“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Amelia berpikir sejenak dan mengingat apa yang diperintahkan kepadanya semalam.
“OMG! Bukannya sup iga itu khusus dimasak oleh chef Arman khusus untuk keluarga besar Nyonya Besar Hilda dan anak-anaknya, tapi malah jatuhnya di tangannya Melati dan Jannah dan akhirnya akibatnya seperti ini,” batinnya Amelia.
Amelia mulai was-was dan ketakutan jika apa yang terjadi sebenarnya diketahui oleh bosnya dan mengambil kembali bayaran atas kerjaannya memasukkan obat tradisional ramuan cinta dari sang dukun yang diminta oleh Inara untuk membuat semua orang menerimanya sebagai calon istrinya Tuan Muda Ardhanza.
“Aku nggak boleh ketahuan sama Nona Muda Inara kalau apa yang diperintahkan kepadaku salah sasaran dan berakhir seperti ini. Tapi, ngomong-ngomong kalau itu ramuan cinta kenapa semua orang malah jatuh sakit muntaber?” Batinnya mulai berkecamuk di dalam kepalanya.
Amelia tidak mungkin mengakui kesalahannya karena hal itu bisa membuat Inara murka dan mengambil kembali semua uang yang sudah dikeluarkan oleh Inara untuk melancarkan rencananya.
“Masa bodoh, yang paling penting nggak ada orang yang tau kalau aku bekerjasama dengan nona Inara untuk memasukkan obat ramuan cinta tersebut dan masalah akibatnya banyak korban yang jatuh itu bukan urusanku dan bukan kesalahanku,” cicitnya kemudian meninggalkan ruangan khusus pelayan tersebut.
Sedangkan Citra masih asyik menyusui bayi-bayi kembar milik majikannya itu, tanpa sedikit pun mengetahui apa yang sedang terjadi di luar sana.
Dengan penuh kelembutan, Citra menggendong Jaylani lebih dulu.
Disapukannya punggung mungil bayi laki-laki itu sebelum mendekatkannya ke tubuhnya.
Sentuhan kecil tangan sang bayi pada seragamnya membuat Citra merasakan kehangatan yang hanya dirasakan seorang ibu meskipun ia tahu bayi ini bukan darah dagingnya.
Setelah Jaylani tertidur dengan napas teratur, Citra berpindah ke adiknya, Jianira. Jemari mungil bayi perempuan itu menggenggam ujung bajunya, seolah mencari rasa aman.
“Tidur yang nyenyak ya, Nak semoga kalian tumbuh jadi anak baik dan selalu dilindungi Allah,” bisik Citra pelan, suaranya bergetar oleh perasaan sayang yang ia sendiri tak pernah rencanakan.
Namun tanpa disadarinya, ada seseorang berdiri di ambang pintu terpaku melihatnya.
Tatapan itu membelalak, kelopak mata terbuka lebar, napasnya seakan tercekat.
Bukan karena ini pertama kalinya ia melihat pemandangan seorang babysitter menyusui, namun karena sosok Citra yang berbeda dan membuatnya tak berkutik.
Baju seragam Citra terangkat sedikit saat ia mengatur posisi bayi di pelukannya, membuat auratnya sempat terlihat sekilas.
Belum sempat ia menyadarinya, orang itu telah lebih dulu melihat. Bukan dengan niat buruk, tapi terkaget oleh kenyataan betapa rapuh dan sekaligus kuatnya perempuan itu.
“Masya Allah,” ucapnya yang meluncur dari bibirnya begitu saja ketika melihat aset paling berharga milik Citra tanpa sengaja.
Dadanya bergemuruh seperti gelombang. Ada sesuatu yang mendorongnya sampai ia merasa megap-megap, seperti ikan yang terdampar di pinggir pantai dan tak menemukan udara.
“Ada apa denganku? Kenapa reaksi tubuhku seperti ini? Padahal hampir setiap hari aku melihat tubuh polosnya Inara, tapi kenapa dengan pengasuh satu ini. Tubuhku langsung bereaksi tak jelas,” batinnya kebingungan.
Ia tidak tahu apa nama perasaan itu apakah kagum, iba, terluka, tersentuh, atau semuanya sekaligus dirasakannya.
Yang ia tahu, pagi itu Citra terlihat bukan hanya sebagai pengasuh, tapi sebagai perempuan yang memeluk dunia kecilnya dengan cinta yang tak pernah diminta, namun diberikan sepenuh hati.
“Kecantikan hatinya dan kecantikan wajahnya sungguh membuatku terlihat aneh. Tubuhku bahkan langsung bereaksi. Celanaku sesak hanya melihatnya sepintas lalu,” gumamnya sambil memegangi benda pusakanya yang nampak mengeras.
Pria itu akhirnya menarik napas berat, suaranya keluar nyaris seperti bisikan bukan karena berani, tapi karena begitu terpukul oleh pemandangan penuh kasih sayang itu.
“Aku… benar-benar tidak tahu kalau ada perempuan seanggun ini di dunia,” gumamnya pelan, masih menatap Citra yang menyusui dengan penuh kelembutan.
Matanya bergetar bercampur antara hawa nafsu, tapi oleh rasa hormat yang tak terduga.
“Bagaimana bisa seorang pengasuh terlihat seindah itu saat memberi makan anak yang bukan darah dagingnya,” lanjutnya lagi, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar siapa pun.
Ia menunduk, menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan seolah berusaha mengendalikan perasaan yang meluap.
“Ya Allah… perempuan ini bahkan tidak menyadari betapa berharganya dirinya.”
Pria mana yang bisa berpaling ketika tanpa sengaja melihat sekelebat tubuh seorang wanita muda yang begitu cantik.
Kulitnya putih, mulus, bersih tanpa sentuhan apa pun selain takdir. Terlebih lagi ketika bagian yang seharusnya paling dijaga terlihat sekejap, membuat dunianya seolah berhenti berputar.
Ada yang keras tapi bukan batu,ada yang tegak tapi bukan keadilan, ada yang berdiri tapi bukan tiang rumah.
Ada sesuatu dalam diri pria itu yang refleks bereaksi tanpa ia minta, tanpa ia rencanakan.
Tubuhnya mengirim sinyal yang bahkan tak sanggup ia sembunyikan, tapi bukan karena nafsu semata, melainkan karena kejutan dan kekaguman yang datang begitu tiba-tiba.
Ia menegakkan punggungnya, mengusap wajahnya, berusaha memulihkan akal sehat yang nyaris terbang dari tubuhnya.
“Kenapa baru kali ini aku merasa seperti ini…?” batinnya bergemuruh, tersiksa oleh rasa malu dan kekaguman yang bercampur menjadi satu.
Citra mengusap pelan kepala Jay dan Jia yang kini berbaring tenang di kedua lengannya.
Suasana kamar bayi terasa hening, hanya terdengar dengus napas kecil dan aroma bedak lembut yang menenangkan.
“Sudah tenang ya, Sayang…” ucap Citra lirih sambil tersenyum.
Tanpa menunggu lama, ia mulai bercerita bukan dongeng kerajaan, bukan kisah pangeran dan putri, melainkan kisah teladan yang selalu membuatnya merasa kuat setiap kali mengingatnya.
“Jay… Jia… hari ini Tante Citra ceritakan kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam, ya,” bisiknya lembut, suaranya bergetar penuh kasih.
“Walaupun kalian masih kecil dan belum mengerti, semoga kisah ini kelak jadi kekuatan di hati kalian.”
Ia merapikan selimut keduanya, lalu melanjutkan cerita dengan nada paling lembut yang ia punya. Awalnya mereka sudah terlelap tapi mendengar suara Citra membuat keduanya melek kembali dan membuat Citra terpaksa berdongeng kisah nabi-nabi dan rasul.
“Nabi Yusuf itu anak yang sangat tampan dan baik hatinya. Tapi sejak kecil, beliau banyak sekali diuji. Ada orang yang iri padanya, ada yang berusaha menjatuhkannya, bahkan yang paling ia sayangi pun sempat menjauhinya.”
Mata Citra memanas cerita itu terlalu dekat dengan hidupnya sendiri.
“Walaupun Nabi Yusuf sedih, beliau tidak pernah membalas dengan kebencian,” lanjutnya, mencoba menahan getaran emosinya.
“Beliau tetap sabar, tetap baik, tetap menjaga hatinya dan akhirnya Allah memberi balasan terbaik untuk kesabaran itu.”
Jia menggenggam jarinya, kecil tapi hangat. Citra tersenyum, lalu mencium jemari mungil itu.
“Kalau suatu hari kalian besar dan dunia terasa tidak adil,” suaranya memecah dalam keharuan, “ingatlah bahwa kalian tidak perlu membalas dendam. Cukup jadi baik, cukup jadi orang yang sabar. Karena Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar.”
Jay menguap kecil, matanya berat. Jia kembali tertidur lebih dulu, memeluk guling mini di sisinya.
Citra merapatkan kedua bayi itu satu sama lain agar terasa saling memiliki, lalu melanjutkan bisikan terakhirnya, hampir seperti doa:
“Kalian tidak sendirian, Nak… Kalau nanti kalian merasa dijauhkan dari orang yang kalian sayang jangan sedih. Allah sedang menyiapkan pertemuan yang lebih indah. Seperti Nabi Yusuf.”
Air mata Citra jatuh tanpa suara bukan karena lemah, tapi karena terlalu besar rasa cinta dan luka yang ia simpan sendirian.
Di sudut ruangan, ada hati yang ikut tersentuh oleh cara Citra mencintai bukan dengan memiliki, tetapi dengan memberi.
Setelah kisah keteladanan Nabi Yusuf selesai ia bacakan, Citra menatap kedua bayi kembar itu dengan pandangan penuh harap harapan yang mungkin tidak pernah ia miliki untuk dirinya sendiri, namun ia titipkan sepenuhnya pada anak-anak yang bahkan bukan darah dagingnya.
“Sekarang kita lanjut mengaji, ya… supaya Jay dan Jia tumbuh jadi anak soleh dan solehah,” ucapnya pelan, seperti berbicara pada malaikat kecil yang tertidur dalam pelukannya.
Citra meraih mushaf kecil berwarna pastel di samping bantal. Ia membukanya perlahan, memastikan tangannya bersih, lalu memulai dengan suara merdu yang ringan, seakan takut mengusik kedamaian malam.
Bismillahirrahmanirrahim…
Suara tilawahnya mengalun tenang, menyejukkan udara kamar. Ia membaca Surah Maryam dengan tartil penuh kelembutan surah yang ia percaya memiliki keberkahan luar biasa untuk anak-anak, terutama agar kelak mereka tumbuh dengan hati yang lembut, menghormati orang tua, dan penuh iman.
Jay dan Jia tidak memahami maknanya, namun keduanya tampak sangat tenang seolah ruh kecil mereka mengenali lantunan ayat suci itu jauh sebelum akal mereka mampu memahaminya.
Citra mengusap kepala keduanya dan melanjutkan ucapannya yang sempat tertunda.
“Semoga kalian jadi anak-anak baik… mencintai Allah, mencintai orang tua, dan menjadi cahaya bagi siapapun yang mengenal kalian.”
Air matanya menetes lagi, tanpa suara. Ia cepat-cepat menghapusnya agar tidak ada yang menyadari ia menangis.
Lantunannya kembali terdengar, lembut namun penuh kekuatan.
“Wahabnaa lahaa min ladunnaa waliyya…”
Ia mengaji bukan sekadar membaca, namun ia mendoakan melalui setiap huruf, setiap napas, setiap getaran suaranya.
Bagi Citra, doa itu bukan sekadar permintaan untuk Jay dan Jia, melainkan permintaan untuk dirinya sendiri agar tetap kuat menjaga cinta yang tidak bisa ia miliki, tapi tetap ia berikan dengan sepenuh hati.
Tanpa ia sadari, di balik pintu yang sedikit terbuka, seseorang kembali berdiri tubuhnya kaku, namun hati dan pikirannya luluh.
Ia tidak hanya melihat seorang babysitter yang sedang mengaji. ia melihat seorang perempuan yang mencintai seperti seorang ibu, meskipun dunia tidak memberinya gelar itu.
Ardhanza yang keheranan dengan reaksi tubuhnya masih mematung mendengarkan dan memperhatikan apa yang diperbuat Citra pengasuh kedua bayi kembarnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kenapa wanita ini mampu membuat hidupku lebih tenang dan damai setelah mendengarnya mengaji? Padahal diawal pertemuan kami sungguh membuat aku emosi dan ingin balas dendam kepadanya karena gara-gara kecerobohannya sehingga aku dipermalukan,” batinnya.
Ardhanza kebingungan dengan reaksi tubuhnya sendiri ketika berdekatan dengan Citra.
“Kenapa ada perasaan berbeda yang aku rasakan. Mengapa ketika dekat dengan Inara calon istriku hatiku terasa biasa saja, tenang tapi datar sedangkan dengan Citra, bahkan dari jarak jauh, semuanya terasa kacau dan tak terkendali?
Padahal kami hampir tidak pernah berduaan saja sekalipun, aku bahkan hanya memperhatikannya diam-diam. Ini gila. Apa sebenarnya yang terjadi padaku, ya Allah…?”
Batinnya Ardhanza bergemuruh hebat, menggedor dadanya seperti hendak keluar.
Ia sendiri tidak mengerti apa yang sedang kurasakan kagum, iba, terpikat, atau sekadar kehilangan kendali atas dirinya.
Sampai-sampai ia lupa bahwa pagi ini ia harus segera berangkat ke perusahaan untuk rapat penting dengan klien bisnis dari luar negeri.
Namun tubuhnya tidak mau bergerak.
Ia hanya mematung, terpaku pada pemandangan di depannya.
Citra menggendong Jay dan Jia dengan penuh kecintaan, mencium kening keduanya seolah mereka adalah dunia baginya.
Tidak ada kepura-puraan. Tidak ada kemanjaan. Hanya ketulusan murni seorang perempuan yang bahkan tidak menuntut apa pun untuk dirinya sendiri.
Ardhanza kwduoitamenelan ludahnya, dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang ia sendiri tidak ingin akui.
Hingga sebuah sentuhan tiba-tiba mencabutnya dari dunianya.
Plak!!
“Hemph! Abang harus ke kantor! Tuan Nakamura dari Jepang sudah sampai!”
Adik angkat keduanya bernama Arkhanza menatapnya dengan tatapan jahil sekaligus geli. Adik angkat keduanya bernama Azrielvano, sedangkan Ariestya dan Alvernia adalah adik dari berbeda bapak.
Ardhanza menoleh dengan wajah yang menunjukkan betapa ia baru saja ditarik paksa dari sesuatu yang entah apa namanya.
“Bisa tidak kamu datang dua puluh menit dari sekarang!?” bentaknya, suara tajam karena frustasi yang disembunyikan.
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah pergi dari kamar bayi dengan langkah besar, rahang mengeras, tangan mengepal bukan marah pada adiknya, tapi marah karena ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Arkhana tertawa pendek sambil menggeleng. “Hahaha! Abang kayaknya tertarik sama baby sitter anak kembarnya. Abang jangan sampai lupa kalau abang itu sudah punya tunangan yang sangat cantik, by the way.” ujarnya.
Kalimat itu menghantam Ardhanza lebih keras daripada tamparan mana pun. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, tapi tidak membalikkan badan hanya menggerakkan kepalanya sedikit ke samping.
“Urus apa yang seharusnya kamu kerjakan,” suaranya dingin, penuh tekanan. “Tidak perlu mengurus diriku.”
Lalu ia berjalan pergi tanpa menoleh lagi, tapi langkah kakinya tidak tenang
karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ardhanza takut dengan perasaannya sendiri.
"Aku nggak boleh seperti ini! Ardhanza Lee Dewantara sadar lah kalau kamu itu kekasihnya Inara Irena Handono."
“Kayaknya akan terjadi perang saudara memperebutkan satu perempuan yang berstatus janda,”
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.