"𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘪𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘬𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮, 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘱𝘢𝘮 𝘤𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.
𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵,
𝘑𝘢𝘷𝘢𝘴—𝘬𝘶𝘳𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢!"
Bagi Javas, seorang kurir dengan sejuta cara untuk mencuri perhatian, mengantarkan paket hanyalah alasan untuk bertemu dengannya: seorang janda anak satu yang menjadi langganan tetapnya. Dengan senyum menawan dan tekad sekuat baja, Javas bertekad untuk memenangkan hatinya. Tapi, masa lalu yang kelam dan tembok pertahanan yang tinggi membuat misinya terasa mustahil. Mampukah Javas menaklukkan hati sang janda, ataukah ia hanya akan menjadi kurir pengantar paket biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Resti_sR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Jangan pergi... kak!
Memasak jelas bukan keahlian Javas. Apa juga yang bisa diharapkan dari anak orang kaya yang sejak kecil hanya mengenal makanan sebagai sesuatu yang sudah tersaji rapi di meja makan. Dia tidak pernah benar-benar tahu proses di baliknya. Bahkan sejak dua bulan terakhir, sejak memilih pergi dari rumah dan tinggal di kos sederhana, Javas tetap tidak menyentuh dapur. Untuk urusan perut, membeli selalu terasa jauh lebih aman daripada harus turun tangan sendiri.
Kalau dipikir-pikir, kemampuan memasaknya mungkin hanya sebatas merebus air atau memasak mi instan. Itu saja sudah cukup, menurutnya.
Dan sekarang lihatlah. Demi Selena, Javas berdiri di dapur, nekat, canggung, dan sedikit kikuk. Dia memperhatikan Bibi Arumi yang bergerak cekatan menghadapi bahan-bahan masakan. Tangan wanita itu lincah, seolah dapur adalah wilayah yang sangat akrab baginya. Sementara Javas hanya berdiri, mengamati, mencoba memahami alur kerja yang terasa asing.
“Ini harus gimana, Bi?” tanyanya akhirnya. Sejak tadi dia berdiri di depan kompor. Wajan dan spatula sudah tergeletak di atasnya, tetapi kompornya bahkan belum ia nyalakan.
Bibi Arumi melirik sekilas lalu tersenyum kecil. “Ah, itu biar Bibi saja, Den. Aden iris bawang ini saja, bisa kan?” ujarnya sambil menyodorkan papan iris lengkap dengan bawang merah dan bawang putih.
“Baiklah, Bi,” jawab Javas, berusaha terdengar yakin.
Dia menerima papan itu dengan semangat yang sedikit dipaksakan. Tangannya bergerak pelan, memegang pisau dengan sangat hati-hati, seolah takut salah gerak. Javas menarik napas pendek sebelum mulai mengiris, fokusnya penuh, seperti sedang menghadapi tugas penting yang tidak boleh gagal.
Irisan pertama terlihat baik-baik saja meski gerakannya lamban. Potongan bawang jatuh rapi di papan, membuat Javas sempat merasa percaya diri. Namun beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah. Matanya mulai berair, pandangannya mengabur.
Dia berhenti mengiris, lalu mengusap-usap kedua matanya yang sudah berlinang air.
“Kenapa perih ya?” tanyanya polos, suaranya terdengar sedikit sengau.
Bibi Arumi yang sejak tadi memperhatikan hanya mengulum senyum. Melihat Javas yang menangis karena bawang jelas pemandangan langka, tapi di balik itu, wanita paruh baya tersebut menangkap satu hal. Ada tekad di wajah pemuda itu. Kikuk, iya. Canggung, tentu. Tapi tidak menyerah.
Namun sebelum Bibi sempat berkomentar, terdengar desisan pelan.
“Auhhh… sakit…”
Pisau di tangan Javas berhenti. Dia menatap jari telunjuknya yang kini mengeluarkan darah tipis.
“Den… sudah, sudah. Biar Bibi yang lanjutin. Astaga, itu tangannya sampai terluka,” ujar Bibi Arumi sigap. Wanita itu langsung meraih garam, lalu menaburkannya ke luka kecil di jari Javas.
“Arghhh… sakit, Bibi…” keluh Javas, refleks meniup-niup jarinya yang terasa semakin perih.
“Iya, emang sakit,” jawab Bibi Arumi datar tapi lembut. “Bibi ambil plaster dulu.”
Wanita paruh baya itu segera melangkah ke ruang tamu, mengambil kotak obat dan plaster yang tersimpan di meja. Sementara Javas berdiri di dapur dengan jari terangkat, wajahnya meringis, namun tak satu pun keluhan keluar lagi.
Dia mengobati tangan Javas dengan hati-hati, memastikan lukanya tertutup rapi sebelum akhirnya menghela napas kecil.
“Sudah, Den. Lebih baik Aden tunggu di kamar Nona Selena saja. Daripada nanti dapur Bibi yang jadi korban,” ujarnya setengah bercanda.
Javas mengangguk patuh. Tanpa protes, dia memilih meninggalkan dapur dan melangkah ke arah kamar Selena.
Langkahnya otomatis melambat saat pintu kamar itu terbuka. Pandangannya menghangat seketika.
...****************...
Di atas ranjang, dua perempuan itu tertidur berdampingan. Selena masih terbalut selimut tebal yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Wajahnya terlihat lebih damai dari sebelumnya, meski pucat di bibirnya belum sepenuhnya hilang. Sementara di sisi lain, Lala meringkuk rapat, kedua lengannya memeluk tubuh Selena seolah takut kehilangan.
Javas berdiri di ambang pintu, diam cukup lama. Ada rasa hangat yang menyelinap di dadanya, bercampur dengan perasaan ingin melindungi. Untuk sesaat, dunia di luar kamar itu terasa tak penting.
Javas memilih duduk di sofa kecil yang berada di sudut kamar. Dia tak ingin mengganggu keduanya. Sesekali pandangannya beralih ke ranjang, memastikan Selena dan Lala masih terlelap dengan tenang. Lalu pikirannya kembali melayang pada cerita yang tadi disampaikan Bibi Arumi. Tentang kehilangan, tentang luka yang selama ini disimpan rapi oleh Selena.
“Luka kamu begitu besar, Sel,” gumamnya pelan. “Aku bahkan tidak bisa membayangkan, kalau orang lain ada di posisi kamu, apa mereka masih bisa setegar ini?”
Tatapannya terangkat, menatap langit-langit kamar yang remang. Ada rasa perih yang tak jelas di dadanya. Kagum, iba, sekaligus ingin menjaga. Pikiran itu berputar terus, membuat tubuhnya diam terlalu lama.
Tanpa sadar, kelopak matanya terasa berat. Javas menyandarkan punggung, napasnya melambat, hingga akhirnya terpejam dalam tidur ringan.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Bibi Arumi masuk dengan langkah hati-hati, membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat dan segelas air. Pandangannya langsung tertuju pada Javas yang tertidur di sofa, lalu beralih ke Selena dan Lala di ranjang.
Wanita paruh baya itu menghela napas kecil, matanya dipenuhi rasa haru melihat pemandangan hangat di dalam kamar itu.
Javas terbangun perlahan. Matanya langsung menangkap sosok Bibi Arumi yang berdiri di samping ranjang, bersiap membangunkan Selena.
“Makan dulu ya, Non. Setelah itu minum obat,” ujar Bibi Arumi lembut.
Kelopak mata Selena terbuka setengah. Wajahnya sembab, sorot matanya berat, jelas masih dilanda pusing yang mengganggu. Tubuhnya terasa lemah, dan melihat bubur di atas nampan justru membuat perutnya tak bergairah.
Selena menggeleng pelan, nyaris tak bertenaga, lalu kembali memejamkan mata.
“Biar nanti saja, Bi. Kasihan, tidurnya terganggu,” ucap Javas lirih, memahami kondisi wanita itu.
Bibi Arumi menatap Selena sejenak, lalu mengangguk pelan. Nampan berisi bubur dan air hangat tetap diletakkan di meja samping ranjang. Setelah itu, wanita paruh baya tersebut membungkuk, mengangkat tubuh kecil Lala dengan hati-hati, lalu membawanya keluar untuk dipindahkan ke kamarnya sendiri, membiarkan Selena beristirahat dengan tenang.
...****************...
Javas masih di sana, dia berpindah duduk ke kursi di samping ranjang Selena. tangannya ragu untuk meraih tangan Selena lalu dia genggam erat.
Tatapan pria itu teduh, sesekali dia menyempil helai rambut Selena yang menutup wajah cantiknya itu ke belakang.
Tatapan Javas sangat lama, menikmati wajah Selena yang tampak Damai jika sedang tertidur.
Hingga keningnya mengerut sadar saat Selena berdesis pelan dalam tidurnya. wanita cantik itu bergerak gelisah, wajahnya yang pucat berkeringat dingin, dan Javas melihat air mata yang jatuh di pelupuk mata Selena.
“Jangan… jangan pergi… kak,” suara itu meracau lirih, pecah oleh isak yang pilu.
“Sel…” panggil Javas pelan. Suaranya diturunkan, berusaha membangunkan Selena dengan cara paling lembut yang ia bisa.
Namun racauan itu justru semakin jelas.
“Jangan… Selena mohon, kak… jangan pergi,” isak Selena terdengar patah. “Selena nggak mempermasalahkan semua ini, tapi tolong jangan pergi ninggalin Selena, kak…”
Dada Javas terasa sesak. Tatapannya menajam penuh perasaan tak tega. Ia melihat jelas bagaimana alis Selena berkerut, napasnya memburu, dan air mata terus mengalir meski matanya masih terpejam.
Saat Javas hendak melepaskan genggaman tangannya, berniat membangunkan Selena dengan sentuhan lain, tiba-tiba tangan Selena bergerak.
Wanita itu menarik tangan Javas dengan tenaga yang tersisa, menggenggamnya erat, lalu tanpa sadar memeluknya lebih dekat, seolah takut pria itu benar-benar akan menghilang.
Tubuh Javas yang tidak siap sedikit tertarik ke arah ranjang. Ia reflek menahan tubuhnya agar tidak sepenuhnya jatuh, namun tidak berusaha melepaskan diri.
“Aku di sini, Sel… Aku tidak akan pergi,” ujar Javas akhirnya. Suaranya rendah, mantap, seolah kata-kata itu juga ia ucapkan untuk dirinya sendiri.
Ia membiarkan tangannya tetap berada dalam pelukan Selena, bahkan menggenggam balik dengan hati-hati, takut sentuhan sekecil apa pun justru mengganggu tidurnya. Ibu jarinya bergerak pelan, mengusap punggung tangan Selena yang dingin.
Racauan itu perlahan mereda. Isakan Selena mengecil, napasnya mulai lebih teratur, meski alisnya masih sedikit berkerut seolah mimpi buruk itu belum sepenuhnya pergi.
Javas menunduk, memperhatikan wajah Selena dari jarak sedekat itu. Bulu mata wanita itu basah oleh sisa air mata, pipinya pucat, dan bibirnya bergetar halus sebelum akhirnya diam.
“Kamu aman,” bisik Javas hampir tak terdengar. “Aku di sini.”
Ia tetap di posisi itu, setengah membungkuk di sisi ranjang, tidak peduli tangannya mulai pegal atau tubuhnya terasa kaku. Jika dengan begitu Selena bisa tidur lebih tenang, Javas tidak keberatan sama sekali.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...