Dunia tiba-tiba berubah menjadi seperti permainan RPG.
Portal menuju dunia lain terbuka, mengeluarkan monster-monster mengerikan.
Sebagian manusia mendapatkan kekuatan luar biasa, disebut sebagai Player, dengan skill, level, dan item magis.
Namun, seiring berjalannya waktu, Player mulai bertindak sewenang-wenang, memperbudak, membantai, bahkan memperlakukan manusia biasa seperti mainan.
Di tengah kekacauan ini, Rai, seorang pemuda biasa, melihat keluarganya dibantai dan kakak perempuannya diperlakukan dengan keji oleh para Player.
Dipenuhi amarah dan dendam, ia bersumpah untuk memusnahkan semua Player di dunia dan mengembalikan dunia ke keadaan semula.
Meski tak memiliki kekuatan seperti Player, Rai menggunakan akal, strategi, dan teknologi untuk melawan mereka. Ini adalah perang antara manusia biasa yang haus balas dendam dan para Player yang menganggap diri mereka dewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theoarrant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi Bloodhounds
Ruangan interogasi terasa begitu dingin, meski udara di luar panas menyengat.
Lampu redup di atas kepala Rai berayun perlahan, menciptakan bayangan panjang di dinding.
Duduk di kursi besi, tubuhnya penuh perban dan luka yang masih segar.
Darah kering menempel di ujung jarinya, sisa dari pertempuran sengit melawan Frost Basilisk.
Di hadapannya, Liora menatap tanpa ekspresi, tangannya bersedekap.
Di sebelahnya, seorang eksekutor dari Bloodhound membaca laporan dengan suara berat.
"Kian bertarung sampai akhir, tapi kau yang bertahan hidup?" tanyanya dengan nada tajam.
Rai menelan ludah, menundukkan kepala.
"Aku… tidak bisa menyelamatkannya."
Tangannya mengepal di atas lututnya, bergetar seolah menahan sesuatu.
Liora masih memperhatikannya dengan tajam.
"Diman mengatakan bahwa kau dan Kian yang terakhir bertahan, jadi...di mana tombaknya?"
Rai terdiam, matanya terlihat basah.
"Tombak itu… sudah tidak ada." Suaranya terdengar bergetar.
"Saat dia tahu serangan esnya tidak berguna, dia melemparkannya ke mulut Basilisk, aku melihatnya sendiri, senjata terakhirnya hancur saat monster itu menggigitnya."
Eksekutor melirik laporan di tangannya.
"Diman tidak melihat kejadian itu."
"Dia sudah pergi mencari bantuan!" suara Rai sedikit meninggi, emosinya meledak.
"Kian… dia…"
Rai menggigit bibirnya, lalu menunduk dalam, tubuhnya sedikit terguncang.
"Dia adalah sahabatku."
Kedua tangannya terangkat, menutupi wajahnya, bahunya bergetar.
Liora yang sejak tadi diam, akhirnya menarik napas dalam, ada perubahan di wajahnya.
"Cih…" Liora menghela napas keras, lalu melirik eksekutor.
"Kesaksiannya cocok dengan Diman, tidak ada yang janggal."
Eksekutor mengangguk pelan, kemudian menutup berkas dengan bunyi tap yang bergema di ruangan sunyi itu.
"Baiklah, kau bisa pergi."
Rai tidak segera berdiri, tangannya masih menutupi wajah, bahunya terus bergetar, seolah tenggelam dalam duka.
Liora menatapnya sebentar, lalu berbalik dan melangkah pergi.
Saat pintu terbuka, cahaya dari luar menyinari wajah Rai yang tertunduk.
Di balik jemarinya yang menutupi wajahnya, bibirnya melengkung sedikit.
Air mata buatan telah menyelamatkannya.
************************************
Rai duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih dipenuhi perban.
Luka di tubuhnya mungkin akan sembuh dalam beberapa hari, tapi luka yang lain, luka yang tidak terlihat akan terus ada.
Atau begitulah yang orang-orang pikirkan.
Di belakangnya, Rivia melingkarkan tangannya di lehernya dari belakang, menariknya lebih dekat.
"Kau sudah cukup menderita." Bisikannya lembut, hangat, seperti bisikan angin yang menenangkan.
Rai tidak langsung menjawab, ia hanya menunduk, membiarkan Rivia mencium bahunya pelan.
"Aku kehilangan Kian…" Suaranya bergetar, seperti seseorang yang benar-benar dirundung duka.
Rivia mengeratkan pelukannya.
"Aku tahu...aku tahu betapa dekatnya kalian."
"Aku seharusnya bisa menyelamatkannya."
"Tidak, Rai…" Rivia berbisik, jari-jarinya mengusap rambutnya dengan penuh kasih.
"Itu bukan salahmu."
Dia berbalik perlahan, membuat Rai kini berhadapan dengannya, tatapan matanya penuh kelembutan, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin menenangkan dengan lebih dari sekadar kata-kata.
"Lihat aku," katanya.
"Kau tidak sendiri."
Rai mengangkat kepalanya, matanya tampak merah, tetapi bukan karena kesedihan.
"Rivia…" Dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipinya.
Rivia tersenyum kecil.
"Aku di sini."
Ciuman mereka terjadi begitu saja.
Tidak ada kesedihan dalam ciuman itu, tidak ada rasa kehilangan, hanya ada kemenangan yang terselubung dalam pelukan hangat.
*************************************
Beberapa hari telah berlalu sejak tragedi di dalam gua.
Selama itu, Rai menghilang dari peredaran.
Tidak ada pesan, tidak ada panggilan yang dijawab.
Beberapa orang mengira dia tenggelam dalam kesedihan karena kehilangan sahabatnya, yang lain menduga dia hanya butuh waktu untuk memulihkan diri.
Tapi kenyataannya?
Rai hanya sedang menikmati permainannya.
Di dalam kamar gelapnya, hanya ada cahaya redup yang berasal dari jendela, cukup untuk memperlihatkan sosoknya yang duduk di kursi, memainkan sesuatu di tangannya.
Sebuah tombak.
Tombak yang pernah menjadi milik Kian.
Jari-jarinya dengan lincah memutar senjata itu, menikmati beratnya, keseimbangannya, setiap ukiran yang dulu dimiliki Kian.
"Kau tidak membutuhkannya lagi, bukan?" gumamnya pelan, matanya menatap tajam ke ujung tombak yang berkilat.
Rai bisa saja mengalahkan Frost Basilisk dengan mudah menggunakan Api dari Cerberus tetapi itu akan membuatnya dicurigai sehingga dia lebih memilih melukai dirinya sedemikian rupa sampai seseorang melihat betapa seru pertarungan mereka.
Kemudian terdengar ketukan di pintu.
Seseorang dari Guild datang, suaranya tegas dan tanpa basa-basi.
"Rai, Damar mencarimu, segera."
Untuk sesaat, Rai hanya diam. Matanya masih menatap tombak di tangannya, lalu dia menghela napas, memasukkan senjata itu ke dalam penyimpanannya sebelum berdiri.
Waktunya kembali ke panggung.
***********************************
Di markas utama Iron Fang, Damar duduk di kursi besar dengan tangan bersilang, di sampingnya, Rivia duduk dengan ekspresi tenang.
Saat Rai masuk, semua mata tertuju padanya.
Langkahnya tampak berat, wajahnya masih menyiratkan kesedihan, matanya sedikit sayu, seperti seseorang yang belum sepenuhnya pulih dari luka emosional.
Damar menatapnya dalam diam sebelum akhirnya berbicara,
"Kudengar kau menghilang."
Rai menundukkan kepala.
"Maaf, aku… butuh waktu."
Damar mengangguk pelan.
"Aku mengerti, Kian adalah saudaramu, bukan?"
"Dia lebih dari itu," Rai menjawab, suaranya terdengar patah.
"Aku seharusnya bisa menyelamatkannya… aku seharusnya..."
"Cukup."
Damar mengangkat tangannya, memotong kalimat Rai.
"Jangan menyalahkan dirimu, Kian gugur sebagai seorang pejuang."
Hening sejenak sebelum Damar menatapnya lebih tajam.
"Dan sekarang, aku butuh seseorang untuk menggantikannya."
Rai mendongak, seolah terkejut.
"Aku?"
"Ya...aku ingin kau menjadi bagian dari Bloodhound."
Ekspresi Rai berubah menjadi seseorang yang ragu-ragu.
"Aku tidak yakin…" suaranya sedikit gemetar.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa menggantikan Kian."
Damar menyeringai.
"Jangan rendahkan dirimu, aku sudah mendengar bagaimana kau bertarung sendirian di sana, kau pantas berada di antara yang terbaik."
"Lagipula Leira juga merekomendasikanmu, termasuk yang lain."
Rai tampak menelan ludah, seolah berpikir keras, dia ingin ini terlihat natural.
Akhirnya, dia menghela napas berat.
"Baiklah… jika itu yang anda inginkan, aku akan menerimanya."
Damar tersenyum puas.
"Bagus."
Tanpa mereka sadari, Rai baru saja mendapatkan akses penuh ke pergerakan Iron Fang.
Semua rencananya berjalan sempurna.
*************************************
Saat Rai melangkah masuk ke markas Bloodhound, suasana ruangan seketika hening.
Enam pasang mata menatapnya dengan ekspresi berbeda.
Ada yang penasaran, ada yang menilai, dan ada juga yang tampak tidak terlalu peduli.
Liora, yang sejak awal merekomendasikan Rai, berdiri dengan tangan bersedekap, tatapannya tetap dingin seperti biasa, tapi kali ini ada sedikit kilatan berbeda di matanya.
"Akhirnya kau datang," katanya.
"Aku sudah bicara pada Damar, kau sekarang salah satu dari kita."
Kenzo, pria berambut gondrong, mendengus sinis.
"Jangan pikir kau bisa bersantai hanya karena direkomendasikan oleh Liora." Dia melangkah maju, menatap Rai tajam.
"Kalau kau tidak berguna, aku sendiri yang akan menebas kepalamu."
Rai menatapnya datar.
"Silakan coba."
Darius, pria bertubuh besar dengan kapak raksasa di punggungnya, tertawa keras.
"Ha! Setidaknya bocah ini punya nyali!"
Dia menepuk bahu Rai begitu keras hingga hampir membuatnya terdorong ke depan.
"Tapi nyali saja tidak cukup di sini, kau harus membuktikan diri Rai!"
Axel, sang Assassin, hanya menghela napas dan bersandar di dinding.
"Kalau dia bisa bertahan hidup dari serangan Frost Basilisk, kurasa dia tidak selemah yang kita kira."
Liora melirik Axel sejenak lalu kembali menatap Rai.
"Aku yang bertaruh atas namamu, jadi jangan buat aku menyesal."
Sementara itu, pria penembak jitu hanya mengangguk kecil sebelum kembali mengutak-atik crossbow raksasanya tanpa sepatah kata pun.
Terakhir, Tino, satu-satunya Mage dalam kelompok, menyeringai sambil menyisir rambut hijaunya.
"Aku penasaran, seberapa cepat kau bisa bergerak kalau aku meniupkan badai ke arahmu?"
Rai tersenyum tipis.
"Sepertinya aku akan menikmati waktu bersama kalian."
Kenzo mendecakkan lidah.
"Jangan membuat kami menyesal menerimamu."
Begitulah, dengan ketegangan yang masih terasa, Rai resmi diterima di antara para Bloodhound.
Entah sebagai kawan… atau calon musuh di masa depan.