Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Tetangga Baru
Matahari baru bergeser ke arah barat, cahayanya berjuang menembus gumpalan awan hitam yang perlahan bergerak memenuhi langit kota hujan. Ada cemas yang menggantung di dada Sabil, ia ingin segera pulang ke rumah sebelum hujan lebat mengaburkan jarak pandangannya di jalan tol Jakarta-Bogor.
Sementara di komplek perumahan dimana rumah Sabil berada, bude Sunti dan Hania baru saja selesai mencocok tanam di kebun kecil belakang rumahnya. Mereka memindahkan bunga mawar, aneka tanaman keladi hias ke area taman.
Ting Tong
Suara bel berbunyi dari pintu depan.
"Biar bude yang temui." bude Sunti bergegas ke teras rumah dari pintu samping.
"Selamat sore," sapa sepasang suami istri.
"Selamat sore, teteh, akang... "
"Bude Sunti ya? Kami dapat list daftar tetangga dari bu RT. Perkenalkan nama kami Saraswati, dan ini suami saya kang Prabu. Kami baru saja pindah di blok S nomer tiga. Nanti malam jam tujuh, kami mengundang keluarga ibu untuk acara tasyakuran rumah baru kami, semacam open house begitulah bu," ucap perempuan cantik bertubuh seksi itu.
"Oh, sudah ditempati ya... Rumah itu sudah lama kosong memang, syukurlah sudah dihuni," jawab bude Sunti. "Baik, kami akan hadir."
"Kami sangat berharap bude dan keluarga bisa hadir di kediaman kami." Prabu yang sejak tadi diam dan gelisah menatap ke daun pintu akhirnya bersuara.
"Baik, kang... Prabu. Saya seperti pernah melihat— ah mungkin hanya wajah yang sama," ucap Bude Sunti ragu.
"Kami permisi bude," Saraswati mengangguk pelan lalu menarik Prabu yang ia akui sebagai suaminya.
Ketika dua pasutri itu berbelok ke arah blok S, mobil Sabil baru saja masuk melewati gerbang pos penjagaan komplek perumahan. Ia sempat melirik dua orang yang berjalan dengan tergesa ke arah blok belakang rumahnya.
Mobilnya ia parkir di carport. Saat membuka pintu mobil, Hania baru saja keluar dari pintu samping membawa kantong plastik berisi sampah.
"Hania, apa itu?" tanya Sabil.
"Sampah kepala udang mas, selesai masak aku lupa membuangnya." Ia membuka tong sampah lalu memasukkan kantong itu di sana.
Saat melewati teras rumah, ia mencium aroma khas yang sangat ia kenali, aroma kayu gaharu bercampur kasturi. Kakinya berhenti melangkah. "Aroma ini... Milik dia," gumam Hania.
"Hania, ayo masuk. Kok melamun di sana?" tanya Sabil masih menunggu Hania membuang sampah.
"Ah, i—iya." langkahnya kikuk saat akan berbalik ke dalam rumah.
"Mikirin apa?" tanya Sabil lembut.
"Nggak, nggak apa-apa." Hania terus berjalan sambil menunduk menghindari tatapan Sabil yang terus menempel di wajahnya.
"Bil, tadi tetangga baru mengundang kita acara open house di rumah nomer lima blok S. Kamu bisa hadir?" tanya bude, melihat Sabil berpikir lama bude mengambil keputusan. "Kamu pasti lelah, biar bude dan Hania saja yang hadir ke sana. Nggak enak mereka mengundang langsung ke rumah kita tidak melalui chat grup komplek."
"Aku hadir bude, kita sama-sama ke sana. Masih ada waktu dua jam untuk istirahat." Sabil menenteng tas kerjanya menuju tangga.
Sebelumnya ia sempat melirik ke arah Hania yang sedang melamun di countertop wastafel, tangannya ia biarkan di bawah pancuran air keran yang menyala. Perhatian Sabil terusik dengan pemandangan itu. Ia kembali menuruni anak tangga, lalu meletakkan jas dokter dan tas kerjanya di meja. Ia mendekati Hania, berdiri di belakangnya lalu mematikan keran yang terus mengalir.
"Apa tanganmu terluka?" bisiknya di samping wajah Hania.
Hania gelagapan, ia sontak berbalik hingga tubuh mereka saling berhadapan dan menempel. Sadar jika tubuh mereka terlalu dekat, Hania memundurkan punggungnya ke belakang memberi jarak. Tangannya mendorong dada Sabil agar menjauh.
"Kenapa sih suka sekali bikin kaget orang!" ia merajuk dengan pipi cemberut.
Sabil tersenyum menggoda, "Makanya jangan sering bengong, nanti kesambet jin botak yang kepalanya peyang, bahaya lho!" gurau Sabil sambil menjentik hidung Hania.
"Nggak lucu!" jawab Hania ketus.
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Aku nggak mikir apa-apa, mas."
"Kamu nggak boleh banyak melamun, kecuali mikirin aku aja."
"Ish!" Hania menghindari tatapan menggoda Sabil, lalu berlindung di balik punggung bude.
Bude Sunti menggelengkan kepalanya dengan wajah pasrah, "Bil, udah sana mandi jangan ganggu Hania terus."
"Hania, aku boleh minta tolong?" tanya Sabil
Hania menatap wajah bude Sunti meminta persetujuan, bude mengangguk setuju. "Apa mas?"
"Ayo sini ikuti aku ke atas," Sabil kembali meraih tas kerja dan jas dokternya lalu melangkah menaiki anak tangga. Hania mengekori dengan langkah ragu.
Ketika langkah Sabil memasuki kamarnya, Hania berhenti melangkah. Ia diam di depan pintu. Sabil menyadari Hania berhenti mengikutinya, ia menoleh ke arah belakang.
"Masuk lah, aku nggak akan gigit kamu. Pekerjaannya ada di sana." Sabil menunjuk sebuah meja dengan tumpukan map dokumen dan buku-buku tebal yang ditumpuk tinggi.
"Apa tugasku?" tanya Hania ragu
"Kemari lah, kamu akan tahu setelah membacanya." Sabil berdiri di samping meja kerjanya.
Perlahan Hania melangkah masuk lalu mendekati meja, pandangannya jatuh pada tumpukan map dokumen, satu map sudah dibuka oleh Sabil. Judul pembuka kertas HVS itu adalah, Surat Penawaran Kerja.
"Kamu baca dulu, jika ada point yang tidak kamu setujui bisa kamu coret, jika ada yang ingin kamu tambahi boleh kamu tulis apa saja yang kamu butuhkan."
"Ini... Penawaran kerja untukku?" tanya Hania.
"He'em, aku berharap kamu mau bergabung di perusahaan baruku." Sabil menuntun Hania untuk duduk di kursi kerjanya. "Duduk yang nyaman di sini, pelajari kontrak kerja ini. Aku mandi dulu."
"Baik mas," jawab Hania sambil tersenyum samar, ia ingin melompat kegirangan karena akan memiliki kerjaan lagi, tapi ia harus membaca dulu kontrak kerjanya dan apa tugasnya.
Sabil melepas kemeja kerjanya di dekat Hania sambil melangkah ke kamar mandi, lalu melemparkan kemeja dan celananya sembarang, hingga tersisa celana boxer nya saja. Hania sempat memperhatikan gerakan pria itu dari sudut matanya.
"Ish! Dia terlalu ceroboh untuk wajahnya yang selalu terlihat tenang dan cool," gumam Hania.
Hanya butuh waktu sepuluh menit Sabil menyelesaikan mandi sorenya. Ia keluar dengan handuk yang melingkar di pinggang. Rambutnya yang ikal ia biarkan menutupi keningnya, meski berantakan terlihat lebih segar dan lebih muda.
"Hania, untuk nanti malam menurutmu aku pakai baju apa?" Ia berdiri di depan lemari built-in yang ada di pojok kamarnya.
"Kemeja casual aja mas," jawab Hania menutupi wajahnya dengan map yang diposisikan berdiri. Ia gugup melihat pemandangan pria di depannya itu, terlalu menggoda.
"Cocok warna apa?" tanyanya lagi
"Biru Navy atau cokelat khaki."
"Biru Navy yang mana, koleksiku banyak sekali warna Navy."
Hania mendengus kesal, ia akhirnya berdiri lalu melangkah mendekati Sabil tapi tatapannya lurus ke arah lemari. Ia melihat isi lemari Sabil yang di dominasi warna biru, putih dan hitam. Tidak ada warna Khaki kecuali bawahan. Pilihannya jatuh pada kemeja slim fit warna Navy bermotif garis-garis halus. Lalu ia memilihkan celana panjang jeans berwarna biru muda.
"Setelan ini gimana, mas. Suka gak?!"tanya Hania.
"Apa yang kamu pilihkan pasti aku pakai," jawabnya. "Sudah dibaca offering letternya?" tanya Sabil sambil memakai kaos dalam.
"Aku belum membaca semua, boleh aku pelajari dulu nanti malam?"
"Boleh, silahkan."
"Aku pamit mas, mau siap-siap." Hania bergegas keluar kamar Sabil sambil memeluk map penawaran kerja. Ia tidak lagi menghiraukan protes Sabil untuk menahannya di kamar.
Hujan deras baru saja reda setelah azan maghrib. Selesai sholat, Hania membuatkan wedang jahe dan menyajikan bolu yang tadi siang ia buat, untuk Sabil dan bude. Mereka sengaja tidak makan malam di rumah, karena tetangga baru sudah menyiapkan makanan berat untuk makan bersama di rumahnya.
Mereka berjalan kaki ke rumah tetangga baru bersama tetangga lainnya. Malam itu Hania memakai baju berwarna senada dengan Sabil dan bude yang juga memakai gamis berwarna biru tua motif batik.
Dari kejauhan rumah itu bersinar lebih terang dari rumah kiri kanannya. Lampu-lampu taman berwarna hangat membentang menghias teras yang beralaskan hamparan rumput jepang. Hania diam terpaku di depan teras, kakinya enggan melangkah masuk. Aroma gaharu dan kesturi menguar dari kediaman rumah itu.
"Ayo masuk Hania," ajak Sabil mengulurkan tangannya ke arah Hania.
Gadis itu membalik tubuh ke arah lain, firasatnya mengatakan bahaya menunggunya di dalam. Tangannya seketika gemetar, keringat membanjiri tengkuk dan pelipisnya. Ia menunduk menatap ujung sendalnya tanpa berkedip.
"Kenapa ia ada di sini!" gumam Hania dengan wajah panik.
Sebuah telapak tangan menggenggam jemarinya dengan perlahan. "Kalau kamu tidak ingin masuk ke dalam, lebih baik kita pulang."
Hania menoleh, menatap tatapan hangat milik Sabil. Wajahnya tidak bisa ia tutupi, ia panik, takut dan gelisah. "T-tapi... Bude sudah—"
"Sstt... Tidak apa-apa, jangan khawatirkan bude. Aku tahu kamu belum siap hadir di tengah keramaian."
"Dokter Sabil, ayo masuk!" panggil pak RT dengan suara keras, ia sudah memergoki Sabil dan Hania berada di teras rumah tetangga baru.
Dari balik punggung pak RT, sosok pria tinggi nan gagah itu keluar dari rumahnya bersama sang istri, Prabu menyeringai menatap tatapan kaget Hania.
"Selamat datang di kediaman kami, dokter Sabil, nona Hania... Silahkan masuk ke gubuk kami," sambut Prabu yang masih terus menatap Hania dengan lekat.
Hania tidak sanggup memandang tatapan sendu penuh kerinduan dari mata Prabu, ia menunduk semakin dalam di bawah sorot mata Prabu yang siap menyambutnya.
"Hania, kita terlanjur ketahuan. Lebih baik kita masuk, tenang saja ada aku di sampingmu," bisik Sabil seraya menggenggam tangan Hania lebih erat.
merinding aku Thor.....😬