NovelToon NovelToon
Dendam Putri Pengganti

Dendam Putri Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Bullying dan Balas Dendam / Putri asli/palsu / Balas dendam pengganti / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: eka zeya257

Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.

Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.

Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.

Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 24

Zia menghembuskan napas berat begitu tiba di gerbang sekolahnya. Pagi itu terasa lebih pekat dari biasanya, seolah udara pun ikut menindih dadanya. Entah mengapa, keributan kecil di rumahnya selalu berubah menjadi badai besar setiap kali ia mencoba mengambil jarak.

Apakah karena memang itu perannya dalam cerita ini?

Atau karena alur hidupnya sengaja dibuat menyedihkan oleh penulis novel yang memasungnya?

Zia mendengus halus. "Sialan," gumamnya lirih.

Emosinya terasa terkuras habis setiap kali berhadapan dengan Damian, Gaby, dan Amanda. Rasanya ia ingin sekali mengubur ketiga orang itu hidup-hidup. Namun jelas saja, hal tersebut mustahil dilakukan. Ia bahkan tidak tahu cara membunuh seseorang, apalagi menguburnya tanpa meninggalkan jejak.

Lamunannya terpecah oleh suara ceria yang memanggil namanya.

"Ziaaa!"

Zia menoleh. Maddy berlari kecil ke arahnya sambil menenteng dua bungkus jajanan, ada roti sobek dan minuman kotak yang tampaknya masih dingin.

"Gila, akhirnya lo datang juga!" seru Maddy, langsung menyodorkan roti itu ke tangannya. "Nih! Gue beliin. Lo pasti belum sarapan, kan?"

Zia mengerjap pelan, lalu mengambilnya. "Thanks."

Maddy mengajak Zia duduk di bangku panjang di bawah pohon besar dekat lapangan mumpung jam pelajaran belum di mulai. Tempat itu memang sudah lama menjadi titik persinggahan mereka sebelum masuk kelas.

"Eh sumpah ya, pagi-pagi tadi gue liat pasangan berantem di gerbang," ujar Maddy sambil membuka roti. "Kayak sinetron banget. Lo liat gak?"

"Enggak."

"Wah sayang banget lo kelewatan, sumpah seru banget!" Maddy terkekeh, mulutnya penuh roti. "Eh tapi beneran, coba nih. Rotinya enak banget."

Zia menggigit rotinya, namun tak merasakan apa pun. Kepalanya masih penuh amarah, tubuhnya masih tegang sejak kejadian pagi tadi.

Maddy melirik wajah Zia, lalu memiringkan kepala. "Ziiiaaa…"

Zia diam.

"Kenapa muka lo kayak mau ngebunuh orang?"

"Enggak."

"Ya bohong," balas Maddy cepat.

"Gue bilang enggak."

"Ziaaa…" Maddy mendekat, menatap wajahnya dari jarak dekat yang sangat tidak perlu. "Gue temenan sama lo dari lama, gue bisa bedain lo lagi bohong atau nggak. Wajah lo sekarang itu kayak kucing abis diceburin ke bak mandi tahu."

Zia mengalihkan pandangan. "Maddy…"

"Apa?"

"Gue males ngomong pagi ini."

Maddy terdiam beberapa detik. Lalu ia bersandar santai dan berkata, "Oke. Fine. Gak maksa kok."

Maddy kembali mengunyah, kali ini lebih pelan, seakan memberi ruang. "Tapi kalau lo butuh ngeluarin uneg-uneg, gue ada di sini, lo tinggal cerita aja. Sepanjang apa pun cerita lo, pasti bakal gue dengerin sampai selesai."

"Gimana kalo gue ceritanya sampai kiamat?"

"Ya kita mati bareng lah," jawab Maddy tanpa beban.

Zia mendecak pendek. Ia tahu itu. Maddy selalu ada bahkan terlalu baik untuknya yang memiliki tempramental jelek, gadis itu terlalu cerah, dan terlalu tulus untuk seseorang yang sedang terperangkap dalam cerita kacau seperti dirinya.

"Lo baik banget jadi orang," kata Zia tiba-tiba.

Maddy tersedak kecil lalu tertawa. "Apaan sih? Kok tiba-tiba gitu? Lo kesambet di mana?"

"Serius."

Maddy mengulum senyum. "Kalau yang lo butuhin itu tempat buat ngelampiasin emosi, tinggal bilang. Kita bisa teriak bareng, bisa mukulin boneka bareng, bisa ..."

"Mukulin Damian juga bisa?"

Maddy langsung terdiam.

Dan kemudian berkata pelan, "Wah… berarti parah banget pagi lo, ya?"

Zia tidak menjawab. Ia menatap dedaunan di atasnya. Cahaya matahari menyelinap masuk di sela-sela ranting, menciptakan bayang-bayang di bangku mereka.

"Ayah lo marah-marah lagi?" tanya Maddy perlahan.

Zia tetap diam.

"Apa nyokap lo ngungkit hal yang nyakitin perasaan lo lagi, Zi?"

Tidak ada respons.

"Gaby nyenggol lo lagi?"

Zia hanya mengangkat bahu. Gerakan kecil itu sudah cukup bagi Maddy untuk memahami semuanya.

Maddy menghela napas panjang. "Zia, lo jangan ngadepin semua ini sendiri. Bisa capek banget tau, hati-hati bisa aja lo cepat tua lebih awal gara-gara mereka."

"Mau gimana lagi, udah jalan hidup gue pahit kayak gini."

Zia menatap kosong ke halaman sekolah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tentang rasa muaknya, tentang bagaimana setiap adegan seolah disusun khusus untuk menyakitinya, tentang bagaimana ia tidak pernah diberi jeda untuk bernapas.

Namun kata-kata itu menabrak dinding yang menahannya dari dalam, Zia tak bisa mengeluarkan semua unek-unek dalam hatinya pada Maddy.

"Gue capek, Dy," gumamnya pelan. Lirih sekali.

Maddy menoleh cepat. "Capek sekolah?"

"Capek semuanya."

Maddy menelan ludah, lalu berkata lembut, "Gue ngerti. Tapi lo gak sendirian, Zi."

Zia tersenyum tipis. Senyum tanpa hangat. Senyum yang lebih mirip retakan.

"Gue tau," katanya. "Tapi tetep aja rasanya kayak sendirian."

Angin pagi berembus, membawa suara langkah siswa lain yang menuju kelas. Dunia di sekitar mereka tampak normal, tapi bagi Zia dunia itu sama sekali tidak normal.

Ia ingin bebas dari cerita ini.

Bebas dari skrip yang menyakitinya.

Bebas dari pengarang yang menjadikan hidupnya sebagai drama murahan.

"Tapi ya sudahlah," bisik Zia dalam hati. "Gue cuma karakter, mungkin kapan-kapan gue bisa balik ke dunia asal gue."

Maddy berdiri, menepuk bahu Zia. "Ayo. Bel sebentar lagi bunyi."

Zia bangkit. "Iya."

Mereka berjalan berdampingan menuju gedung sekolah. Maddy berceloteh tentang hal-hal remeh seperti rumor kelas, guru baru yang katanya kaku, sampai gosip seputar kakak kelas yang bertengkar.

Zia mendengarkan tapi pikirannya berkeliaran jauh dari percakapan itu. Sesekali ia mengangguk, sesekali berpura-pura tersenyum.

Namun amarah, lelah, dan rasa muaknya masih berputar di dalam dadanya.

Hari ini ia ingin tenang.

Walau hanya sebentar.

Tapi seperti yang sudah ia alami sejak lama, ketenangan adalah hal yang paling sulit ia dapatkan.

***

Leon baru saja keluar dari kelasnya bersama teman-temannya, meski ia murid pindahan namun karena sikapnya yang ramah ia sangat mudah mendapatkan teman.

Ketika Leon melewati koridor, langkahnya di hadang oleh sesosok remaja yang menjadi most wanted di sekolah tersebut, Arza.

"Eh, tumben lo datang ke kelas gue?" Tanya Leon begitu berhadapan dengan Arza.

"Ikut gue," kata Arza dingin.

Leon mengangkat alisnya. "Gue ada kelas abis ini. Lo ada urusan apa sama gue?"

Arza tidak menjawab. Remaja itu hanya memutar badan dan berjalan begitu saja, seakan Leon tidak punya pilihan selain mengikuti. Cara berjalan Arza terlihat santai, tetapi aura dinginnya membuat beberapa siswa otomatis menyingkir dari jalurnya, namun bagi Leon itu biasa saja.

Leon mendecak kecil. "Nih anak sok banget," gumamnya pelan, tetapi tetap mengikuti dari belakang.

Mereka berhenti di tangga menuju rooftop. Arza membuka pintu tanpa berkata apa pun, mendorongnya hingga berderit. Angin menerpa wajah mereka, seakan sengaja memberikan tanda bahwa ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi.

Arza berdiri di tengah rooftop, lalu menatap Leon dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Lo kenapa manggil gue kayak gini? Ada masalah apa?" Leon menatapnya tidak kalah tajam.

Arza menyelipkan kedua tangannya ke saku celana. "Gue dengar rumor. Katanya lo deket sama Zia."

Leon memutar bola matanya. "Astaga... cuma gara-gara itu? Lo manggil gue jauh-jauh ke sini cuma buat bahas Zia?"

Sorot mata Arza mengeras. "Jangan belagu, Leon. Gue cuma bilang baik-baik. Gue tanya lo."

Leon menahan tawa. "Iya, gue dekat sama Zia. Lagian, sejak kapan lo peduli Zia dekat sama orang lain? Bukannya lo nggak ada urusan apa-apa lagi sama dia?"

Ucapan itu langsung memancing sesuatu yang meletup tajam di wajah Arza.

Arza melangkah mendekat. "Jauhi Zia. Gue nggak bercanda!"

"Gue pikir lo lebay."

Arza berhenti tepat satu langkah di depannya. Napas keduanya bertemu di udara.

Rahang Arza mengeras. "Gue bilang sama lo, jangan bikin gue naik darah."

Leon menyeringai kecil. "Masalahnya, justru karena lo ngomong gitu gue makin males buat nurut."

Arza mendorong dada Leon cukup keras hingga remaja itu tersentak mundur satu langkah.

Leon menaikkan dagu. "Kenapa lo marah? Nggak terima kalo Zia beneran udah move on dari lo?"

"Leon..." Arza menatapnya dalam-dalam, mata hitamnya tampak penuh ancaman yang ditahan. "Lo itu murid baru. Lo belum paham apa-apa tentang sekolah ini."

"Lo pikir gue takut? Za, lo juga murid di sini dan lo juga belum tahu apa-apa tentang gue. So, jangan sok berkuasa di depan gue."

Arza tertawa pendek, sinis. "Gue tanya sekali lagi. Lo deket sama Zia?"

Leon mengangkat bahu. "Gue suka sama dia. Apa lo puas, hm?"

Detik itu juga, Arza benar-benar kehilangan sabarnya.

Ia mencengkeram kerah baju Leon dan menariknya cukup keras hingga napas Leon tercekat.

"Jangan bikin gue marah."

Leon mencengir meski wajahnya menegang. "Telat, Za. Lo udah marah dari tadi."

"Brengsek!"

Leon terkekeh. "Makasih."

Leon menyingkirkan tangan Arza dari kerahnya, menepuk bekas cengkeraman itu.

"Kalo lo mau larang gue deket sama Zia, kasih gue alasan yang layak. Bukan cuma karena lo ngerasa bisa ngatur hidup orang seenak jidat lo."

Arza menelan amarahnya sampai rahangnya tampak mengencang.

Leon menyeringai tipis. "Gue cabut. Kalo lo mau ngomong baik-baik, ya ngomong. Kalo cuma mau ngancam, gue nggak suka sama orang yang terlalu naif."

Leon berbalik pergi, meninggalkan Arza yang berdiri terpaku dengan dada naik turun menahan emosi yang hampir meledak.

Arza menatap punggung Leon lama, matanya menyipit seperti menyimpan sesuatu yang tidak akan diselesaikan hanya dalam satu hari.

"Sialan!" Umpatnya murka.

1
kriwil
jalang maruk🤣 semau laki mau di embat
Rossy Annabelle
no coment 🤧huhu
Heni Mulyani
lanjut author 💪
Murni Dewita
double up thor
Zee✨: bsk² yak hehe
total 1 replies
Murni Dewita
👣👣
Wahyuningsih
kpn thor zia bahagia 🤔🤔kan kasihan q jdi males mau baca soalnya zia d tindas mulu haaaaaaaaaah
Zee✨: sabar belum jg pertengahan kak😄
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut author
Heni Mulyani
lanjut
Sribundanya Gifran
lanjut💪💪💪💪
Sribundanya Gifran
lanjut
Dewiendahsetiowati
part yang bikin nyesek
Wahyuningsih
thor buat mereka yg menyakiti zia menyesal d buat segan matipun tk mau n buat gaby terpuruk n menderita oran g kok manipulatif gedek q sebel banget d tnggu upnya thor yg buanyk n hrs tiap hri sehat sellu thor jga keshtn tetp 💪💪💪💪💪💪
Heni Mulyani
lanjut
Wahyuningsih
thor perasaan novel author yg lain blm pd tamat trus anda jga jrng up kk udah ada novel bru yg lma gimna d tamti dlu lah thor jgn d gantung syg klau gk d lanjutin 🤔🤔🤔🤔
Zee✨: itu udh tamat kak, sengaja di bikin gantung buat season 2 nanti hehe
total 3 replies
Sribundanya Gifran
lanjut thor
Sribundanya Gifran
lanjut up yg bnyak thor💪💪💪💪
Zee✨: Siappp, tungguin yakk
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut author
Zee✨: okeee
total 1 replies
Heni Mulyani
lanjut 💪
Heni Mulyani
lanjut
Heni Mulyani
lanjut 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!