Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Malam hari
Kediaman keluarga Shu mulai sunyi. Di tengah koridor yang remang, seorang pelayan bergerak dengan gelagat mencurigakan, sesekali menoleh memastikan tak ada yang melihat. Langkahnya berhenti di depan salah satu kamar, kamar yang digunakan Storm.
Dengan hati-hati, pelayan itu mengeluarkan pipa bambu kecil dari balik pakaiannya. Ia menyelipkannya ke celah bawah pintu, lalu meniup perlahan. Asap tipis berwarna pucat merayap masuk ke dalam kamar, mengambang seperti kabut halus.
Begitu selesai, pelayan itu buru-buru menarik pipa itu dan menghilang di balik tikungan.
Di dalam kamar, Storm duduk di meja dengan kening berkerut. Kertas-kertas robekan berserakan; coretan tulisannya tampak berantakan.
“Sulit sekali menulis… benar-benar menyusahkan hidup di era ini,” gerutunya sambil menarik napas panjang.
Ia hendak merobek lembar berikutnya ketika alisnya terangkat.
“Kenapa ada aroma aneh, seperti…”
Kata-katanya terhenti. Kepalanya terasa berat. Dalam hitungan detik, penglihatannya mengabur. Storm mencoba berdiri, tapi tubuhnya goyah, kemudian ia tak sadarkan diri.
Tak lama kemudian, pintu kamar Storm terbuka perlahan. Mimi muncul bersama pelayan yang tadi meniupkan asap. Mereka melangkah masuk dengan hati-hati, memastikan Storm benar-benar tidak sadarkan diri.
Keduanya berhenti di depan meja tempat Storm terkulai, kepalanya terjatuh di antara kertas-kertas yang berserakan.
Mimi menatap wajah Storm dengan tatapan dingin penuh kebencian. Bibirnya melengkung sinis.
“Ingin melawanku? Lihat saja,” bisiknya. “Malam ini namamu akan tercemar. Jangan pernah berharap bisa merebut Jenderal Fang dariku. Papa dan Mama juga akan mengusirmu.”
Seolah semuanya sudah direncanakan matang, dua pria bertubuh besar tiba-tiba masuk setelah mengetuk singkat. Mereka menunduk memberi hormat.
“Nona Shu,” sapa mereka sopan namun tegang.
“Kalian tahu kan apa yang harus kalian lakukan?” tanya Mimi dengan suara rendah namun sarat ancaman. Mata gadis itu menyipit, penuh kepuasan jahat atas skenario yang ia ciptakan.
“Kami mengerti, Nona,” jawab dua pria itu serentak. Keduanya berdiri tegap, wajah tanpa ekspresi, seakan sudah terbiasa menerima perintah kotor.
Mimi mengangguk kecil, senyumnya melebar. “Bagus.”
Ia kemudian menoleh pada pelayan yang berdiri gelisah di sampingnya.
“Pergi panggil Papa dan Mamaku. Biar semua orang menonton pertunjukan ini!” ucap Mimi sambil merapikan rambutnya, seolah ia hendak naik panggung.
Pelayan itu menunduk dalam-dalam. “Baik, Nona!”
Ia lalu berlari keluar kamar dengan langkah terburu-buru. Di luar sana ia mengubah wajahnya menjadi penuh kepanikan, lalu berteriak lantang,
“Tuan Besar! Nyonya! T-terjadi sesuatu pada Nona!”
Suara itu menggema di sepanjang halaman yang gelap.
Ia terus berlari menuju kamar kedua orang tua Ah Zhu, lalu mengetuk pintu dengan keras sambil berpura-pura terengah-engah.
“Tuan Besar, terjadi sesuatu pada Nona!” serunya lagi, membuat seluruh lantai seakan tersentak.
Pintu terbuka, memperlihatkan Ah Ming dengan wajah bingung
“Ah Lie, ada apa? Kenapa kau terlihat cemas seperti ini?” tanyanya, memandang pelayan itu dari ujung kepala sampai kaki.
“Tuan Besar… terjadi sesuatu yang buruk,” jawab Ah Lie, suaranya bergetar sempurna seperti seorang aktor terlatih. “Nona besar dia… dia…”
Dari belakang Ah Ming muncul Ah Luo, yang terlihat baru saja selesai merapikan rambut malamnya.
“Ah Lie, katakan. Apa yang terjadi pada Ah Zhu?” tanya Ah Luo dengan nada penuh kekhawatiran.
Ah Lie menunduk, mendesah panjang, seolah kalimat ini berat untuk keluar.
“Nona Besar sedang bersama pria di kamarnya,” katanya lirih namun jelas.
“Apa…?!” seru Ah Ming, wajahnya seketika memerah penuh kemarahan. Tangannya mengepal, napasnya memburu, seolah ia baru saja ditampar kenyataan.
Ah Luo terbelalak, kemudian menggeleng kuat-kuat.
“Tidak mungkin!” serunya, hampir berteriak. “Ah Zhu adalah putriku. Dia tidak mungkin melakukan hal yang memalukan!”
Namun meski mengatakan itu, kakinya justru melangkah cepat keluar kamar, mengikuti pelayan itu. Guratan kecemasan nyata tergambar di wajahnya.
Ah Ming menyusul dengan langkah besar dan amarah membara.
“Kalau itu benar… aku tidak akan membiarkan laki-laki itu hidup!” bentaknya.