NovelToon NovelToon
CINTA DATANG BERSAMA SALJU PERTAMA

CINTA DATANG BERSAMA SALJU PERTAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Karir / One Night Stand / Duniahiburan / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:334
Nilai: 5
Nama Author: chrisytells

Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
​Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
​Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
​Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 26 : Gemuruh yang Membelah Langit Sore

Sore itu, langit Shannonbridge berubah menjadi kelabu besi saat dua unit ekskavator raksasa dengan logo Doherty & Associates merangsek maju melewati batas jalan desa. Roda-roda besinya menghancurkan pagar kayu pembatas, menuju langsung ke arah dermaga tua yang menjadi satu-satunya akses logistik menuju Pabrik Wol Shannonbridge—nadi ekonomi terakhir warga desa.

"Hentikan! Apa-apaan ini?!" Elara berlari menembus lumpur, rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan diterjang angin kencang. Fionn berada tepat di sampingnya, otot-otot lengannya menegang, siap meledak kapan saja.

Julian O’Neill berdiri di atas gundukan tanah, memegang radio panggil dengan senyum kemenangan yang memuakkan. "Protokol darurat, Elara! Pabrik wol itu baru saja dinyatakan bangkrut secara teknis oleh bank satu jam yang lalu. Aku punya surat perintah untuk mengosongkan area ini demi pembangunan terminal beton. Sekarang, minggir!"

"Bangkrut?" Elara terpaku. Jantungnya serasa berhenti. "Kau sengaja mempercepat ini, Julian! Kau mematikan aliran listrik dan logistik pabrik sejak kemarin agar mereka gagal memenuhi target produksi, kan?! Kau benar-benar licik!"

"Itu disebut strategi bisnis, Elara. Sesuatu yang sepertinya sudah kau lupakan sejak kau sibuk bermain rumah-rumahan dengan tukang kopi ini," Julian menunjuk Fionn dengan hina.

Fionn melangkah maju, suaranya rendah namun bergetar hebat. "Jika satu jengkal besi itu menyentuh batu dermaga ini, aku bersumpah kau tidak akan pulang ke Dublin dengan wajah utuh, O’Neill."

Ketegangan mencapai puncaknya. Warga desa mulai berkumpul, raut wajah mereka penuh ketakutan. Jika pabrik tutup, Shannonbridge akan menjadi desa hantu. Elara merasakan amarah yang membara di dadanya. Ia merampas ponsel dari saku jaketnya dan mencari kontak yang paling ia hindari.

Tuan Doherty.

"Jangan gila, Elara! Dia tidak akan mendengarmu!" teriak Julian.

Elara tidak peduli. Ia menekan tombol panggil dan menyalakan loudspeaker. Setelah tiga nada sambung yang menyiksa, suara berat dan dingin dari Dublin menyahut.

"Elara? Aku harap kau menelepon untuk mengatakan bahwa dermaga itu sudah runtuh."

"Tuan Doherty," suara Elara bergetar, namun tajam seperti belati. "Anda harus menghentikan kegilaan Julian sekarang juga. Anda mengirim alat berat ke desa yang sedang berduka atas krisis ekonomi. Ini bukan arsitektur, ini penjarahan!"

"Bisnis adalah penaklukan, Elara. Kau sendiri yang mengatakannya di London tahun lalu. Kenapa sekarang kau terdengar seperti aktivis lingkungan yang cengeng?" suara Doherty terdengar meremehkan.

"Karena di London saya belum memiliki hati, Tuan! Tapi di sini, saya melihat orang-orang yang hidup dan matinya bergantung pada dermaga ini!" Elara berteriak ke arah ponselnya, matanya menatap langsung ke arah warga desa yang terdiam. "Jika Anda tetap menghancurkan tempat ini, saya akan merilis seluruh audit kecurangan limbah perusahaan Anda yang saya simpan di cloud pribadi saya. Saya punya bukti bahwa Anda menyuap dewan kota untuk proyek ini!"

Hening sejenak. Julian pucat pasi. Fionn menatap Elara dengan pandangan tak percaya; kekasihnya baru saja membakar jembatan kariernya sendiri demi sebuah desa kecil.

"Baiklah... Satu minggu," suara Doherty akhirnya terdengar, lebih dingin dari sebelumnya. "Satu minggu untuk mencari investor baru bagi pabrik wol itu. Jika gagal, dermaga itu akan rata dengan tanah, dan kau, Elara... kau akan berakhir di penjara karena pencemaran nama baik. Pikirkan itu."

Klik. Sambungan terputus.

Elara menurunkan ponselnya, tubuhnya gemetar hebat. Ia merasa seolah seluruh energinya baru saja tersedot habis. Namun, bukannya pelukan hangat yang ia terima dari semua orang, suara tajam justru menusuk dari barisan belakang.

"Hebat sekali sandiwaranya, Nona Kota!" Maeve melangkah maju, bibirnya menyunggingkan senyum sinis yang penuh kebencian. "Satu minggu? Itu hanya akal-akalanmu agar perusahaanmu punya waktu untuk menyiapkan dokumen hukum yang lebih kuat, kan? Kau dan Pria itu sama saja, hanya beda cara mainnya!"

Sinead ikut menimpali, suaranya nyaring agar didengar semua orang. "Benar! Lihat dia, Fionn! Dia menghubungi atasannya seolah-olah dia pahlawan, padahal dialah yang membawa mereka ke sini. Gara-gara rencana 'hibrida' bodohmu itu, investor pabrik jadi lari karena mereka tidak mau berurusan dengan kerumitan sejarah!"

Elara menghela napas berat, air mata mulai menggenang. "Tidak, Sinead... aku mencoba menyelamatkan pabrik wol..."

"Menyelamatkan kami atau menyelamatkan posisimu di mata Fionn?!" desis Sinead, matanya berkilat cemburu saat melihat tangan Fionn yang masih merangkul pinggang Elara. "Kau hanya pembawa sial bagi desa ini, Elara. Pergi saja kembali ke Dublin dengan teman berjas-mu itu!"

Elara menunduk, merasa sangat kecil dan sendirian. Namun, sebelum ia sempat jatuh dalam keputusasaan, sebuah langkah berat terdengar maju ke depan.

"Tutup mulut busukmu itu, Sinead!" suara Seamus menggelegar. Pria tua itu berdiri di depan Elara, memegang linggis besarnya dengan tangan gemetar karena marah. "Siapa pun yang menghina wanita ini, berarti menghinaku dan kehormatan warga desa!"

Moira melangkah maju, merangkul bahu Elara dengan protektif. "Sinead, Maeve... kalian berdua adalah pengecut! Elara baru saja mempertaruhkan seluruh masa depannya di Dublin demi pabrik tempat kalian mencari makan! Dimana keberanian kalian saat alat berat itu datang?!"

Bibi O’Malley pun tidak tinggal diam. Ia menunjuk ke arah Julian dengan sendok kayu yang masih dibawanya dari dapur. "Dan kau, Tuan Berjas! Jangan pikir kau bisa menakuti kami dengan mesin-mesin besi itu. Kami sudah bertahan dari badai ratusan tahun, dan kami tidak akan kalah oleh orang sombong sepertimu!"

Seamus kemudian berteriak kepada warga yang ragu-ragu, "Ayo! Siapa yang masih punya nyali, berdiri di samping Elara! Kita buat barikade manusia! Jangan biarkan roda itu bergerak satu senti pun!"

Secara perlahan namun pasti, warga desa mulai bergerak. Mereka berdiri bersisian, membentuk rantai manusia di depan ekskavator. Suasana menjadi emosional. Elara terisak, namun kali ini karena rasa haru yang luar biasa. Ia melihat orang-orang yang tadinya membencinya, kini berdiri pasang badan untuknya.

Melihat barikade manusia yang begitu kokoh, Julian menyadari bahwa konfrontasi fisik saat ini akan menjadi bencana bagi citra perusahaan. Ia memberi isyarat kepada operator mesin untuk mematikan mesin.

"Nikmati satu minggumu, Elara. Ini akan menjadi minggu terakhirmu sebagai seorang arsitek," ancam Julian sebelum masuk ke mobilnya dan melesat pergi.

...****************...

Sore itu meredup menjadi senja yang jingga. Barikade manusia mulai bubar, namun mereka memberikan anggukan hormat kepada Elara sebelum pergi. Fionn menarik Elara ke arah dermaga, menjauh dari keramaian.

Fionn memegang wajah Elara dengan kedua tangannya, jempolnya mengusap air mata yang tersisa di pipi kekasihnya. "Kau benar-benar gila, Elara O’Connell. Kau mengancam atasanmu? Kau tahu apa artinya itu bagi kariermu?"

"Artinya aku bebas, Fionn," bisik Elara, tersenyum lemah. "Aku tidak ingin menjadi arsitek yang membangun gedung tinggi di atas penderitaan orang lain. Aku lebih baik membangun satu kedai kopi bersamamu daripada seribu gedung di Dublin."

Fionn menatap Elara dengan pandangan yang begitu dalam, penuh dengan kekaguman dan cinta yang semakin membara. "Setiap hari aku pikir aku sudah sangat mencintaimu, tapi hari ini... hari ini kau membuatku merasa bahwa mencintaimu adalah satu-satunya tujuan hidupku."

Fionn mencium Elara di bawah langit senja yang dramatis, sebuah ciuman yang menjadi meterai bahwa mereka akan menghadapi satu minggu paling berat dalam hidup mereka bersama-sama.

"Kita akan cari investor itu, Fionn," kata Elara setelah ciuman itu berakhir.

"Ya, kita akan cari. Dan jika tidak ada yang datang, aku sendiri yang akan mengangkut wol itu dengan perahuku," janji Fionn.

Biscotti menggonggong ceria di dekat kaki mereka, seolah ikut bersumpah. Badai ekonomi mungkin sedang menyerang Shannonbridge, namun fondasi yang dibangun Elara dan Fionn jauh lebih kuat daripada beton mana pun.

...****************...

Di kursi kulit sedan mewahnya yang terparkir agak jauh dari kerumunan, Julian O’Neill melonggarkan dasinya dengan kasar. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ponsel di tangannya terasa panas, sepadan dengan suara murka yang meledak dari seberang sana.

"Kau membiarkannya mengancamku, Julian?! Seorang gadis ingusan yang seharusnya sudah kau jinakkan sejak hari pertama!" suara Tuan Doherty menggelegar, bergetar karena amarah yang tertahan.

"Tuan, Elara tidak seperti dulu. Dia... dia memegang data audit limbah itu. Jika dia benar-benar membocorkannya ke media Dublin, saham kita akan terjun bebas sebelum dermaga itu sempat kita sentuh," Julian membela diri, suaranya berusaha tetap stabil meski tangannya gemetar.

"Aku tidak peduli! Kau punya satu minggu untuk membereskan kekacauan ini. Jika investor pabrik itu tidak datang—dan aku tahu kau bisa memastikan tidak akan ada yang datang—hancurkan dermaga itu. Dan singkirkan Elara. Aku tidak mau dia kembali ke Dublin dengan membawa rahasia perusahaan kita. Paham?!"

"Paham, Tuan. Saya akan mengurusnya." Julian menutup telepon dengan napas berat. Ia menyandarkan kepalanya ke jok mobil, memaki pelan. Reputasinya sebagai 'sang eksekutor' kini dipertaruhkan hanya karena satu desa kecil dan seorang wanita muda yang keras kepala.

Tak lama berselang, tiba-tiba, kaca jendela mobilnya diketuk dengan pelan dan berirama. Julian menoleh dan mendapati Sinead berdiri di sana. Wanita itu telah memoles ulang lipstiknya, warna merah menyala yang kontras dengan latar belakang desa yang kusam. Ia menyunggingkan senyum yang sengaja dibuat manis.

Julian menurunkan kaca mobilnya setengah. "Ada apa lagi, Nona? Bukankah dramanya sudah selesai?"

Sinead menyandarkan sikunya di pintu mobil, sedikit membungkuk sehingga aroma parfum bunganya yang kuat menyerbu masuk ke dalam kabin. "Dramanya mungkin selesai, tapi ketegangannya masih terasa, bukan? Aku hanya berpikir... pria sesukses dan setampan dirimu pasti merasa sangat lelah menghadapi orang-orang kasar di sini."

Julian mengangkat alis, menatap Sinead dengan pandangan menilai. "Aku sedang tidak butuh teman bicara, nona."

"Oh, ayolah, Tuan O’Neill," suara Sinead merendah, jemarinya dengan berani menelusuri pinggiran kaca mobil. "Kita berdua tahu Elara O’Connell hanya seorang membawa masalah. Kau butuh seseorang yang tahu seluk-beluk desa ini, seseorang yang bisa membantumu mempercepat kepergiannya. Dan mungkin... seseorang yang bisa menemanimu minum wiski malam ini di penginapan?"

Julian merasa risih. Ia terbiasa dengan wanita kota yang elegan, bukan godaan terang-terangan yang terasa sedikit mendesak seperti ini. "Kau menawarkan bantuan atau menawarkan dirimu?"

Sinead terkekeh, matanya berkilat penuh harap. "Bukankah keduanya terdengar menarik? Fionn mungkin tergila-gila pada Elara, tapi pria sepertimu... kau butuh wanita yang punya api, bukan yang penuh dengan peta dan jadwal."

Julian menatap jemari Sinead yang masih berada di mobilnya, lalu menatap wajah wanita itu yang penuh riasan. Ada rasa haus akan perhatian yang sangat jelas di sana.

"Dengar," Julian berkata dengan nada dingin namun tajam, "aku di sini untuk bisnis, bukan untuk mencari hiburan lokal. Jika kau punya informasi yang benar-benar berguna untuk menghancurkan rencana Elara, sampaikan padaku besok. Sekarang, minggir dari mobilku."

Senyum Sinead sedikit goyah, namun ia tidak menyerah. Ia mengerlingkan mata sebelum menegakkan tubuhnya. "Galak sekali. Tapi tak apa, aku suka tantangan. Sampai jumpa besok, Julian O’Neill. Jangan biarkan udara rawa merusak jas mahalmu itu."

Sinead melangkah pergi dengan gaya yang dibuat-buat anggun, sementara Julian segera menaikkan kaca mobilnya rapat-rapat. Ia merasa muak. Di satu sisi ada Elara yang mengancam kariernya, di sisi lain ada wanita desa yang mencoba memanfaatkannya.

"Satu minggu," gumam Julian, menatap dermaga tua di kejauhan. "Satu minggu untuk menghancurkan segalanya sebelum tempat ini menghancurkanku."

1
d_midah
ceilah bergantung gak tuh🤭🤭☺️
d_midah: kaya yang lebih ke 'sedikit demi sedikit saling mengenal, tanpa terasa gitu' 🤭🤭
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!