Maya dan Leo menikah di usia yang masih belia. Persoalan rumah tangga terasa sulit dihadapi karena belum matangnya usia mereka. Hingga perceraian tak mampu mereka hindari. Kini mereka bertemu kembali. Mampukah benih-benih cinta mempersatukan mereka lagi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dijenguk Duo Julid
"May.... May.... Keluar May. Makan dulu." teriak Ibu dari bawah.
Aku tak mengindahkan. Aku hanya berdiri menatap ke luar jendela. Menikmati angin menerpa wajahku dan mataku yang segar melihat pemandangan hijau di depan.
Rumah Bapak memang dikelilingi oleh perkebunan miliknya. Banyak warga desa yang bekerja di perkebunan milik Bapak. Sejauh mata memandang semuanya adalah tanah milik Bapak.
Sebagian besar tanah dimanfaatkan untuk lahan pertanian, sisanya digunakan untuk perkebunan. Aku suka memandangi keindahan pemandangan sekitar rumah. Semua hasil kerja keras Bapak.
Sebelum mengenal Leo, aku bercita-cita untuk memajukan pertanian dan perkebunan milik Bapak. Karena itu aku memilih jurusan ekonomi agar bisa memasarkan hasil pertanian ke sektor yang lebih luas lagi.
Cita-cita kini hanya tinggal cita-cita. Hanya karena terjerat cinta sesaat aku kehilangan semuanya. Kehilangan bangku kuliah, kehilangan anak dam secepatnya akan kehilangan suami.
Jika ada titik terendah dalam hidupku, mungkin inilah saatnya. Aku berada di titik terbawah dalam hidup, ingin mati tapi aku takut. Aku takut aku akan bertemu Adam dan Adam akan malu memiliki Mama yang pengecut dan menyerah dengan hidupnya.
Mau bangkit tapi tidak ada motivasi. Untuk apa? Toh Bapak sudah punya Kak Anton yang jago mengolah perkebunanya. Bisa makin iri Kak Anton kalau aku berusaha mengurusi perkebunan Bapak lagi.
Jadilah aku seperti ini sekarang. Hidup segan matipun aku tak bisa. Sebuah ketukan di pintu menyadarkanku dari lamunan.
Tok....tok....tok....
"May, Ibu boleh masuk?" tanya Ibu dari luar pintu.
Aku mengalihkan perhatianku dari jendela. "Masuklah, Bu." kataku memberi ijin.
Ibu lalu membuka pintu dan berjalan menghampiriku. Ia datang dan mengusap rambutku dengan penuh kelembutan. Dirapihkannya anak rambutku yang tak beraturan.
"Makan dulu yuk May. Jangan melamun terus. Tidak baik." nasehat Ibu dengan lembut dan penuh cinta.
"Maya masih kenyang, Bu." tolakku untuk kesekian kalinya.
Ibu sedih melihatku begitu hancur. Aku bagai cangkang kosong yang tak ada isinya. Hanya raga tanpa jiwa.
"Kamu bilang kalau kamu kenyang terus padahal kamu belum makan sejak kemarin, May. Nanti kamu sakit. Kamu kan lagi masa pemulihan. Ayo dong makan May. Ibu sedih ngeliat kamu kayak gini." kata Ibu sambil berlinang air mata.
Wajah Ibu terlihat lebih tua dari usianya. Ibu terlalu banyak memikirkanku jadi keriput di wajahnya makin bertambah.
Aku menatap Ibu dan mengusap lembut wajahnya. Wajah pertama yang kulihat saat aku hadir di dunia ini. Wanita yang selalu melindungi dan membelaku dalam setiap masalah yang kuhadapi.
Tak bisa diungkapkan betapa besarnya masalah yang aku berikan pada Ibu. Kuhapus air mata yang mengalir di wajahnya yang mulai keriput.
"Maafin Maya ya Bu. Maya udah jadi anak yang durhaka pada Ibu dan Bapak. Ibu seharusnya tidak usah perdulikan Maya lagi. Maya enggak layak dapat perhatian dari Ibu." kataku penuh penyesalan.
"Jangan bilang begitu May. Maya itu anak Ibu. Mau Maya kayak gimana juga tetap saja Ibu yang salah. Ibu yang tidak pintar mendidik Maya. Sekarang Maya tidak boleh terus menyesali keadaan. Maya harus bangkit. Maya harus tunjukkan sama Ibu kalau Maya adalah anak didikan Ibu yang hebat. Maya mau kan?" kata-kata Ibu sungguh menyemangatiku. Memotivasiku untuk bangkit.
"Maya akan buktikan sama Ibu kalau Maya anak hasil didikan Ibu yang berhasil. Ibu enggak akan menyesal punya anak seperti Maya." kataku penuh semangat.
"Nah gitu dong. Ayo sekarang turun. Kita sarapan bareng." Ibu lalu menggandeng tanganku dan mengajakku turun.
Senyum di wajah Ibu sudah mulai terukir. Aku merasa senang hanya dengan melihat senyum Ibu.
Di meja makan sudah ada Bapak, Kak Anton dan istrinya Anne. Bapak melihatku turun bersama Ibu.
"Nah gitu dong May. Turun dan makan bareng. Ibu kamu sampai ikut enggak nafsu makan loh kepikiran kamu terus." kata Bapak menyambut kedatanganku.
Aku lalu duduk di kursi samping Ibu. Berhadapan langsung dengan Kak Anne.
"Hi May. Gimana keadaan kamu? Aku mau nyapa kamu tapi kamu enggak keluar-keluar kamar." sapa Kak Anne menantu pertama di keluargaku.
Aku tidak begitu dekat dengan Kak Anne. Menurutku Ia sama seperti Kak Anton, terlalu ambisius. Aku tidak suka.
"Udah baikkan, Ka. Makasih." jawabku.
Ibu mengambilkan nasi dan menyendokkan lauk ke piringku.
"Nasinya dikit aja, Bu. Masih kebanyakan." protesku.
"Banyak apa sih May? Ini mah dikit. Makan yang banyak biar sehat." omel Ibu.
Aku malas berdebat. Aku biarkan saja Ibu berbuat semaunya toh nanti tidak akan kumakan.
Ibu memasakkan pepes ikan mas kesukaanku. Ada telur ikannya juga yang dimasak dengan daun kemangi. Wangi dan enak banget rasanya.
Aku memakan masakan Ibu. Makanan yang hampir 4 bulan ini amat aku rindukan. Tanpa kusadari aku makan dengan lahap dan menghabiskan makanan yang Ibu sendokkan.
"Nah gitu dong. Nambah lagi ya May?" kata Ibu senang melihatku begitu lahap makan.
"Enggak usah, Bu. Udah banyak banget Maya makan. Sekarang udah kenyang. Maya balik ke kamar lagi ya." aku lalu pamit dan meninggalkan meja makan duluan.
Sampai di dalam kamar aku langsung menuju kamar mandi karena mual. Aku memuntahkan kembali apa yang kumakan. Aku terduduk lemas. Bagaimana mungkin aku bisa makan sementara perasaan bersalah masih menderaku?
Aku lalu beranjak ke tempat tidur. Aku memutuskan untuk kembali tidur. Berharap saat aku bangun semua akan kembali normal.
******
Suara panggilan Ibu kembali membangunkanku.
"May... Maya... " Ibu menggoyangkan kakiku pelan.
"Mmm... Kenapa Bu?" tanyaku lagi. Mungkin pengaruh obat jadi aku bawaanya mau tidur terus.
"Ada teman kamu dibawah." jawab Ibu.
"Teman? Adel?" tanyaku lagi. Memang Adel yang pernah ke rumahku beberapa kali.
"Bukan. Ini cowok ganteng sama Ibunya."
Aku bangun dan duduk di tempat tidur. Aku mengernyitkan kening. "Cowok dan Ibunya? Siapa ya?"
"Udah sana temui. Cuci muka kamu dulu. Enggak enak keluar acak-acakan begitu muka kamu." omel Ibu.
"Iya." aku lalu mencuci muka dan menyisir agar terlihat lebih segar. Aku cepol rambutku keatas. Dandanan santai seperti di drakor.
Aku sudah mandi tadi pagi. Aku hanya memakai kaus dan hot pant. Malas untuk ganti baju lagi.
Aku lalu turun dan menuju ruang tamu. Aku tidak percaya dengan siapa yang datang.
"Angga? Bu Sri? Bu Jojo?" mataku berbinar senang melihat teman-teman dikala aku susah.
Aku menghampiri Bu Sri dan Bu Jojo lalu memeluk mereka berdua. Aku kangen sama mereka.
"Maya kangen." kataku sampai meneteskan air mata.
"Kita berdua juga kangen sama kamu, May." jawab Bu Sri sambil sesegukan.
"Saya juga May." Aku memeluk mereka makin erat dan kami menangis bareng.
Angga hanya melihat temu kangen kami sambil tersenyum. Ia tahu betapa dekatnya aku dengan Duo Julid ini.
Ibu yang datang membawa minuman untuk para tamuku merasa bingung melihatku sedekat ini. Dengan ibu-ibu pula. Biasanya temanku kan anak mahasiswa seumuran tapi malah aku berteman dengan ibu-ibu.
"Bu kenalin ini teman-teman Maya di kontrakkan. Ini Bu Sri." aku menggandeng Bu Sri dan mengenalkan pada Ibu.
Ibu balik membalas urulan tangan Bu Sri.
"Ini Bu Jojo." aku juga merangkulkan tanganku yang satu lagi di lengan Bu Jojo.
Ibu juga menyalami Bu Jojo.
"Dan itu Angga. Ibu pasti udah kenal kan? Angga dan dua ibu-ibu ini yang udah bawa Maya ke Rumah Sakit, Bu." kataku menjelaskan.
Angga menyalami Ibu dan tersenyum penuh hormat.
"Wah ternyata ini semuanya teman Maya toh. Kirian saya tadi teman Maya dan Ibunya. He..he...he... Maaf ya. Saya tidak tahu." kata Ibu merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa, Bu. Kita ngerti kok. Kami temenan sama Maya. Maya udah kami anggap kayak adik kami. Dan kami turut sedih dengan apa yang menimpa Maya." kata Bu Jojo dengan bijak.
"Saya mau ngucapin terima kasih kepada teman-temannya Maya yang udah dukung Maya. Maya memang masih manja karena Ia anak perempuan satu-satunya. Tapi Maya sekarang lebih dewasa. Semua pasti tak lepas dari dukungan kalian. Saya senang Maya berteman dengan teman yang tepat." puji Ibu. Duo Julid langsung berbangga hati mendengarnya.
"Ayo silahkan dinikmati makanan dan minumannya. Santai saja. Anggap rumah sendiri ya." Ibu lalu meninggalkan kami.
"May, jadi gimana? Kamu beneran akan bercerai dengan Leo?" tanya Bu Sri tak sabaran.
Aku mengangguk. "Iya. Maya udah mutusin akan menuntut cerai Leo."
Angga hanya memperhatikan dan menyimak pembicaraanku dengan Duo Julid. Dengan mendengarkan pembicaraan kami Ia bisa tahu apa yang sudah terjadi dengan hidupku tanpa harus bertanya lagi.
"Kasihan banget nasib kamu, May. Kayaknya baru kemarin kita ngupasin bawang bareng, makan bakso bareng, ngeliwet bareng eh kamu malah ngalamin kejadian kayak gini. Banyak sabar ya May. Kamu harus kuat." kata Bu Jojo menyemangati.
"Betul itu May. Saya lihat kamu sekarang kurus banget. Kamu harus punya semangat hidup. Kamu masih muda May. Jangan sia-siain hidup kamu yang berharga hanya dengan terus bersedih dan meratapi nasib. Nanti anak kamu akan sedih melihat kamu kayak gitu." kata-kata Bu Sri benar-benar nyangkut di otakku.
"Iya, Bu. Maya akan memulai hidup Maya yang baru lagi. Maya mau melanjutkan kuliah dan mau bekerja di perusahaan besar nantinya."
"Nah gitu dong. Eh tapi ngapain kamu kerja segala? Orang tua kamu kaya raya begini mah kamu tinggal uncang-uncang kaki aja nunggu duit dateng." ujar Bu Jojo.
"Iya May. Saya enggak nyangka loh. Padahal dulu di kontrakkan kamu tuh memelas banget. Sosis aja pake ngembat punya anak kecil. Ternyata kamu anak petani kaya. Tau gitu saya minta oleh-oleh sayuran aja deh lumayan buat hemat uang belanja." kata Bu Sri seperti biasanya tidak tahu malu.
Aku tersenyum mendengar sifat lama Bu Sri kumat. Sifat celamitan dan suka malu-maluin. Tapi tak apa-apa. Aku suka. Hal ini lucu buatku.
"Tenang aja. Ibu mau apa? Ayo kita ke kebun. Nanti Ibu mau apa tinggal tunjuk saja." ajakku.
"Beneran May? Wah saya jadi enak nih." kata Bu Sri malu-malu.
"Bener. Ayo diminum dulu baru kita jalan-jalan ke kebun ya."
"Siap!" Bu Jojo dan Bu Sri lalu mencicipi hidangan yang disuguhkan.
"Sebentar ya Maya ijin sama Ibu dulu. Takut Ibu nyariin." aku lalu ke dapur tempat Ibu sedang memasak untuk menu makan siang kami nanti.
"Bu, Maya mau ke kebun dulu ya." pamitku.
"Mau ngapain? Kamu kan baru enakkan." tanya Ibu khawatir.
"Mau bawain oleh-oleh buat temen-temen Maya. Maya enggak pergi sendiri kok, Bu. Teman-teman Maya semuanya ikut. Sekalian Maya cuci mata biar enggak bosen di kamar terus."
"Ya sudah. Pergi sana. Tapi ingat ya jangan memaksakan diri. Kalau pusing langsung pulang." kata Ibu memberi ijin.
"Siap, Bu." Aku tersenyum senang dan kembali lagi ke ruang tamu.
"Ayo. Ibu udah kasih ijin."
"Yeyyy." sambut Bu Jojo dan Bu Sri gembira.
*****
"Jadi kamu bakalan kuliah lagi May? Dimana?" tanya Angga yang sedang berjalan disampingku. Kami memperhatikan Duo Julid sedang memilih-milih sayuran dan buah yang akan mereka bawa pulang.
"Belum tau. Belum ada rencana." jawabku jujur.
"Mau sampai kapan menunda kuliah kamu? Kamu sudah cuti 6 bulan. Jangan sampai cuti 6 bulan lagi. Mau lulus umur berapa?"
Pertanyaan Angga benar-benar perlu aku pertimbangkan. Ia benar. Aku harus secepatnya kuliah. Aku harus cepat lulus.
"Benar juga sih apa yang kamu bilang, Ga. Aku mau secepatnya kuliah lagi. Cuma belum tau dimana?" tanyaku bingung.
"Bagaimana kalau di Bandung saja? Kebetulan aku mau buka cabang di Bandung. Aku temani kamu disana. Setidaknya kamu enggak sendirian disana. Aku juga sama, kalau ada kamu maka aku ada temannya juga. Gimana?"
"Boleh juga sih ide kamu. Aku akan coba bilang sama Bapak. Kalau Bapak mengijinkan aku akan mengabari kamu lagi." ide Angga benar-benar masuk akal dan membuatku tergoda.
"Nah gitu dong. Maya yang aku kenal tuh optimis dan pantang menyerah. Ayo semangat!"
"Semangat!" teriakku.
Duo Julid yang sedang panen wortel sampai kaget mendengar teriakanku.
"Kalian lagi ngapain sih? Lagi demo?" tanya Bu Sri.
"Iya nih. Teriak-teriakan aja. Nanti kesambet loh!" omel Bu Jojo.
Aku dan Angga saling berpandangan dan tertawa bersama. Tawa yang sempat hilang dari wajahku.
Aku bertekad akan memulai hidupku lagi. Aku meminta ijin pada Bapak untuk melanjutkan kuliahku di Bandung. Awalnya Bapak keberatan namun melihat semangat hidupku yang mulai tumbuh Ia pun tak tega menghancurkannya.
Bapak pun memberikan ijinnya. Aku lalu bersiap-siap untuk tinggal di Bandung. Ibu membantuku mengemas barang-barang.
Ibu sedih karena aku mau pergi lagi, tapi Ia lebih sedih kalau aku terus termenung meratapi kemalanganku. Ia senang Angga berhasil membuat semangatku hadir kembali.
Dengan diantar oleh Bapak dan Kak Anton, aku pun mencari tempat kost baru. Kali ini tempat kost khusus putri yang penjagaannya ketat. Kehidupan baruku di kampus baru pun dimulai.