Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarian di sarang serigala
Tatapan mereka sempat bersitatap. Namun tak lama, Orion menarik tubuh ramping itu ke ranjang, membenamkan Rosella di bawah tubuhnya—posisi yang cukup intim untuk membuat jantung siapa pun berpacu.
Senyum miring muncul di wajah sang Duke, lalu salah satu tangannya melingkar ke leher Rosella dan mencengkeram erat. Tubuh gadis itu refleks menegang ketika ia merasakan napas hangat pria itu mendekat di telinganya.
“Sejak awal kau menari, aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan,” bisik Orion, suaranya rendah dan menusuk, membuat bulu kuduk Rosella berdiri.
Namun Rosella tak gentar. Meski napasnya tercekat, matanya tetap menatap tajam ke arah pria itu.
“A–ku ... akan membunuhmu ....” desisnya pelan, tercekik, tapi sarat tekad.
Tawa Orion terdengar pelan, meremehkan, seolah kalimat barusan tak lebih dari bisikan angin. Ia melonggarkan cekikannya, lalu menyibak rambut Rosella ke belakang dengan santai.
“Tubuhmu terlalu ringkih, tak punya kekuatan. Dengan apa kau hendak membunuhku? Keberanian? Dendam?” tanyanya, senyumnya tak hilang, namun penuh sindiran.
Rosella perlahan bangkit, sorot matanya masih tajam. Tapi hanya sesaat—sebelum ia berlutut dan menunduk, wajahnya berubah penuh duka dan suara bergetar.
“Tuan Duke ... maafkan aku. Ak–aku hanya ... terbawa emosi,” lirihnya nyaris seperti tangisan. Namun di balik ekspresi lembut itu, tidak ada harap. Tidak ada permintaan belas kasih.
Ia hanya bermain peran.
Orion memandangnya lama, seolah menimbang.
“Awalnya aku berniat memberimu sedikit kelonggaran. Tapi siapa sangka, baru sehari kau menjabat sebagai tawanan, kau sudah mencoba membunuhku,” ucapnya tenang.
“Bukankah itu cukup berbahaya, Putri Rosella?”
Ia berdiri tegak. Dingin. Tegas. Suaranya meluncur seperti pisau.
“Varron. Bawa dia keluar dari hadapanku.”
“Lihat apakah para jenderal bisa menjinakkan tikus kecil ini.”
“Saya di sini, Yang Mulia!” sahut Varron cepat, membungkuk hormat dengan tangan di dada.
“Segera, Yang Mulia.” Tanpa menunggu aba-aba kedua, Varron maju, mencengkeram lengan Rosella, dan menggiringnya pergi.
Namun tak seperti sebelumnya, kali ini Rosella tidak menangis. Tidak pula meronta. Ia berjalan tenang, membelakangi sang Duke, dan saat bayangannya menghilang dari pandangan ....
Seulas senyum semirk muncul di bibirnya—dingin, tajam, penuh maksud.
Duke Orion benar-benar menepati janjinya, ia menyerahkan Rosella kepada para jenderalnya.
Varron pergi tanpa sepatah kata setelah menuntaskan tugasnya, meninggalkan sang tawanan berdiri seorang diri di tengah tenda besar yang dipenuhi aroma anggur, peluh, dan hasrat lelaki.
Rosella berdiri tegak dengan dagu terangkat, seolah tempat itu bukan kandang serigala—melainkan panggung yang sudah ia kuasai. Di hadapannya, lima jenderal menatap penuh antisipasi.
Valdrosh menyeringai miring, tatapannya bagai api yang menyambar tubuh Rosella dari atas ke bawah.
“Cepat juga Yang Mulia sadar bahwa gadis yang ia ajak ke ranjang ternyata punya otak bulus,” ucapnya penuh kemenangan.
Ia mendekat satu langkah, suaranya dalam dan berani.
“Tuan Putri ... bukankah kau tak punya pilihan selain melayani kami malam ini?”
Namun Rosella hanya tersenyum manis, seolah ucapan itu hanyalah angin yang lewat di telinganya.
“Bagaimana mungkin?” sahutnya lembut, nadanya manja namun terukur.
“Jenderal Valdrosh seharusnya tahu, aku hanya menarikan sebuah tarian indah untuk Tuan Duke. Tidak ada yang salah, bukan?”
Responsnya terdengar seperti pujian untuk Orion, tapi justru itulah yang membuat Valdrosh semakin terpikat—dan tersulut.
Sementara itu, Veyrund dan Kaelric menikmati pemandangan dengan terang-terangan. Keduanya bersandar santai, namun tatapan mereka menyusuri setiap inci tubuh Rosella dengan minat tak tersembunyi.
Di sisi lain, dua jenderal lainnya—Thalvane dan Elaris—hanya duduk diam, tampak tak nyaman. Keduanya telah beristri, dan meski terbiasa membantai tanpa ampun di medan perang, malam ini terasa berbeda—kotor dengan cara yang tak bisa dibela oleh pedang mana pun.
Valdrosh melangkah lebih dekat, suaranya mengandung ejekan.
“Apa hebatnya menari untuk Duke? Yang ada kau hanya kelelahan tanpa lirikan, tanpa pujian. Di sini, kau bisa menyenangkan kami, dan kami—percayalah—akan memperlakukanmu ... dengan adil.”
“Benarkah?” Rosella mencondongkan tubuh, suaranya manis, tapi tatapannya nyaris seperti belati yang terselip di balik senyum.
“Tentu saja.”
Tangan Valdrosh terangkat dan menyentuh pipi Rosella. Sentuhan itu lembut, namun menjijikkan. Ia menyapukan jarinya seperti menikmati barang rampasan yang baru dibuka bungkusnya.
Rosella menahan diri mati-matian. Ingin rasanya menampar wajah itu, mencabik bibirnya yang berbicara seolah-olah ia punya hak. Tapi ia tetap diam—untuk sekarang.
“Baiklah, teman-teman.” Suara Valdrosh menggelegar. “Mari kita lihat ... bagaimana si cantik ini akan menari!”
Namun saat kegaduhan hendak dimulai, dua sosok berdiri dari kursinya nyaris bersamaan.
“Jenderal Valdrosh,” ucap Elaris, nadanya datar namun tegas. “Maaf, sepertinya kami harus keluar.”
Valdrosh melirik kesal, mengangkat alis dengan sinis.
“Sudahlah kalian ... pergi saja!” ucapnya sambil mengibaskan tangannya seperti mengusir anak ayam.
Tanpa menanggapi lebih jauh, Elaris dan Thalvane bertukar pandang, lalu memberi hormat singkat layaknya sesama jenderal. Keduanya berbalik dan meninggalkan tenda tanpa suara.
Kini tinggal tiga pria, satu wanita, dan satu permainan yang baru saja dimulai.
Valdrosh dan kedua jenderal lainnya kembali tersenyum.
“Ayo, cantik. Menarilah!” seru Valdrosh penuh semangat.
Rosella membalas dengan senyum tenang. Ia mengangkat jemarinya, mulai mengayunkannya perlahan—membuka pertunjukan dengan gerakan selembut desir angin malam.
Tarian malam ini adalah Erliryn’s Lament, tarian ratapan dari wanita patah hati. Gerakannya lemah gemulai, penuh lirikan sayu dan air mata yang disengaja. Tarian ini diciptakan untuk menggoda—seolah meminta pelukan, padahal hanya mempermainkan.
Ia bergerak lembut, bergelayut manja pada Valdrosh, membuat pria itu bersandar lebih dalam di kursinya. Sementara Veyrund dan Kaelric bersorak riang, sesekali meniup siulan kekaguman.
Namun ketika Valdrosh hendak menarik Rosella ke dalam pangkuannya, gadis itu mengangkat satu jari—menggoyangkannya pelan, sebuah penolakan halus yang elegan.
Pertunjukan belum selesai.
Valdrosh sempat tampak kecewa, tapi tak berkata apa-apa. Ia hanya kembali menikmati keindahan yang disuguhkan di hadapannya.
Rosella perlahan berlutut di hadapan sang jenderal. Jemari lentiknya menyentuh wajah sangar itu dengan lembut, menyusuri rahang Valdrosh hingga ia meraih teko arak. Dengan gerakan anggun, ia menuangkannya ke cangkir, lalu menyodorkannya langsung ke bibir pria itu—membantunya meneguknya dengan tangan sendiri.
Setelahnya, ia beralih ke Veyrund dan Kaelric. Kali ini, ia menyuguhkan anggur merah dengan gaya berbeda—masih dengan tubuh gemulai, tapi tatapan matanya jauh lebih tajam, seolah menyisipkan racun dalam lirikan.
Ketiga jenderal itu larut dalam kenikmatan, tak menyadari bahwa malam itu, bahaya tengah mengintai salah satu dari mereka—pelan namun pasti.
Beberapa menit kemudian, Rosella menunduk anggun, menyempurnakan gerak terakhirnya.
“Para jenderal ... malam sudah larut. Aku harus kembali ke ruang tahanan. Tapi jangan khawatir, aku akan menghibur kalian lagi esok hari,” ucapnya lembut.
“Mengapa tidak menginap saja di sini?” tanya Kaelric, nada suaranya menyimpan kekecewaan.
“Benar. Kau seharusnya tinggal lebih lama. Mungkin... menjadi teman tidur?” lanjut Veyrund tanpa malu.
Rosella tetap tersenyum lembut.
“Mungkin akan ada waktunya. Tapi malam ini bukan saat yang tepat,” katanya dengan nada manja namun penuh kendali. “Aku benar-benar lelah ... atau kalian sudah tak puas dengan hiburanku?”
Ia memasang ekspresi sedih—mata yang sayu dan suara yang sedikit menurun. Raut wajah itu berhasil menusuk simpati mereka.
Ketiganya tampak tersentuh.
Valdrosh terkekeh.
“Baiklah. Besok kau bisa kembali. Tapi ingat, setelah itu ... jangan harap bisa kabur dari kami,” ujarnya dengan nada bercanda, namun Rosella tahu—di balik tawa itu, ada ancaman yang nyata.
“Baik, para jenderal,” jawab Rosella sambil membungkuk anggun.
Dan malam itu, ia meninggalkan kamp jenderal—tanpa luka, tanpa satu sentuhan pun yang melewati batas.
Namun dari kejauhan, sepasang mata memperhatikannya dari celah pintu yang sedikit terbuka.
Orion berdiri diam di balik bayangan, menyaksikan semuanya tanpa suara. Bibirnya tak bergerak, tapi sorot matanya mencatat setiap gerak Rosella dengan teliti.
“Yang Mulia.” Suara Varron terdengar pelan saat ia tiba, berdiri tepat di samping sang Duke dan menunduk hormat.
“Katakan,” jawab Orion singkat, seolah telah tahu bahwa laporan sedang menantinya.
“Saya menemukan bukti bahwa Jenderal Valdrosh melakukan penyelundupan garam.”
“Aku tahu,” balas Orion datar. “Kau boleh pergi.”
“Baik, Yang Mulia.”
Namun baru beberapa langkah berjalan, suara sang Duke menghentikannya lagi.
“Tunggu.”
Varron segera menghentikan langkahnya, menoleh penuh perhatian.
“Selidiki semua gerak-gerik Putri Rosella. Ke mana pun ia pergi.”
Suara Orion tetap datar—tenang, nyaris tanpa nyawa. Tapi perintah itu lebih dingin dari malam yang menggigit tulang.
“Baik, Yang Mulia. Saya akan laksanakan.”
.
.
.
Bersambung ....