Arjuna Hartono tiba-tiba mendapat ultimatum bahwa dirinya harus menikahi putri teman papanya yang baru berusia 16 tahun.
“Mana bisa aku menikah sama bocah, Pa. Lagipula Juna sudah punya Luna, wanita yang akan menjadi calon istri Juna.”
“Kalau kamu menolak, berarti kamu sudah siap menerima konsekuensinya. Semua fasilitasmu papa tarik kembali termasuk jabatan CEO di Perusahaan.”
Arjuna, pria berusia 25 tahun itu terdiam. Berpikir matang-matang apakah dia siap menjalani kondisi dari titik nol lagi kalau papa menarik semuanya. Apakah Luna yang sudah menjadi kekasihnya selama 2 tahun sudi menerimanya?
Karena rasa gengsi menerima paksaan papa yang tetap akan menikahkannya dengan atau tanpa persetujuan Arjuna, pria itu memilih melepaskan semua dan meninggalkan kemewahannya.
Dari CEO, Arjuna pun turun pangkat jadi guru matematika sebuah SMA Swasta yang cukup ternama, itupun atas bantuan koneksi temannya.
Ternyata Luna memilih meninggalkannya, membuat hati Arjuna merasa kecewa dan sakit. Belum pulih dari sakit hatinya, Arjuna dipusingkan dengan hubungan menyebalkan dengan salah satu siswi bermasalah di tempatnya mengajar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Teman Curhat
Jam 5 sore, Cilla dan lima Pandawa pamit pada Pak Trimo dan Bik Mina. Kedua orangtua itu merasa bahagia karena dikunjungi anak majikan yang mereka anggap seperti anak sendiri, apalagi kali ini Cilla datang bersama dengan lima pria yang merupakan sahabat barunya.
Lima pria yang dipanggil Pandawa oleh Cilla, terlihat sangat perhatian dan peduli serta menghargai Cilla meski ia satu-satunya perempuan dalam rombongan itu. Dan yang terpenting bagi Pak Trimo dan Bik Mina, kelimanya bisa membuat Cilla banyak tertawa.
“Bapak titip Non Cilla, Mas Arjuna. Tolong jaga dia di sekolah sebagai gurunya,” Pak Trimo menepuk-nepuk bahu Arjuna sambil tersenyum.
“Semoga saya bisa menjalankan amanah Bapak,” sahut Arjuna dengan senyuman yang sama.
Perlahan mobil meninggalkan kediaman Pak Trimo dan Bik Mina. Posisi duduk berubah karena mereka ingin lebih nyaman akibat kekenyangan.
Luki memilih duduk paling belakang, di baris tengah ada Theo dan Boni , Erwin tetap di sebelah sopir dan di baris pertama, Cilla hanya berdua dengan Arjuna.
Baru 15 menit mobil meninggalkan rumah Pak Trimo, suara dengkuran halus mulai terdengar bersahutan seperti konser dari kelima pria itu. Hanya Kirana dan sopir yang masih terjaga.
Jalanan sedikit macet, karena aktivitas kantor tetap berjalan seperti biasa ditambah lagi bertambahnya jumlah wisatawan lokal yang sedang berlibur di Semarang dan sekitarnya. Jam 6.20 mobil memasuki hotel di jalan Pandanaran. Cilla sengaja memilih lokasi hotel yang dekat dengan Simpang Lima.
“Mau keluar makan lagi atau bagaimana, Om ?” Tanya Cilla setelah selesai dengan urusan check-in di front desk.
Kelima pris itu duduk menunggu di sofs selama Cilla mengurus pesanan kamar mereka.
“Capek dan masih kenyang, Cil. Apa bisa pesan antar ke hotel aja ?” Boni dengan wajah leceknya terlihat sudah nyaman di sofa.
“Bisa. Om pada mau makan apa ? Nanti Cilla aturin.”
“Suka-suka kamu deh, Cil. Kita percaya sama selera kamu.” Sahut Erwin.
“Kalau begitu Om bisa langsung masuk kamar. Cilla minta connecting room biar lebih gampang.” Cilla menyerahkan dua key holder pada Theo dan Boni yang berdiri di dekatnya.
Kelima pria itu mengikuti Cilla masuk lift menuju lantai 9. Wajah-wajah ingin segera mandi dan merebahkan badan di tempat tidur.
“Om nggak ada yang merokok, kan ?”
Erwin dan Luki angkat tangan sebagai tanda kalau mereka adalah perokok meski tidak harus.
“Maaf kalau Cilla pesan kamar bebas rokok, biar kita bisa satu lantai.”
“Nggak masalah Cil, kita nggak setiap kali harus merokok, kok,” ujar Erwin.
Lift pun sudah sampai di lantai 9. Cilla melihat petunjuk nomor kamar yang ada di kiri dan kanan setelah keluar pintu lift.
“Selamat istirahat om semua dan Pak Arjuna,” Cilla mengangkat tangannya. “Kamar Cilla di sisi kanan, kalau om di sisi kiri.”
Mereka mengangguk dan melambai pada Cilla yang menarik kopernya ke arah yang berlawanan.
Cilla baru saja kembali dari minimarket saat matanya menangkap sosok Arjuna berdiri di luar lobby hotel sambil memegang handphone.
Bisa dipastikan kalau calon gurunya itu sedang berbincang dengan seseorang.
Pikirannya ingin menjauh dan masa bodoh dengan urusan Arjuna, tapi kenapa hati dan kakinya tidak sinkron ? Melihat gerakan tubuh Arjuna yang terlihat sedang kesal dan emosi, membuat kaki Cilla malah melipir ke arah tembok dekat dengan posisi Arjuna berdiri. Ini yang kedua kalinya, Cilla mencuri dengar percakapan Arjuna.
Tapi tidak lama percakapan itu terputus, bahkan sebelum Cilla mendengar jelas apa yang diperbincangkan.
Akhirnya Cilla meneruskan langkahnya menaiki tangga menuju lobby. Tanpa diduga, ternyata Arjuna masih berdiri di ujung tangga. Cilla terkejut saat melihat Arjuna menatapnya dengan sorot mata penuh amarah.
“Kamu dari mana ?” Tanya Arjuna dengan nada galak.
Cilla terpaku dan bingung mau jawab apa. Tidak mungkin terus terang kalau tadi ia mencuri dengar percakapan Arjuna meski akhirnya gagal.
“Ngapain malam-malam belanja ?” Arjuna melirik tas kain yang ada di tangan Cilla.
Cilla tersenyum, kenapa harus bingung menjawab Arjuna. Memang betul kalau ia habis dari minimarket dekat situ.
“Eh.. ngg… habis beli roti, Pak,” jawab Cilla gugup.
“Bagi, saya lapar banget,” Arjuna langsung menyambar tas kain yang dibawa Cilla sebelum ia sempat melarangnya.
Arjuna langsung melotot saat melihat isi dari tas kain itu, yang tidak lain adalah “roti” khusus wanita itu. Arjuna menyodorkan kembali tas kain kepada Cilla.
Wajahnya tambah lecek karena cemberut. Pasti karena kesal masalah telepon dan perut lapar.
“Bapak beneran lapar ? Mau saya temani makan ?” Dengan hati deg degan, Cilla mencoba menawarkan niat baiknya.
“Memangnya ada makanan enak dekat sini ?”
Cilla mengangguk dan menunjuk ke arah kiri hotel.
“Di Simpang Lima banyak kaki lima yang cukup terkenal di kalangan orang Semarang. Nggak jauh kalau jalan kaki.”
“Saya ambil dompet dulu,” Arjuna sudah bersiap masuk hotel kembali untuk mengambil dompetnya.
“Nggak usah, Pak,” reflek Cilla menahan lengan Arjuna. “Saya traktir malam ini. Bayarnya nanti kalau pas di Jakarta aja.”
Arjuna mengangguk. Mereka pun berjalan keluar hotel, menyusuri trotoar menuju Simpang Lima.
“Pacar Bapak bikin kesal lagi ?”
Arjuna menoleh dan menatap Cilla sambil mengernyit. Kaki mereka terus melangkah perlahan.
“Kamu nguping ?” Cilla menggeleng.
“Muka cowok yang habis terima telepon langsung kusut kayak Bapak, biasanya karena kesal masalah pekerjaan atau pacar. Sekolah lagi libur, jadi saya tebak masalah pacar.”
“Sok tahu,” Arjuna mencebik.
“Kalau tebakan saya benar, Bapak harus ganti traktiran saya malam ini jadi dua kali lipat. Kalau salah, saya kasih free dan Bapak boleh makan sepuasnya.”
Arjuna mndengus kesal dan tersemyum miring.
“Gayanya anak pemilik sekolah,” ledek Arjuna.
“Tante Luna kenapa lagi ?” Tidak peduli dengan ledekan Arjuna, Cilla malah langsung bertanya ke pelaku utama.
Arjuna terdiam, pikirannya memang sedang berantakan gara-gara habis adu mulut dengan Luna.
“Pak Arjuna, saya ini teman yang menyenangkan buat curhat, loh. Bapak aja yang suka nethink sama saya, jadi pikirannya selalu jelek tentang saya.”
Mereka sudah sampai di Simpang Lima. Arjuna menoleh menatap Cilla.
“Kita kemana ?”
“Ada makanan enak di depan sana,” Cilla menunjuk ke arah depan.
Arjuna langsung menggandeng tangan Cilla dan menuntunnya menyeberang jalan. Lalu lintas di sekitar Simpang Lima memang tidak pernah tidur, maklum tempat ini sering menjadi tujuan wisata kuliner malam dan pusat keramaian kota Semarang.
Tangan Arjuna tetap menggandeng Cilla sambil bertanya tempat tujuan mereka. Cilla jadi panas dingin dibuatnya.
“Bapak nggak lupa kan ?”
Arjuna menoleh sambil mengangkat alisnya sebelah. Tatapannya mengikuti gerakan mata Cilla yang malah melihat ke bawah.
“Sorry,” Arjuna segera melepaskan genggamannya.
“Nggak apa-apa, Pak. Saya senang berasa ada yang peduli dan perhatian,” Cilla terkekeh. ”Selama ini saya lebih banyak menghabiskan waktu liburan sendiri soalnya Febi dan Lili pergi dengan orangtua mereka.”
Ada nada sedih di akhir kalimat Cilla. Arjuna tersenyum. Ia pun jadi teringat pada Amanda. Adik satu-satunya itu biasa sudah merengek mengajak orangtua mereka pergi berlibur saat kenaikan kelas.
“Memangnya Pak Darmawan tidak pernah mengajak kamu liburan ?”
Cilla menggeleng. “Sejak mami meninggal, papi sibuk dengan penyesalannya dan pekerjaannya. Pernah saya diajak liburan ke Jepang saat kelas 8. Sampai di sana, saya malah dititipkan di rumah teman papi yang tinggal di Jepang dan diajak liburan bersama mereka.”
“Terus kamu ngapain kalau liburan ?”
“Biasa diajak Pak Trimo sama Bik Mina jalan-jalan seputar Jawa, dan paling sering ke Semarang karena sekalian mereka pulang kampung menengok anak. Tapi sejak saya SMA dan Pak Trimo pensiun, saya hanya menghabiskan liburan di Jakarta. Kerja di PRJ, Pak.”
“Hah ? Kerja di PRJ ? Memangnya kamu masih kekurangan uang ?”
Cilla tertawa dan menggeleng. “Daripada gabut di rumah, Pak. Lagipula kalau lama sendirian jadi kesepian dan kalau kesepian, pikiran jadi lari kemana-mana. Makanya saya selalu cari kesibukan.”
Arjuna mengangguk-anggukan kepalanya. Saat ngobrol dengan Cilla meski penuh dengan persebatan, Arjuna selalu menemukan hal baru yang membuatnya tanpa sadar berdecak kagum.
“Ke sana, Pak.” Cilla menunjuk ke arah warung tenda yang ada di seberang jalan.
Lagi-lagi Arjuna menggandeng tangan Cilla dan menjaganya hingga aman sampai di seberang.
Mereka masuk tenda yang menawarkan nasi gandul. Arjuna sendiri baru mengenal jenis makanan ini, namun ia menurut karena perutnya sudah lapar. Apalagi ia termasuk orang yang mau mencoba makanan apapun asal layak untuk dimakan.
“Sebetulnya nasi gandul ini bukan makanan khas Semarang tapi aslinya dari Pati. Tapi mungkin karena masih sama-sama Jawa Tengah, makanan ini termasuk yang favorit di Semarang.” Cilla menjelaskan makanan yang baru saja diantarkan ke meja mereka.
Arjuna menikmati pesanan mereka. Sesekali Cilla tertawa melihat cara makan Arjuna yang terburu-buru. Ada sedikit rasa bahagia di hatinya, karena bisa duduk dan ngobrol dengan Arjuna tanpa perdebatan seperti biasanya.
“Kalau kita berlima nggak ikut sama kamu, berarti kamu liburan sendiri di sini ?” Tanya Arjuna yang baru saja menghabiskan porsi keduanya.
“Iya Pak, kan hanya 2 malam. Di rumah sepi, karena Bik Mina, ibu sekaligus teman bicara saya, pulang kampung sampai dua minggu ke depan. Ada Mbak Imah dan Mbak Wati, Bang Dirman dan Bang Toga, tapi berbeda dengan Bik Mina.”
Cilla mengambil tissue dan membantu melap wajah Arjuna yang berkeringat. Pria itu sempat terdiam dan yakin kalau apa yang Cilla lakukan hanya bentuk perhatian biasa, sama seperti perhatian Amanda kepadanya.
“Eh maaf, Pak,” Cilla segera menarik tangannya saat Arjuna hanya diam saja dan sadar kalau tangannya ada di wajah Arjuna.
“Maaf Pak, maaf. Saya tidak punya maksud apa-apa. Jangan nethink sama saya,” Cilla tertawa kikuk.
Gadis itu menoleh ke arah lain karena malu, tapi Arjuna sempat menangkap ada cairan bening yang tertahan di matanya-
Arjuna jadi teringat malam dimana Cilla begitu marah saat ia bilang kalau Cilla itu anak nakal karena masih keluyuran malam-malam. Arjuna kembali melihat ada luka yang sama malam ini di dalam tatapan Cilla.
dan cewek pake emosi 75 dan logika 25 %
lha ini malah kebalikan si juna malah yg dewasanya cila
taek jg ni cowok
emang enak..rasain tuh 😂