Caraku Mencintaimu

Dhea meringkuk di dalam kamarnya. Kamar kecil yang kordennya belum dibuka dan lampu yang tidak menyala, membuat keadaan redup tanpa pencahayaan.

Gadis itu menahan sakit, tapi mencoba untuk bangun. Mencoba melewati satu hari lagi, yang semakin lama semakin terasa berat baginya.

Dhea berjalan di trotoar, di pagi yang cukup dingin ini. Kakinya sedikit gemetaran, terus saja melangkah. Dia ingin segera sampai di tempat tujuannya.

Satu langkah terasa seperti seribu langkah. Pandangannya sedikit meredup, tapi dia memantapkan dirinya sendiri, menyakinkan dirinya kalau dia mampu.

Suara tawa orang-orang yang dia lewati seperti suara bisikkan yang terdengar sangat samar di telinganya.

Tinggal beberapa langkah lagi dan dia akan sampai. Namun, apakah dia bisa sampai? Tetesan hujan sedikit membasahi wajahnya, juga semakin menghalangi pandangan matanya. Orang-orang di sekitarnya semakin berjalan dengan cepat, dan dia masih dengan langkah yang sama, bahkan langkah itu semakin pelan ... dan ... berhenti ....

Orang-orang berteriak saat seorang perempuan muda berwajah sangat pucat pingsan di pinggir jalan.

"Cepat panggil ambulans!"

"Cepat, dia mengeluarkan banyak darah."

Tidak lama kemudian, ambulans datang dan membawa Dhea ke rumah sakit. Dhea segera dibawa menuju ruang UGD.

"Maaf, tolong segera menghubungi keluarganya."

"Tapi saya tidak mengenalnya." Pria itu lalu berinisiatif untuk menggeledah tas Dhea. Tidak ada ponsel atau pun dompet di dalamnya. Dibukanya buku Dhea, dan hanya menemukan satu huruf yang tertulis.

D

Ck, bagaimana caraku menghubungi keluarganya?

Pria itu ragu. Mau meninggalkan Dhea sendiri di sini, tidak tega. Tapi dia juga ada urusan penting. Tidak lama kemudian ponselnya berbunyi.

"Di mana? Cepat segera ke sini!"

"Tapi ...."

"Cepatlah!"

Tut ... Tut ....

Pria itu dengan terpaksa pergi. Begitu pintu dibuka, dokter tidak menemukan siapa pun di sana.

...💦💦💦...

"Kamu sudah menghubungi keluarga kamu?" tanya dokter.

"Saya sudah tidak punya keluarga, Dok."

"Teman?"

"Tidak, saya tidak mau merepotkan mereka. Oya, kapan saya boleh pulang?"

"Kalau kondisi kamu semakin membaik, dua hari lagi kamu sudah boleh pulang."

"Baiklah, terima kasih banyak, Dok."

Dokter itu mengangguk, lalu menepuk pelan pundak Dhea.

"Kamu yang sabar, ya," ucapnya.

Setelah keluar dari ruang perawatan Dhea, dokter itu menuju tempat pembayaran.

"Sus, perawatan atas nama Dhea, yang menjadi pasien saya, biar saya yang membayarnya. Tapi tolong jangan bilang kalau saya yang bayar."

"Baik, Dok."

Di dalam kamarnya, Dhea mengenal nafas. Uang tabungannya akan terkuras lagi.

Tidak masalah, Dhe. Uang masih bisa dicari lagi.

Di sana, Clara merasa gelisah. Sudah beberapa hari ini Dhea tidak bisa dihubungi. Teman-temannya yang lain juga tidak ada yang tahu, karena Dhea menghilang.

...💦💦💦...

Dokter Bram menghela nafas, lalu mengusap pelan keningnya. Pekerjaannya sangat banyak. Meski dia pemilik rumah sakit, tapi dia juga masih aktif menjadi dokter, tidak hanya mengurus rumah sakit di balik meja.

"Kamu terlihat lelah, Sayang," ucap Bianca—istrinya. Bianca melegakan teh madu hangat di meja kerja Bram.

"Tidak juga."

"Oya, apa ada kabar dari Arya?"

Bram tidak langsung menjawab, dia menatap lekat istirnya itu.

"Apa dia masih rutin cek up ke rumah sakit?" tanya Bianca.

"Tidak."

"Aku harap dia baik-baik saja. Jarang ada orang baik seperti itu."

"Ya, dan masalahnya, sahabat kamu itu merusak segalanya." Pernyataan itu tertuju pada Mila—mama Fio.

"Mungkin dia terlalu cemas, takut Dhea merebut Vean. Bukankah awal permasalahan ada di pembicaraan tentang Dhea?"

Bram menghela nafas berat.

"Tetap saja, dia tidak pantas bersikap seperti itu. Dhea itu sudah tidak punya keluarga, seharusnya kita bisa menyayangi dia. Bagaimana kalau putri kita yang merasakan itu?"

Wajah Bram langsung meredup. Dia menghela nafas berkali-kali. Bianca langsung menunduk. Dia mengusap ujung matanya yang berair.

Juna diam di balik pintu. Keluarga ini selalu saja bersedih setiap kali membicarakan masalah adik perempuan Juan.

...💦💦💦...

Arya menginjakkan kakinya di kota Jakarta. Dia memikul tas ransel di punggungnya. Sudah cukup lama dia tidak pernah pulang ke sini.

Pria itu lalu menaiki taksi dan segera menuju rumah kontrakannya yang tidak besar, namun sangat nyaman.

Tiga pria, berbaring di kamar masing-masing.

Tiga perempuan, sama-sama menghela nafas berat.

Dhea, kamu di mana? batin Clara dan Fio.

Apa aku harus kembali? batin Dhea.

Dhea memegang dadanya yang terasa sesak. Ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Akhir-akhir ini dia kesulitan tidur. Kadang dia merasa sesak nafas dan kedinginan. Bahkan sekarang pun, dia meringkuk di balik selimut tipis. Hujan deras di luar sana semakin membuat dia kedinginan. Dia berusaha memejamkan matanya. Gadis itu mengusap hidungnya yang berdarah.

Aku kuat

"Sebentar lagi aku akan pulang, tunggu aku," gumamnya, entah pada siapa.

Hujan tidak juga berhenti sejak tadi malam, dan justru semakin deras. Langit abu-abu pekat, seolah dunia sedang berkabung. Vean duduk dengan gelisah di dalam mobilnya. Sang sopir melihat kegelisahan Vean dari kaca spion.

Dia memegang dadanya, merasakan degup jantung yang meningkat.

"Tuan, apa Anda baik-baik saja?"

"Ya."

Nanti siang akan ada kunjungan ke rumah sakit bersama para pemegang saham dan petinggi rumah sakit.

Siang harinya, mereka berkeliling ruma sakit itu. Melihat kondisi bangunan, fasilitas, dan kecakapan para dokter dan perawat. Di waktu yang sama, Arya juga datang ke rumah sakit itu.

"Arya!" sapa mereka terkejut.

"Saya mau bicara dengan dokter Bram."