Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26
"Zyan?" Livia nyaris tak percaya melihat siapa yang berdiri di hadapan. Wajahnya tampak canggung, namun jelas Zyan memiliki tujuan tertentu. "Sudah lama?" tanyanya sambil mencoba menyembunyikan rasa penasaran.
"Ti-tidak ... ak-aku baru sampai tadi. Maaf, aku mengganggu waktumu bekerja. Apa aku tidak tepat datang?" jawab Zyan dengan nada ragu. Tangannya tampak menggaruk tengkuknya yang jelas tidak gatal. Kebiasaan yang selalu ia lakukan saat gugup.
Livia memalingkan wajah ke Reno yang ada di samping, mencoba mengalihkan suasana. "Reno, aku ada urusan sebentar dengannya. Kamu urus yang lainnya, ya?" Reno hanya mengangguk tanpa banyak bertanya. "Kamu ikut denganku, Zyan," lanjutnya sambil melangkah pergi. "
Livia tidak masalah dengan kedatangan Zyan. "Pekerjaanku tidak seberapa berat hari ini, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita bicara di tempat tinggalku."
Zyan patuh, mengikuti langkah Livia dengan wajah yang tampak penuh pertanyaan. "Kamu tinggal di tempat kerja, ya?" tanyanya akhirnya setelah beberapa saat diam.
"Ya. Hmmmm ... biar lebih nyaman. Tidak perlu jauh-jauh dan aku hanya perlu berjalan kaki. Masuklah," ujar Livia sambil membuka pintu tempat tinggalnya.
Zyan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan penuh rasa ingin tahu. "Tempat tinggalmu enak juga," komentarnya singkat namun tulus. "Kamu tinggal seorang diri di sini?"
Livia hanya mengangguk, membiarkan pertanyaannya menggantung di udara. Matanya memperhatikan ekspresi Zyan yang berubah-ubah, seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan tapi terlalu sulit untuk keluar. "Apa yang sebenarnya dibawa Zyan ke tempat ini?" Pertanyaannya memenuhi kepala, meski ia memilih diam dan menunggu hingga Zyan berbicara lebih dulu.
Livia mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya sedikit ragu. "Aku ambil minuman dingin dulu, ya. Tinggal sendiri memang sengaja pilihanku, jauh lebih nyaman begini. Apalagi jarak tempat kerjaku dekat sekali dari sini."
Zyan, yang tampak tidak nyaman dengan suasana ini, menggigiti bibirnya sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri berbicara, "Aku dapat alamatmu dari Kevin tadi. Sebenarnya ada sesuatu yang perlu aku bicarakan denganmu. Aku harap kamu bisa bantu aku." Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya, namun tidak bisa menyembunyikan kegelisahan di matanya.
Livia mengangguk lagi, mencoba tetap tenang meskipun perasaannya mulai terhuyung. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Zyan? Kalau aku bisa membantu, tentu aku akan coba bantu," katanya, menatap Zyan yang kini terlihat semakin gugup.
Zyan menarik napas dalam-dalam, lalu meremas jemarinya, mencoba mencari keberanian di balik ketidaknyamanannya. "Livia ... ak-aku butuh uang. Lima juta rupiah," katanya terbata-bata, suara lirihnya seolah membelah keheningan. "Ini untuk biaya berobat ibuku. Aku tidak ikut lomba yang aku bilang kemarin, aku sibuk ngurusin Ibu di rumah. Padahal niatku ikut lomba itu supaya bisa dapat uang tambahan. Tapi aku ... aku cuma kerja jadi OB di tempat kerja Paman Zira, dan penghasilanku tidak cukup untuk ini. Aku bakalan mencicil hutangnya, tapi tolong, apa kamu bisa bantu aku?"
Livia tertegun. Kata-kata Zyan itu terdengar tulus, namun perasaan aneh mulai menjalari benaknya. Entah kenapa, ada sesuatu yang terasa tak beres. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan. "Kenapa Zyan sampai harus minta bantuan seperti ini? Apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Apa benar ini hanya soal ibunya, atau ada hal lain yang dia tutupi?" Ia menggigit bibirnya perlahan, menahan desakan pertanyaan di dalam benaknya. Hatinya bergolak antara empati dan kecurigaan, namun ia memilih untuk tidak langsung menunjukkan apa yang sedang mengganggu pikirannya.
"Aku akan pikirkan hal ini dulu, Zyan," jawab Livia akhirnya, suaranya terdengar datar namun cukup jelas untuk menghindari kecurigaan lebih jauh. .
Livia tersenyum kecil saat menawarkan solusi dengan lembut, "Gimana kalau ibumu dibawa ke rumah sakit keluargaku? Nanti aku bilang ke pamanku yang di sana, pasti biaya perobatan ibumu gratis. Bahkan kalau harus rawat inap sekalipun, tetap gratis." Nada suaranya terdengar begitu tulus, ditambah ia sudah menggenggam ponselnya, bersiap menghubungi ambulans. "Perlu aku telepon ambulance sekarang untuk bawa ibumu?"
Zyan menatapnya dengan raut wajah serba salah. Dalam hati, ada rasa risih yang mulai mencuat. "Sialan, kenapa Livia selalu sulit dibohongi? Dia seperti memiliki segalanya—uang, koneksi, bahkan ketulusan yang terasa mencekikku saat ini. Bagaimana ini? Niatku cuma memanfaatkan kebaikannya, tapi kenapa jadi serumit ini?" batinnya.
Berusaha tetap tenang, Zyan menjawab dengan nada gugup, "Ti-tidak perlu telepon ambulance, Livia. Aku mau merawat ibuku di rumah saja. Biar aku sendiri yang menebus obatnya di rumah sakit." Namun, pikirannya langsung mencari alasan lain untuk meyakinkannya, "Masalahnya, ibuku itu sangat sulit diajak ke rumah sakit. Dia selalu beralasan yang tidak-tidak."
Zyan tahu kata-katanya terdengar janggal, tapi aku terpaksa melanjutkan, "Ak-aku cuman membutuhkan uangnya saja. Apa kamu bisa bantu soal itu? Bu-bukan maksudku membohongimu atau menipumu kali ini," katanya, sambil menunduk, merasa lidahnya kelu setiap kali kebohongan itu keluar dari mulut. Perasaan bersalah terus menghantui, tapi ia tak tahu bagaimana cara keluar dari kekacauan yang diciptakan ini.
"Apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Livia menyipitkan bola matanya, jelas ada niat lainnya. "Aku harus membuat perjanjian dengan, Zyan. Biar dia tidak lari dengan utang ini," batinnya.
"Masa kamu tidak percaya denganku, Livia? Kamu sudah mengetahui siapa aku? Teman-temanku, tempat kerja dan lainnya. Aku pasti mencicilnya," jawab Zyan walaupun gelisah gusar. Berharap Livia memberikan uang dengan percuma.
"Baik, aku akan meminjamkan uang senilai lima juta. Akan tetapi .... kita harus membuat perjanjian di atas materai, bagaimana?" tanya Livia tersenyum smirk, tidak peduli raut wajah Zyan menegang.
Zyan yang tidak punya pilihan lagi, harus setuju dengan perjanjian itu. "Baik, aku setuju dengan caramu. Perjanjiannya apa saja?"
"Perjanjiannya sangat mudah sekali, aku orangnya tidak mau rugi soal uang. Kamu mengertikan?" Livia menaikan satu alisnya.
"Iy-iya .... aku mengerti apa katamu," jawab Zyan dan penasaran dengan perjanjian itu.
"Aku tuliskan, ya? Pertama : Kamu harus mencicil hutangmu perbulan, minimal sejuta atau lebih. Kedua : Kalau kamu tidak mampu membayarnya, maka siap-siap menuruti perkataanku. Yang ke-tiga : Hutangmu bisa lunas, kecuali bekerja apa yang aku perintahkan. Bagaimana? Kalau kamu menolak membayar hutangmu, atau mengabaikan semua perjanjian tertera. Siap-siap menjadi buronan polisi. Kamu tidak lupa kan, siapa aku?" Livia menyodorkan kertas di depannya, sudah ditulis semua perjanjian itu.
"Bagaimana ini? Kalau aku menolaknya, jelas gagal membuat usaha Kevin bangkrut dan kehilangan dia. Aku menerima perjanjian ini, apakah sanggup membayarnya?" batin Zyan, yang tengah delima dengan semua ini.
"Kamukan mempunyai kekasih dari orang yang terpandang, bisa membantunya untuk mencicil hutang ini. Iyakan?" tanya Livia, yang membuyarkan lamunan pria di depannya.
Zyan mengusap wajahnya dengan kasar. "Masalahnya ayah Zira ..."