Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 31.
Sejak malam itu, ketika sebagian hatinya diserahkan kepada Kodasih, Suryo berubah. Atau lebih tepatnya.. mulai retak dari dalam.
Di kantor, para staf mulai melihat keanehan. Suryo sering menatap kosong selama beberapa menit. Kadang berdiri terlalu lama di depan jendela, mengamati jalanan tanpa berkedip. Kadang tertawa pelan tanpa sebab.
“Pak Suryo benar benar mabok cinta dengan Nyi Dasih.” Bisik staf yang mendapat cerita dari sopir dan asisten pribadi Suryo
Dan yang paling mengerikan:
Pupil matanya kadang mengecil sampai hampir hilang, seperti mata seseorang yang sedang tersedot oleh kegelapan.
Namun bagi Suryo , perubahan itu justru terasa menyejukkan... membuat hatinya begitu damai..
Ia merasa ringan tanpa beban permasalahan, merasa selalu dekat dengan Kodasih, seperti ada suara lembut yang terus membimbingnya.
“Tresnamu dadi dalanmu…”
(Cintamu menjadi jalanmu…)
“Lan dalanmu kudu majua menyang peteng.”
(Dan jalanmu harus melangkah menuju gelap.)
Bisikan itu terus muncul dalam setiap pikiran nya.
Pada suatu malam selasa kliwon, Kodasih memanggil Suryo untuk datang ke rumah tua itu lagi.
Rumah itu kini lebih gelap daripada sebelumnya, seolah sebagian dinding telah menjadi abu setelah terbakar bayangan.
Suryo masuk tanpa mengetuk pintu. Ia langsung membuka pintu kayu tua yang tidak dikunci.. Suara pintu berderit..
Aroma bunga kantil dan dupa kemenyan menyeruak tajam saat pintu terbuka. Namun yang tercium di hidung Suryo aroma tubuh muda Kodasih yang memabukkannya..
Dan kedua mata nya melihat Kodasih berdiri dengan anggun di tengah ruangan, memunggunginya.
Rambut hitam legamnya tergerai, namun bayangannya menjulur panjang menyentuh langit langit.
“Kodasih,” panggil Suryo dengan suara yang penuh rindu.
“Kau sudah menunggu aku Dasih.. Aku sudah tidak sabar untuk memelukmu Dasih..” ucap Suryo lagi sambil mempercepat langkah kaki nya.
Kodasih menoleh perlahan.
Wajahnya cantik seperti biasa, tapi matanya kosong… layaknya dua kolam hitam tanpa dasar.
“Waktumu wis teka.”
(Waktumu sudah tiba.)
Suryo menelan ludah. “Waktu untuk apa?”
Kodasih mendekat dengan langkah ringan, nyaris tidak menyentuh tanah.
“Kowe wis maringi atimu…”
(Kau sudah memberiku hatimu…)
“…saiki giliran aku kanggo maringi awakmu marang peteng.”
(…sekarang giliran aku memberikan tubuhmu kepada kegelapan.)
Suryo tidak melawan. Ia merasakan dadanya berdegup cepat, bukan karena takut, tapi karena… ia ingin ini. Ingin berada lebih dekat dengan Kodasih.
Ingin menjadi bagian dari dirinya.
Suryo tersenyum dan terus melangkah mendekati Kodasih. Ia peluk erat tubuh muda Kodasih untuk melepas rindu..
Pelukan itu terasa aneh. Tubuh Kodasih hangat di permukaan, namun dari dalamnya merembes hawa dingin seperti kabut dari liang kubur. Suryo meremasnya lebih erat, seolah takut Kodasih menghilang bila ia melepas.
Namun justru sebaliknya, keringat dingin merayapi tulang punggungnya ketika tangan Kodasih perlahan melingkari pinggangnya. Sentuhannya lembut, tetapi jari jarinya terlalu panjang, seakan merayap sampai ke tulang.
“Nganti kapan kowe mikir iso lepas saka aku?” bisiknya lembut dekat sekali di telinga Suryo.
(Sampai kapan kau pikir bisa lepas dariku?)
Suryo memejamkan mata, dan semakin memeluk erat tubuh Kodasih “Aku… ora pengin lepas.”
(Aku… tidak ingin lepas.)
Kodasih tersenyum. Suryo tidak melihatnya, namun ia merasakan gerakan halus bibir itu di kulit lehernya, dan hawa gelap yang menyertainya. Ruangan bergetar pelan. Dupa yang menyala tiba tiba padam sendiri, seakan cahaya takut mendekat.
Dari sudut ruangan, bayangan Kodasih memanjang, merayap seperti tangan raksasa yang hendak menelan mereka berdua. Lantai berderit, bukan oleh langkah manusia, tetapi oleh sesuatu yang bergerak tepat di bawah permukaannya.
“Kowe tresna karo aku?”
(Kau mencintaiku?)
Suryo membuka mata. “Ya. Tanpa syarat.”
Kodasih mengangkat wajahnya. Untuk sesaat, keindahan lamanya muncul.. mata bulat, bibir merah, kulit bening. Namun keindahan itu retak seperti kaca, berganti dengan semburat hitam yang berputar di dalam irisnya.
“Yen ngono… jiwamu kudu dadi sesanti kanggo awakku.”
(Jika begitu… jiwamu harus menjadi cahaya bagi tubuhku.)
Ia menempelkan dahinya ke dada Suryo. Seketika Suryo merasa napasnya tersedot, bukan keluar dari paru paru, tetapi keluar dari sesuatu yang lebih dalam. Tubuhnya melemas, namun rasa pasrah itu manis.. seperti menyerahkan diri pada pelukan yang tak akan pernah melepaskan.
Bayangan di langit langit turun perlahan, mengitari mereka.
“Suryo…” bisik Kodasih, suaranya berubah dua lapis.... lembut sekaligus purba.
“Saiki kowe dadi bagian saka aku.”
(Sekarang kau menjadi bagian dariku.)
Suryo tersenyum manis dan menatap mata hitam tanpa dasar itu. Senyumnya tetap lembut.
“Aku sudah siap, Dasih… ambillah aku.” Suara berat Suryo sambil memeluk tubuh muda Kodasih..
Dan pada malam Selasa Kliwon itu, di rumah tua itu mereka berdua memadu cinta dalam gelap..
🌑🌑🌑🌑
Setelah mereka berdua puas melepas rindu. Kodasih menuntunnya duduk di lantai.
Di sekeliling mereka, lilin lilin hitam menyala dengan api berwarna biru. Bayangan di dinding bergerak sendiri, seperti makhluk tanpa bentuk.
Kodasih mengangkat tangan. Bayangan di belakangnya membesar, mengembangkan “sayapnya”.
“Suryo …” suara Kodasih berubah lebih dalam, lebih berat.
“Apa kowe siap dadi wong sing ora dadi manungsa maneh?”
(Apakah kau siap menjadi seseorang yang bukan manusia lagi?)
Suryo mengangguk tanpa ragu.
“Aku siap jadi apa pun .. Untukmu Dasih..”
Kodasih tersenyum puas.
Ia menyentuh dada Suryo begitu lembut .. dengan telapak tangan yang dingin.
Bayangan hitam menetes dari jari jarinya seperti cairan pekat, merayap ke kulit Suryo.
Cairan itu masuk melalui pori pori, merayap ke jantungnya.
Suryo menjerit .. jeritan tertahan, seperti suara seseorang yang tenggelam dalam air.
Tubuhnya mulai menegang, tulangnya berderak. Matanya membelalak, pupilnya pecah menjadi serpihan hitam kecil.
Kodasih berbisik: “Nglarasi jiwamu… nganti mung peteng sing isih kari.”
(Menyesuaikan jiwamu… sampai hanya gelap yang tersisa.)
Bayangannya masuk lebih dalam.
Tiba-tiba Suryo merasakan sesuatu yang sangat panas… lalu sangat dingin… lalu kosong....
Kosong sekali. Seperti sebagian besar dirinya jatuh ke jurang dan tidak kembali. Kepalanya terkulai. Napasnya terputus putus.
Namun Kodasih menahan dagunya, memaksanya menatap.
“Ayo Suryo … ojo turu.”
(Ayo Mahendra… jangan tidur.)
“Iki dudu pati.”
(Ini bukan mati.)
“Iki lairmu maneh.”
(Ini kelahiranmu kembali.)
Tubuh Suryo bergetar keras.
Lalu… bayangan dari lantai naik perlahan, seperti kabut hitam yang ingin memeluknya.
Kabut itu menyelimuti tubuh Suryo dari kaki hingga kepala. LALU..Ia menghilang di dalamnya.
Hening.
Tak ada nafas.
Tak ada suara.
Kodasih berdiri diam, menunggu.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Duapuluh detik...
.....