Rahasia Menantu Kelas Teri

Hoek... hoek... hoek...

Setiap hari Nia selalu mual hebat bahkan terkadang hingga malam hari. Dirinya merasa rindu dengan sang suami. Tidur tak nyenyak hingga makan pun tak enak.

Bahkan untuk memejamkan matanya saja dirinya selalu memeluk kaos milik suaminya yang saat itu masih berada di tumpukan cucian kotor. Nia tak mau mencucinya hingga saat ini. Sebab bau yang ditinggalkan baginya sangat harum khas wangi suaminya.

Dirinya khawatir jika kaos tersebut dicuci maka bau khas tubuh suaminya akan hilang. Bu Rosa terus saja mengomeli putrinya yang tak bisa melupakan Heru si menantu kelas terinya itu.

"Nia... Nia... jadi wanita itu yang realistis. Apa sih yang kamu harapkan dari si Heru? Dia itu sudah miskin, kerjanya cuma OB, penghasilan pas-pas an. Hidupin kamu saja dia enggak jelas. Gimana nanti kalau bayimu ini lahir? Tambah enggak karuan nantinya hidupmu," ucap Bu Rosa dengan nada ketus.

"Ta_pi, Bu. Bagaimana pun juga Mas Heru Ayah dari bayi yang aku kandung. Dia juga berhak atas bayi ini. Sepertinya anak ini marah jadinya bikin aku enggak bisa nelan makanan sama sekali. Aku rindu Mas Heru, Bu. Aku mohon jangan pisahkan kami. Walaupun mungkin dia bersalah atas kejadian Selly tapi jangan karena hal itu maka kita harus berpisah. Aku enggak mau, Bu."

Nia menangis tersedu-sedu memohon pada Bu Rosa. Dan ibunya hanya diam tanpa bersuara lalu pergi meninggalkan kamar Nia.

"Mas, aku rindu kamu. Maafin aku," batin Nia sedih berbalut rindu.

Tangisan air mata Nia semakin deras kala ia mengenang kesabaran Heru bersamanya selama ini dalam lingkup keluarganya yang selalu menghinanya. Namun lelaki itu selalu sabar dan tak pernah membentak ibunya maupun adik kandungnya, Selly.

Sedangkan di tempat lain, Heru pun sejujurnya tengah rindu dengan sang istri. Ia ingin sekali mengelus perut Nia yang pastinya mulai sedikit padat. Dirinya juga cemas terlebih setelah membaca beberapa artikel bahwa awal kehamilan dominan ibu hamil mengalami morning sickness.

Sudah satu minggu lebih sejak kepergiannya dari rumah ibu mertuanya, ia tidak bisa menghubungi sang istri. Tentu saja dirinya tak bisa menghubungi Nia sebab ponsel pribadi Nia disita oleh ibunya.

Bahkan nomor kontak Heru telah diblokir oleh Bu Rosa dari ponsel putri sulungnya itu. Nia sempat protes jika ia tidak bisa menggunakan ponsel pribadinya.

Namun lagi-lagi Bu Rosa mengancamnya akan membuat hidup Heru lebih susah jika Nia tidak bisa diajak bekerja sama untuk melupakan suami kelas terinya itu.

Nia yang tengah lemah akibat kehamilan trisemester awalnya ini benar-benar menguras fisik dan psikisnya sehingga mau tak mau akhirnya dia menuruti apa kata ibunya walaupun secara terpaksa.

Heru yang tidak tahan, akhirnya memutuskan pergi ke Bandung. Kebetulan saat ini akhir pekan jadi urusan kantor tidak ada yang penting atau urgent yang membutuhkan dirinya untuk hadir.

Ia melesat mengendarai mobil mercy hitam miliknya sendirian setelah berpamitan pada kakek Geraldo dan Ferhard.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam dan beruntung jalanan tidak terlalu macet karena saat ini jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Setibanya di kediaman ibu mertuanya, Heru tampak terkejut sebab lampu teras tampak gelap. Lampu dalam rumah juga gelap semua.

Saat dirinya akan masuk membuka pagar rumah ibu mertuanya, tiba-tiba satpam komplek memanggilnya.

"Pak Heru," panggil satpam.

Heru pun sontak menoleh dan melihat Pak Dadang salah satu satpam komplek di kediaman ibu mertuanya itu yang ia sangat kenal dengan baik.

"Eh Pak Dadang," sapa Heru dengan sopan.

"Lho Pak Heru bukannya tadi nganterin istrinya ke rumah sakit? Kok cepat amat baliknya. Apa Bu Nia sudah baikan, Pak?" tanya Pak Dadang heran melihat Heru di depan rumah Bu Rosa.

Hal ini dikarenakan baru saja Pak Dadang melihat Heru, Bu Rosa dan Selly membawa Nia ke rumah sakit dengan memakai mobil milik Bu Rosa.

Deg...

🍁🍁🍁