NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:547
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 26 Gema di Balik Akar

Matahari baru saja menembus pepohonan ketika mereka bersiap melanjutkan perjalanan. Api unggun semalam tinggal abu. Mauryn berdiri agak jauh, menatap ukiran di pohon tua yang mereka temukan semalam. Jemarinya menyentuh perlahan simbol bintang itu, seolah berharap bisa mendengar suara ayahnya.

Revan menghampiri, suaranya rendah.

“Kamu tidak tidur semalaman.”

“Aku tidak bisa. Rasanya setiap kali aku memejamkan mata, aku melihat ukiran ini. Aku merasa… ada sesuatu di baliknya.” Mauryn tersenyum samar.

Ardan yang baru saja bangun, menguap keras.

“Kalau aku, yang kulihat hanya mimpiku ditengah hutan penuh nyamuk. Boleh kita segera jalan? Aku butuh alasan kenapa aku masih ikut kalian.”

“Kamu ikut karena tanpa kamu, perjalanan ini akan terlalu sepi.” Revan menoleh sekilas.

Ardan mendengus, tapi tak bisa menahan senyum tipis.

“Itu pengakuan, atau ejekan?”

“Mungkin benar. Kita butuh satu sama lain. Jadi ayo… kita cari tahu apa yang sebenarnya ditinggalkan ayahku.” Mauryn menoleh pada keduanya.

Mereka berputar mengelilingi pohon, meneliti batang dan akar. Pada awalnya tak ada yang berbeda, hingga Mauryn menyadari sebuah rongga kecil di antara akar yang menonjol. Ia berlutut, menyibakkan tanah dan dedaunan kering.

“Revan… Ardan… lihat ini.”

Revan segera jongkok di sampingnya, sementara Ardan tetap berdiri, menatap curiga.

“Lubang kecil,” kata Revan, suaranya serius.

“Terlalu rapi untuk sekadar rongga alami.”

Mauryn mengulurkan tangan, tapi Revan cepat menahan pergelangan tangannya.

“Jangan. Bisa jadi ada jebakan.”

Ardan menyilangkan tangan.

“Akhirnya ada yang berpikir logis. Aku sudah bilang berkali-kali, ayahmu mungkin punya cara… tidak ramah untuk melindungi rahasia ini.”

Mauryn menggigit bibir, lalu menatap Revan.

“Kalau begitu… apa yang harus kita lakukan?”

“Kita butuh sesuatu untuk menggali lebih dalam tanpa menyentuh langsung.” Revan menatap rongga itu, berpikir sejenak.

Ardan cepat menyambar ranting besar, lalu menyerahkannya pada Revan.

“Silakan, pahlawan.”

Revan menusukkan ranting ke dalam rongga itu dengan hati-hati. Tak ada suara. Tak ada jebakan. Perlahan, ia mendorong lebih dalam hingga terdengar bunyi “klik” samar.

Mauryn menahan napas.

Tiba-tiba tanah bergetar pelan. Dari balik akar, sebuah batu pipih bergerak turun, membuka celah yang lebih besar.

“Whoa!” Ardan mundur cepat.

“Aku tidak yakin suka dengan kejutan ini.”

“Ini… pintu.” Mauryn merangkak mendekat, matanya berbinar.

“Pintu tersembunyi. Dan ini jelas buatan tangan.” Revan mengangguk.

Celah itu cukup besar untuk dilewati satu orang. Udara dingin keluar dari dalam, bercampur aroma lembap tanah tua.

“Siapa duluan?” Ardan bertanya dengan nada separuh bercanda, separuh cemas.

“Kamu.” Revan langsung menatapnya.

“Hei! Kenapa aku? Aku kan cuma….” Ardan terbelalak.

“Karena kalau aku masuk duluan, dan ada bahaya, kamu akan kabur. Kalau kamu yang masuk dulu, aku bisa menarikmu keluar sebelum kamu lari,” balas Revan datar.

Mauryn menahan tawa kecil meski gugup.

“Sudah, aku yang masuk dulu.”

“Tidak.” Revan segera menggeleng.

“Tapi ini peninggalan ayahku. Aku harus….”

“Kamu akan tetap masuk, tapi aku duluan. Aku pastikan aman. Baru kamu menyusul.”

Tatapan mereka bertemu. Mauryn melihat kesungguhan di mata Revan, dan akhirnya mengangguk.

“Kalau kalian selesai dengan tatap-tatapan itu, bisa kita mulai? Aku tidak mau menginap dua malam di pohon tua ini.” Ardan mendesah keras.

Revan menyalakan obor kecil dari kain yang dibasahi minyak. Dengan hati-hati, ia masuk ke dalam celah. Suara langkahnya terdengar bergema.

“Revan?” panggil Mauryn.

“Tidak ada bahaya… sejauh ini. Jalannya sempit tapi aman. Kalian bisa turun.”

Mauryn masuk lebih dulu, lalu Ardan. Lorong itu ternyata menurun, dindingnya dipenuhi akar yang merambat seperti urat. Udara semakin dingin dan lembap.

“Ini seperti perut bumi,” gumam Ardan.

“Aku sudah menyesal ikut.”

Mauryn menatap sekeliling.

“Tidak… ini seperti jalur rahasia. Ayah pasti sengaja membuatnya.”

Revan melangkah lebih jauh, dan cahaya obornya memperlihatkan sesuatu di ujung lorong: sebuah ruangan batu kecil, hampir seperti gua buatan.

Di tengahnya, berdiri sebuah altar rendah dari batu.

Mereka bertiga berhenti. Hening sejenak, hanya terdengar tetesan air dari dinding gua.

Mauryn melangkah maju perlahan. Di atas altar itu, ada sebuah kotak kayu tua, ukirannya sama persis dengan simbol di batu dan pohon.

“Ini… kotak ayahku.” Tangannya bergetar.

“Kamu yakin bukan jebakan?” Ardan langsung menahan napas.

Revan maju mendekat, meneliti kotak itu.

“Ada mekanisme, tapi terkunci. Aku tidak lihat tanda bahaya.” Revan maju mendekat, meneliti kotak itu.

“Boleh kubuka?” Mauryn menatapnya penuh harap.

“Kamu yakin siap dengan apa pun yang ada di dalam?” Revan menatap matanya.

“Aku harus siap.” Mauryn menarik napas dalam.

Perlahan, ia membuka kotak itu. Engselnya berderit, suara tua yang membuat bulu kuduk berdiri.

Di dalamnya, bukan liontin. Tapi selembar perkamen tua yang digulung.

Mauryn meraihnya dengan hati-hati. Ia membuka gulungan itu, dan mata mereka bertiga langsung menatapnya.

Tulisan tangan yang tegas, namun tergesa

“Bagi yang menemukan ini, carilah cahaya bintang yang terjebak di air. Di sanalah liontin akan bersinar.”

Mereka bertiga terdiam.

“Cahaya bintang yang terjebak di air? Apa-apaan itu? Ayahmu penyair atau apa?” Ardan akhirnya bersuara.

Mauryn menatap perkamen itu dalam-dalam.

“Tidak. Itu petunjuk… yang hanya bisa dipahami kalau kau mengenalnya.”

“Aku rasa ini mengarah pada tempat tertentu. Dan kita harus menemukannya sebelum orang lain melakukannya.” Revan mengangguk pelan.

Mauryn menggenggam perkamen itu erat, matanya berkilat.

“Aku tidak akan berhenti. Apa pun yang terjadi, aku harus menemukan liontin itu.”

Ardan mendesah panjang, lalu tersenyum getir.

“Ya ampun. Aku sudah terlalu jauh untuk mundur. Baiklah. Aku ikut.”

Revan menatap keduanya, lalu berkata dengan suara tegas.

“Kalau begitu… perjalanan kita baru benar-benar dimulai.”

Obor bergoyang, bayangan mereka memanjang di dinding gua. Dan dalam hati masing-masing, mereka tahu: jalan di depan akan lebih berbahaya, tapi juga lebih menentukan.

Bersambung…

Hai semua mohon dukungannya yah untuk Like, komen dan pastinya Vote karya othor..

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!