NovelToon NovelToon
Gara-gara Buket Bunga

Gara-gara Buket Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: hermawati

Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.


Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tak Sengaja Bertemu Mantan

"Jadi Lo mau pulang kampung?" Tanya Haris di sela-sela waktu bekerja.

"Iya Mas, adik aku nikah besok." Jawab Sandi.

"Kenapa nggak minta cuti dari kemarin? Atau Senin depan." Tambah Willy.

"Nggak enak bang, aku kan baru sebulan di sini." Sebenarnya Sandi tidak berniat pulang kampung, tapi tak mungkin dia mengakui pada rekan kerjanya. Kecuali Indah, yang memang sering menjadi tempat curhatnya.

"Bener tuh, itungannya di sini Sandi itu staf baru. Lagian kerjaan kita lagi banyak, kalau nggak penting-penting banget. Nggak usah cuti." Sela Indah.

Sandi tak akan tersinggung, karena dia tau Indah sedang membelanya. Walau mungkin terkesan tak berperasaan.

"Nggak penting gimana, mbak! Ini itu adik kandungnya Sandi loh!" Willy membantah.

"Kalau adik kandung emang kenapa? Jaman sekarang biarpun kandung, yang penting transferan buat acaranya udah dikirim duluan. Jadi pasti nggak akan ada yang protes." Indah melirik ke arah si bungsu.

Seminggu lalu saat makan siang bersama, Sandi mengeluh soal ibunya yang meminta sejumlah uang untuk acara resepsi adiknya. Padahal saat itu belum waktunya gajian. Alhasil, Sandi meminjam uang di kantor atas nama Indah.

"Setuju gue itu!" Haris mengacungkan pulpen yang sedang dipegangnya. "Sekarang yang penting itu duit, mau saudara kandung sekalipun. Giliran kita butuh, kagak ada tuh yang nolongin."

"Curcol Lo!" Indah melirik sinis asisten manajer.

"Elah Ndah, itu bukan cuma gue. Lo pasti juga, kan?" Haris menatap balik rekannya. "Lo ditega-tegain ninggalin Irene dan Nino, demi cuan juga! Kalau kita nih, sandwich generation nggak banting tulang. Keluarga kita mau makan apa?"

"Wah ... Rame nih! Bawa-bawa Sandwich generation segala, gue juga termasuk." Seru Ringgo yang baru masuk diikuti Arka, mereka baru saja rapat dengan divisi lain.

"Gue juga, bang!" Arka ikut nimbrung. "Willy doang yang jadi anak tunggal, nggak mikirin dapur orang juga." Tambahnya.

"Apaan sih Lo Ka! Tanggungan gue juga banyak." Willy menyebutkan cicilan KPR, mobil yang cukup menguras gajinya.

"Kenapa jadi merembet kemana-mana? Kan aku yang mau pulang kampung." Sandi menengahi, walau tak sampai bertengkar. Tetap saja dia tidak enak. Awal mulanya karena membicarakannya.

"Jadi entar Lo nggak lembur, dong?" Tanya Arka.

"Nggak Bang! Senin deh, aku lembur." Jawabnya.

"Lo naik pesawat atau kereta, San?" Tanya Ringgo, dia mengambil kursi cadangan dan duduk di samping Haris. "Ris, periksa ulang hasil rapat gue sama Pak Leon." Dia membuka laptopnya.

"Pesawat bang!"

"Wah ... Abis gajian, gas lah naik moda transportasi cepat." Seru Willy.

"Dibayarin dia sama cowoknya." Celetuk Indah.

Sandi mendelik, sementara rekan kerjanya yang laki-laki kompak menatap ke arahnya. "Mbak Indah, ihhh ... Aku malu." Wajahnya memerah.

"Wah ... Selamat ya! Si bungsu kita akhirnya punya sandaran selain rekan kerja." Ujar Haris.

"Orang mana, San?" Tanya Arka.

"Kerja di mana?" Tanya Ringgo.

"Sama gue gantengan siapa?" Giliran Willy yang memang memiliki fisik good looking di antara rekan satu divisi. Walaupun begitu, dia sudah memiliki istri.

"Gantengan pacarnya Sandi lah." Sela Indah.

"Ah ... Masa sih? Nggak percaya gue." Willy tak terima.

"Lo menang cerah doang. Pacarnya Sandi mah mas-mas Jawa, ganteng dan idaman mertua."

"Elah mbak! Jujur amat, sekali-kali bilang gitu kalau gue ganteng." Willy mendesis kesal, seniornya yang satu ini hobi sekali mengejeknya.

Perdebatan di sela-sela jam kerja, sudah terbiasa Sandi dengar selama bekerja di sana. Awalnya dia sedikit takut, tapi seiring berjalannya waktu. Sandi bisa menerima, dan terkadang ikut serta dalam perdebatan. Kata sang manajer, hal itu dibiarkan untuk penghiburan agar tak terlalu tegang dalam bekerja.

***

"Lo nggak mandi dulu?" Tanya Indah sambil melipat mukena.

Mereka biasa melakukan ibadah di ruang arsip. Malas turun ke mushola yang masih satu lantai dengan kantin perusahaan.

"Cuci muka sama sikat gigi aja. Entar juga kena debu jalanan lagi." Sahut Sandi.

"Terus pacar Lo entar jemput gitu ke sini?"

Sandi mengangguk, "katanya mau nunggu di lobi. Terus bareng ke stasiun."

Selesai melipat mukena, Indah bersandar ke lemari arsip. "Saran gue, mau gimana besarnya cinta Lo sama dia. Lo jangan mau digituin. Inget ya! Jadilah perempuan terhormat." Indah bagai kakak yang sedang mengingatkan adiknya.

"Iya mbak! Aku bakal ingat," Sandi merasa beruntung memiliki senior yang peduli padanya. "Doain aku, biar kuat menghadapi keluarga besar."

"Pasti, yang penting Lo harus pede. Toh sekarang Lo udah punya pacar yang bisa Lo pamerin." Indah menyemangati.

"Terima kasih, ya Mbak!"

***

Masih dalam satu gedung tapi berbeda lantai, Ari memasuki lobi sambil menggendong carrier di punggungnya. Dia juga mengenakan topi dan jaket hitam. Ada ponsel di tangannya, Ari sedang berkirim pesan dengan kekasihnya guna memberitahukan jika dirinya telah tiba.

Kurang dari lima belas menit lagi, jam kerja pacarnya berakhir. "Ngopi dulu kali, ya?" Monolognya. "Sekalian beliin ayang kue, ah ...!!!" dia mengirimi kembali pesan pada Sandi, agar gadisnya itu memesan kue untuk kudapan selama perjalanan menuju stasiun.

Ari tersenyum, begitu melihat balasan dari sang pujaan hati. Selain menyebutkan jenis kue, Sandi mengiriminya emoticon hati dan bibir. "Ayang gemesin banget, jadi makin sayang kan?" Dari pintu lobi, dia berbelok ke kanan menuju kedai kopi.

Sejak memutuskan bersama dengan gadis asal Malang, Ari merasa hidup yang semula suram. Kini berwarna dan kembali bersemangat. Belum lagi, dirinya yang merasakan rindu. Padahal sehari mereka bisa bertemu sampai tiga kali.

Ari bagai anak baru gede yang sedang mengalami masa pubertas. Padahal usianya sudah menginjak kepala tiga. Masa iya puber keduanya datang secepat ini.

"Mas Ari ..."

Merasa namanya dipanggil, reflek Ari menoleh. Tatapannya bertemu dengan wanita yang pernah menghancurkan hidup dan impian masa depannya.

Tubuhnya mematung, ini pertama kali keduanya bertemu tanpa bersama siapapun. Suara bising sekitar lobi, mendadak tak terdengar lagi pada indera pendengarannya. Seolah waktu berhenti dan hanya ada mereka berdua.

"Mas Ari apa kabar?"

Pertanyaan itu, seketika membuat Ari tersadar. Ingatan senyum pacar barunya seolah mengingatkannya untuk tidak lagi menaruh harap pada mantannya. "Aku baik, seperti yang kamu lihat." Jawabnya.

"Kamu ada perlu apa di sini? Apa kamu ada janji dengan suaminya Mia?" Tanya Rumi.

Ari menggeleng, "nggak." Jawabnya.

"Apa kamu mau beli kopi?" Jari Rumi menunjuk kedai kopi di belakangnya.

"Hmm ... Aku duluan." Meski rasanya campur aduk, Ari berusaha mati-matian untuk tetap terlihat tenang. Sudah cukup dulu dia memohon belas kasih pada mantannya. Ari melewati Rumi begitu saja, menuju konter pemesanan. Dia berusaha tak peduli dan memperhatikan ekspresi wanita itu. Hanya awalnya dia melihat mata Rumi, setelahnya Ari memilih mengalihkan tatapan matanya ke tempat lain.

"Tunggu Mas!" kata Rumi seraya menghampiri.

Ari sedang menyebutkan pesanan kopi untuknya sendiri dan meminta bungkus kopi serta dua jenis kue pesanan Sandi. Jadi saat Rumi menghampirinya, Ari bersikap tak acuh.

"Mas, aku minta waktu sebentar. Aku mau bicara." Pinta Rumi.

"Iya mbak, buatnya sepuluh menit lagi. Sekalian sama kuenya." Ari menyahut pertanyaan dari kasir. Dengan kata lain, dia mengabaikan mantannya. "Saya tunggu di sana." Ari menunjuk kursi kosong tepat di samping dinding kaca.

Begitu transaksi pembayaran selesai, Ari melewati Rumi begitu saja dan melangkah menuju kursi yang tadi ditunjuk nya.

Rumi mengikuti dan duduk tepat di hadapan lelaki yang menggendong Carrier di punggung. "Mas ..."

Ari menatap sekilas, hanya sekilas. Selanjutnya matanya tertuju pada layar ponsel bergambar pacarnya. Baru saja Sandi mengirimi foto selfie atas permintaannya. Ari beralasan ingin melihat wajah gadis itu, kangen katanya. Ari berharap dengan melihat senyum manis sang kekasih, perasaannya tak goyah.

"Aku mau minta maaf atas segala hal buruk di masa lalu, yang pernah aku lakukan pada kamu." Rumi mulai membuka pembicaraan.

"Udah aku maafin." Sahut Ari, lagi-lagi tanpa melihat mantannya. Matanya benar-benar tertuju pada bibir gadisnya. Dia ingat rasa manis bibir itu. Tanpa sadar Ari menjilat bibirnya sendiri.

"Mas, kamu dengar aku nggak?"

Suara mantannya itu mengganggu fantasinya soal kekasihnya. Ari mendesis, lalu menaruh ponselnya dengan posisi terlungkup. "Aku dengerin, kamu mau minta maaf dan aku sudah memaafkan kamu dari lama. Udah, gitu doang kan?" Sepertinya sosok Sandi, benar-benar efektif untuk dirinya bisa cepat melupakan cinta pertamanya. Tau begini, sudah dari tiga tahun lalu. Ari memacari gadisnya.

Raut wajah terkejut tergambar jelas di wajah Rumi. Mungkin ini pertama kalinya Ari bersikap kurang ramah padanya.

"Begini Rumi," Ari melipat kedua tangannya di meja. Posisi tubuhnya tegak, bagaikan seorang murid yang sedang belajar di kelas. "Sudah lama sekali aku memaafkan kamu, jadi tidak usah lagi merasa bersalah atau sejenisnya. Kamu sudah berbahagia dengan keluarga kecil kamu. Begitu juga aku, yang sudah memiliki kehidupan sendiri dan sedang meraih kebahagiaan. Jadi bisakah kita hanya saling menyapa, jika bertemu. Tanpa perlu membahas masa lalu?"

Rumi terdiam dan menunduk. "Bukankah suami kamu tipe pencemburu? Jadi harap jaga jarak, karena aku tidak mau dicap sebagai perusak rumah tangga orang." Ari mengatakannya dengan tegas, dia harus menarik garis batas. Tak ada lagi istilah ramah pada lawan jenis termasuk mantannya. Ari sadar, harus menjaga perasaan gadisnya. Jangan sampai kekasihnya merajuk. Bisa gila dia, gara-gara diabaikan sosok perempuan yang kini menghuni hatinya.

Ucapan Ari sontak membuat mata Rumi berkaca-kaca, dia menggumamkan kata 'maaf' berkali-kali.

"Bu Bos ..."

Otomatis kedua orang itu menoleh ke arah sumber suara. Sosok suami Mia sekaligus sekertaris CEO tengah berdiri di pintu masuk kedai.

Jaka menatap mata yang memerah milik istri CEO-nya. Matanya mendelik ke arah Ari, seolah tengah memberikan peringatan.

"Saya tidak berniat menimbulkan keributan atau membuat istri atasan anda bersedih." Ari bangkit berdiri. "Beliau sendiri yang meminta waktu untuk berbicara, dan tak mungkin saya menolak. Karena bagaimanapun, beliau adalah tetangga satu kampung dan teman sekolah." Ari merasa perlu menjelaskan agar tidak ada salah paham. Dia harus menjaga perasaan gadisnya. Jangan sampai rumor buruk, membuat hubungan keduanya yang baru sebentar. Berakhir begitu saja.

"Bu Bos, mari ikut saya. Tenangkan diri anda dulu sebelum bertemu dengan Pak Dimas." Pinta Jaka Rumi.

"Mas sekali lagi aku minta maaf atas segala kesalahan di masa lalu." Begitu selesai mengatakannya, mata yang tadinya hanya berkaca-kaca. Kini pecah sudah, bulir bening membasahi pipi Rumi.

Mungkin dulu, Ari akan segera memeluk Rumi dan menenangkannya. Tapi kini? Keduanya sudah ada yang memiliki.

Panggilan kasir, membuat Ari abai akan ekspresi sedih mantannya. Yang utama saat ini adalah gadisnya, siapa lagi kalau bukan Sandi."

1
bunny kookie
top deh pokoknya 👍🏻💜💜
nabila anjani
Kak up lagi dong
Mareeta: udah aku up lagi ya
total 1 replies
bunny kookie
up lagi gak kak 😂
Mareeta: aku usahakan pagi ya kak
total 1 replies
bunny kookie
lanjut kak ☺
bunny kookie
nyampek sini aku kak thor ☺
Mareeta: terima kasih 😍 aku ingat dirimu pembaca setia karyaku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!