia.
"Dulu... Orang tuamu adalah sahabat Bapak dan sahabat Darma juga. Mereka orang baik, pekerja keras. Waktu kamu masih bayi, mereka sering menitipkan kamu ke Wati karena kedua orang tuamu sibuk kerja. Waktu itu Wati sama Darma belum punya anak, jadi senang sekali ada kamu di rumah."
Laras mendengarkan dalam diam, matanya memerah, hatinya berdegup kencang.
"Sampai suatu hari...
...🍁💦🍁...
.
To be continued
semangat kak sehat selalu 🤲
kamu sudah lama menderita dan kamu pantas untuk bahagia Laras...
Semangatt kak lanjut... sehat selalu 🤲