NovelToon NovelToon
Bintang Untuk Angkasa

Bintang Untuk Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Balas dendam pengganti
Popularitas:885
Nilai: 5
Nama Author: Intro_12

Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.

Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.

Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Surat dari Langit

Talita menyesap perlahan teh hangatnya di pagi hari. Uap tipis mengepul dari cangkir, menyentuh wajahnya yang masih segar oleh embun pagi. Dari balik jendela kamarnya, ia menatap hamparan tanaman yang hijau, seolah-olah alam sedang menghiburnya dengan bisikan lembut. Ada damai yang sulit dijelaskan.

Dulu, setiap kali Kamila berseloroh tentang dirinya yang suatu hari akan menjadi istri Langit, Talita selalu menertawakannya. Baginya, itu hanyalah lelucon kecil, kalimat iseng seorang ibu yang berharap banyak untuk anaknya. Hatinya waktu itu tak pernah tergelitik, apalagi tergerak. Kalimat itu sekadar lewat, seperti angin yang hanya menyentuh kulit tapi tak pernah sampai ke relung hati.

Talita memang sejak lama dicap sebagai “anti-romantis.” Sejak duduk di bangku sekolah, ia tak pernah benar-benar membuka hati. Banyak lelaki yang mencoba mendekat, berusaha menembus bentengnya, tapi semua gagal. Talita selalu punya alasan untuk menolak, pendidikan yang harus dikejar, cita-cita yang ingin diraih, dan keyakinan bahwa cinta hanyalah gangguan yang lebih banyak mendatangkan luka daripada manfaat.

Namun sekarang… semuanya terasa berbeda.

Langit. Pria itu, yang jarang bicara, yang hanya menyampaikan isi hatinya lewat tatapan dan gerakan kecil, diam-diam berhasil menyelinap ke dalam ruang hatinya yang paling sunyi. Tak ada gempita, tak ada janji manis, tak ada gombalan. Hanya keheningan, hanya kebersamaan yang sederhana, tapi entah mengapa begitu menenangkan.

Talita merasakan ada sesuatu yang selama ini ia tolak dengan keras, justru datang perlahan, menyejukkan, dan ia tak kuasa lagi menepisnya. Rasanya seperti menemukan oase di padang gurun panjang kehidupannya. Setiap kali Langit tersenyum samar, setiap kali ia berusaha menatap tanpa kata, Talita merasa hatinya ikut berdetak lebih hangat.

Ia tahu bahwa semua kebahagiaan itu hanyalah permainan kimiawi otak, dopamin yang membanjiri setiap sel, membuatnya seolah melayang. Tapi apa benar hanya sesederhana itu? Bagaimana bisa seorang Langit, dengan segala keterbatasannya, mampu memberi perintah kepada otak Talita untuk mengeluarkan dopamin bahagia? Apakah itu bukan keajaiban?

Ya. Cinta, ternyata memang sebuah keajaiban.

Keajaiban yang membuat seorang wanita yang dulu menganggap cinta tidak penting, kini justru bergantung pada hangatnya perasaan itu.

Talita tersenyum samar, membayangkan andai saja benar ucapan Kamila dulu. Andai benar Langit memilihnya, menerimanya bersama Bintang. Tapi, pikiran lain segera mengganggu. Apakah Langit akan sudi menerima dirinya yang bukan perempuan “sempurna”? Ia seorang perempuan dengan seorang anak. Bukankah itu akan menjadi beban bagi siapa pun yang bersamanya?

^^^^^

Sementara itu, di kamar sebelah, Langit duduk di kursi rodanya. Tangannya bergerak pelan, mencoret-coret di atas selembar kertas. Ia sedang menuliskan kejadian yang sempat ia lihat di klub malam itu, tentang siapa sebenarnya Talita dan Bintang. Karena lidahnya tak lagi bisa mengucap, hanya tulisanlah yang bisa menjadi suaranya.

Bintang berdiri di belakangnya, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu. Bocah kecil itu memperhatikan setiap goresan pena Langit, seolah mengerti bahwa kertas itu menyimpan sesuatu yang penting. Begitu Langit selesai, ia melipat kertas itu, lalu menyerahkannya pada Bintang.

“Untuk Angkasa,” tulisannya singkat di depan kertas.

Bintang menerima kertas itu dengan kedua tangannya yang mungil, lalu berlari ke arah mobil tempat Angkasa sudah bersiap. Nafas kecilnya terengah, tapi ia tetap tersenyum. Dengan polos ia berkata, “Ini dari Tuan Langit.”

Dari jendela kamar, Langit menatap kepergian mereka, matanya dalam dan berat. Saat itulah perasaan yang selama ini ia simpan membuncah.

“Andai saja…” gumamnya dalam hati.

Andai saja Talita dan Angkasa tidak memiliki keterikatan apa pun.

Andai saja Talita benar-benar bebas.

Jika saja itu kenyataannya, Langit bersumpah akan berjuang. Ia akan menjadikan Talita ratunya, menjaga setiap senyum dan setiap air matanya. Ia akan membuat Talita lupa bahwa pernah ada luka, pernah ada masa lalu yang pahit. Ia ingin menjadi tempat pulang bagi wanita itu.

Tapi semua hanya “andai.”

Kenangan tentang almarhum Dewandra Zibrano, ayah Angkasa, kembali berputar dalam pikirannya. Lelaki bijak itu pernah berpesan, agar Langit selalu menjadi kakak bagi Angkasa. Agar ia bersedia mengalah, menjaga, dan mendukungnya. Pesan terakhir itu terpatri kuat, terlalu kuat untuk diabaikan.

Maka di hadapan perasaannya sendiri, Langit memilih diam.

Ia memilih menahan luka itu dalam dada, memilih mengalah meski hatinya hancur.

Namun, semakin ia mencoba menghindar, semakin wajah Talita menghantuinya. Senyum lembutnya, tatapan matanya, bahkan suaranya yang sederhana terasa menggema di kepalanya.

Langit menarik napas panjang, menatap kursi rodanya, menatap keterbatasan tubuhnya. Dalam hati ia berbisik lirih,

“Jika bukan aku, semoga Angkasa bisa menjagamu lebih baik dariku, Talita.”

^^^^

Di ruang kerjanya yang megah, Angkasa membuka lipatan kertas pemberian Bintang. Alisnya langsung berkerut. Ia menatap kertas itu beberapa detik, lalu mendengus pelan.

Bukan tulisan, bukan catatan penting seperti yang ia kira.

Hanya coretan gambar sederhana, gambar anak-anak PAUD dengan pensil warna.

“Bintang…” Angkasa berbisik kesal, sambil meletakkan kertas itu di meja. Ia menganggap bocah itu hanya salah paham, atau mungkin main-main. Ia sama sekali tak tahu bahwa kertas yang sebenarnya kini sedang berada di tangan kecil anak itu sendiri.

^^^^

Bintang, dengan wajah lugu namun sorot mata penuh rasa ingin tahu, membawa kertas itu ke sekolah. Ia menyelipkannya di buku gambarnya. Saat teman-temannya sibuk menggambar bunga, rumah, dan matahari, Bintang diam-diam membuka lipatan kertas itu.

Tulisan Tuan Langit tersusun rapi, meski agak tergesa. Mata Bintang membaca setiap kalimatnya dengan lancar. Langit tak tahu, Langit tak sadar, bahwa anak sekecil itu sebenarnya jenius. Ia bisa membaca lebih cepat dari teman-teman seusianya.

Semakin ia membaca, dada kecilnya semakin sesak. Tulisan itu berisi kebenaran yang selama ini samar-samar ia rasakan, tapi tak pernah ada yang menjelaskan. Tentang siapa dirinya. Tentang Mama. Tentang Tuan Angkasa. Tentang ketiadaan sebuah “pernikahan” yang seharusnya menaungi dirinya.

Tangan mungil Bintang bergetar. Matanya panas, lalu air bening mulai jatuh satu per satu, membasahi kertas itu.

“Bintang, kenapa sayang? Ada apa?” suara Bu Guru lembut, melihat murid kecilnya menangis sendirian di bangku.

Tapi Bintang buru-buru menggeleng, menyeka matanya dengan punggung tangan. Ia cepat-cepat melipat kertas itu lagi, menyembunyikannya dari pandangan orang lain. Ia tak mau ada yang tahu, tak mau ada yang melihat rahasia itu.

Dengan langkah tergesa, ia bangkit dari bangku dan berlari keluar kelas. Nafas kecilnya terengah, tapi ia terus berlari sampai ke belakang sekolah, tempat yang sepi.

Di sana, di balik pohon besar, Bintang terisak semakin keras. Suara tangisnya pecah, bukan sekadar tangisan anak kecil yang kehilangan mainan, tapi tangisan dari hati yang terlalu cepat mengenal luka.

“Kenapa aku beda sama mereka…” gumamnya lirih, suaranya bergetar.

“Mama punya aku… tapi Mama sama Tuan Angkasa nggak menikah. Aku… aku anak yang nggak sama kayak teman-temanku.”

Kertas itu kembali dibukanya, air matanya menetes lagi hingga huruf-huruf tinta mulai buram. Ia memeluk kertas itu erat, seolah-olah di dalamnya ada jawaban, padahal yang ada hanyalah kejujuran pahit yang belum sanggup ia terima.

Bintang menunduk, bahunya kecil tapi terasa begitu berat menanggung rahasia yang terlalu besar untuk usianya.

1
Asih S Yekti
lanjut , cerotanya bagus aku suka
Asih S Yekti
penulis baru tp bagus kok g banyak tipo penyusunan bahasanya juga bagus
Intro: Trimakasiih.. /Smile/
total 1 replies
Ceyra Heelshire
kasian banget /Whimper/
Intro
Hai, ini karya pertama ku..
makasih sudah mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!