menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Aldebaran duduk di lounge eksklusif kasino, dikelilingi oleh rekan-rekan bisnisnya yang secara kebetulan berada di tempat yang sama malam itu. Di atas meja marmer hitam yang dihiasi dengan pencahayaan redup, botol-botol minuman kelas atas berjajar rapi—whisky tua, sampanye yang mengilap, dan beberapa minuman koktail dengan warna mencolok.
Gelak tawa para pria memenuhi ruangan, bercampur dengan dentingan gelas yang beradu dan alunan musik jaz lembut dari panggung di sudut ruangan. Salah satu dari mereka, seorang pria dengan jas biru laut yang tampak sedikit mabuk, menceritakan lelucon yang mengundang tawa keras dari yang lain.
Namun, Aldebaran hanya tersenyum tipis, seperti seorang ayah yang memandang anak-anaknya bermain-main. Ia mengangkat gelas kristalnya dengan anggun, memutar whisky di dalamnya sejenak sebelum menyesapnya perlahan. “Kalian sungguh tahu cara menikmati malam,” katanya dengan nada rendah namun penuh karisma.
Seorang pria lain, dengan dasi yang sudah longgar, berseru sambil menunjuk Aldebaran, “Tapi kau, Aldebaran, selalu membuat kami merasa seperti amatir! Bagaimana bisa kau tetap terlihat setenang itu bahkan setelah kemenangan besar tadi?”
Aldebaran menatapnya sejenak, senyum tipisnya berubah menjadi sesuatu yang lebih menyerupai seringaian. “Ketenangan adalah bagian dari permainan,” jawabnya. Suaranya tenang, tetapi ada kepercayaan diri yang tak bisa ditolak dalam setiap katanya.
Para pria lainnya tertawa lagi, beberapa mengangguk seolah-olah mengerti, meskipun jelas bahwa Aldebaran berada di level yang berbeda dari mereka. Salah satu dari mereka menuangkan lebih banyak minuman ke dalam gelas Aldebaran, tetapi ia mengangkat tangannya sedikit, menolak dengan sopan. “Cukup untukku,” katanya, lalu melirik arlojinya yang mahal.
Percakapan berlanjut, kali ini tentang bisnis dan kesepakatan yang telah mereka capai. Aldebaran mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar di saat yang tepat, dengan suara yang selalu memimpin tanpa terlihat memaksa. Ketika seseorang mengajukan pendapat yang kurang masuk akal, ia hanya menatapnya singkat—tatapan itu cukup untuk membuat orang itu tersenyum gugup dan mengalihkan topik pembicaraan.
Malam semakin larut, dan suasana kasino tetap dipenuhi oleh tawa, musik, dan dentingan gelas. Namun bagi Aldebaran, semuanya terasa memudar. Pandangannya terpaku pada satu titik, menembus keramaian seolah ia melihat sesuatu yang tak bisa disentuh oleh siapa pun di ruangan itu.
"Lilia…" gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh hiruk-pikuk sekitar. Itu bukan sekadar nama; itu adalah dunia yang ia tinggalkan malam ini. Bayangan gadis kecilnya, mungkin sedang menunggunya di rumah dengan rasa rindu, menari di pikirannya.
Namun, lamunannya terhenti saat suara lembut mendekat dari samping. Sekelompok wanita dengan gaun gemerlap dan senyuman penuh arti mendekat tanpa suara. Salah satu dari mereka, dengan rambut bergelombang dan bibir merah menyala, mengambil tempat di sebelah Aldebaran.
“Bos… Sepertinya Anda sedang mencari hiburan,” katanya dengan nada menggoda, matanya menatap langsung ke arah Aldebaran.
Aldebaran menoleh perlahan, senyuman tipis menghiasi wajahnya. Ia tidak menjawab, hanya mengangkat alis sedikit, memberi ruang bagi wanita itu untuk melanjutkan.
Sebelum wanita pertama menyelesaikan kalimatnya, seorang lagi sudah mengambil tempat di sisi lain Aldebaran. “Apa Bos keberatan jika kami ikut bergabung?” tanyanya, suaranya lebih manis namun tidak kalah menggoda.
Aldebaran bersandar ke kursinya, membiarkan tubuhnya rileks untuk pertama kali malam itu. Ia mengangkat gelasnya dengan anggun, memutar whisky di dalamnya sambil menatap mereka bergantian. “Tentu saja,” katanya, suaranya rendah dan tenang. “Hiburan adalah alasan kita ada di sini, bukan?”
Para wanita itu tertawa kecil, senyum mereka semakin lebar. Salah satu dari mereka mendekatkan diri, menaruh tangannya dengan lembut di lengan Aldebaran. “Anda tahu, Bos, pria seperti Anda selalu membuat kami penasaran,” katanya.
Aldebaran hanya mengangkat bahu sedikit, senyumnya berubah menjadi seringaian halus. Ia menikmati perhatian mereka, meskipun ia tahu permainan ini dengan baik. Setiap gerakan, setiap kata yang ia ucapkan, tetap terkontrol. Bukan ia yang terbawa dalam godaan, tetapi merekalah yang seolah bermain dalam orbitnya.
“Jika kalian ingin membuatku terhibur,” katanya sambil menatap langsung ke mata wanita di sebelahnya, “maka pastikan malam ini tidak membosankan.”
Tawa mereka memenuhi udara, suara yang bercampur dengan alunan musik kasino. Malam terus berjalan, dan untuk sesaat, Aldebaran membiarkan dirinya terhanyut dalam peran pria yang menikmati permainan malam. Namun di dalam dirinya, sebuah nama tetap bergema di balik layar pikirannya—Lilia.
Meskipun ia di temani dengan wanita-wanita cantik yang dengan mudah ia dapat dengan kekayaan yang ia miliki, namun pikirannya selalu kembali pada Lilia, meski seberapa keras ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaannya dan bersenang-senang. Tapi bayangan gadis itu selalu muncul di benaknya.
Jam menunjukkan pukul 01:52 dini hari ketika Aldebaran akhirnya tiba di apartemennya. Bau alkohol yang tajam bercampur samar aroma parfum wanita masih melekat di tubuhnya, menjadi saksi dari malam panjang yang baru saja dilaluinya. Ia berdiri di depan pintu, menatap celah kecil di bawahnya. Lampu di dalam masih menyala.
“Lilia belum tidur?” pikir Aldebaran, alisnya mengernyit. Biasanya, gadis itu sudah terlelap jauh sebelum tengah malam. Atau mungkin, seperti malam-malam sebelumnya, ia lupa mematikan lampu.
Aldebaran memutar kenop pintu dengan perlahan, mendorongnya hingga terbuka. Suara derit pintu memecah keheningan apartemen. Di ruang tengah, ia melihat Lilia duduk membelakanginya di sofa. Punggung gadis itu tegak, bahunya kaku, seperti sedang membawa beban yang tak terlihat.
“Kau belum tidur?” tanya Aldebaran, suaranya berat, sedikit serak oleh efek alkohol dan kelelahan.
Lilia tidak langsung menjawab. Hanya keheningan yang menyambutnya. Ia tetap duduk di sana, tatapannya terpaku pada lantai, sementara kehadiran Aldebaran tampaknya membuat suasana menjadi lebih tegang. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, gadis itu akhirnya berbicara. Suaranya lembut, hampir seperti bisikan, tetapi menyimpan sesuatu yang lebih dalam.
“Papa tadi… bersama siapa?”
Pertanyaan itu membuat Aldebaran tertegun. Ada sesuatu dalam nada suara Lilia yang sulit diartikan—bukan sekadar penasaran, melainkan seperti keinginan untuk mencari jawaban yang lebih dari apa yang terdengar.
Aldebaran menghela napas, mencoba menjawab dengan santai. “Papa hanya bersama teman kerja Papa,” katanya akhirnya, berusaha terdengar tenang. “Kau… khawatir?”
Lilia mengangguk pelan, tetapi tidak menoleh. Matanya tetap terpaku pada lantai. “Lilia tidak mau Papa pergi…” bisiknya, begitu pelan hingga Aldebaran hampir tidak mendengarnya. Namun, kata-kata itu menghantamnya seperti badai kecil.
Aldebaran mendekat, menatap punggung Lilia yang tampak rapuh dalam keremangan ruangan. Sesuatu tentang cara gadis itu berbicara membuat hatinya gelisah, tetapi ia mencoba mengabaikan perasaan itu.
“Papa tidak akan meninggalkanmu, Lilia. Kau adalah anak Papa, satu-satunya,” katanya dengan suara mantap.
Namun, bukannya merasa tenang, Lilia justru semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kata-kata Aldebaran terasa jauh, seperti tembok yang semakin mempertegas jarak di antara mereka.
“Anak Papa…” ulangnya dengan suara nyaris tak terdengar. Ada nada getir dalam cara ia mengucapkannya, seolah-olah kata itu adalah beban yang harus ia pikul. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tidak membiarkan air mata jatuh. Ia hanya duduk di sana, berusaha keras menjaga semuanya tetap terkendali, sementara hatinya menjerit dalam keheningan.
Lilia ingin mengatakan semuanya. Ia ingin Aldebaran tahu bahwa rasa takut kehilangan itu bukan sekadar rasa khawatir seorang anak kepada orang tuanya. Tapi bagaimana ia bisa mengungkapkan itu? Bagaimana ia bisa berbicara tentang sesuatu yang bahkan ia sendiri tahu salah?
Aldebaran, di sisi lain, salah menafsirkan semuanya. Ia berpikir bahwa Lilia hanya merasa kesepian, mungkin cemburu karena malamnya dihabiskan bersama orang lain. Ia tidak menyadari bahwa ada perasaan yang jauh lebih kompleks di balik kata-kata itu, perasaan yang bahkan Lilia sendiri tidak ingin akui.
“Lilia…” panggilnya lembut, tetapi gadis itu sudah berdiri.
Tanpa menoleh, Lilia berjalan menuju tangga. Langkahnya tenang, tetapi punggungnya gemetar halus. “Selamat malam, Papa,” ucapnya, sebelum ia melangkah menaiki anak tangga.
Aldebaran tetap berdiri di ruang tengah, memandang punggung gadis itu dengan bingung. Ia merasa ada sesuatu yang ia lewatkan, sesuatu yang tidak ia pahami. Tetapi ia terlalu lelah untuk memikirkannya lebih jauh.
Di balik pintu kamarnya, Lilia bersandar pada dinding, menarik napas panjang untuk menahan tangis. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tetap terkunci di dalam hatinya. Ia tahu, perasaan itu harus disimpan rapat-rapat. Karena dunia tidak akan pernah menerima apa yang ia rasakan.
Dan malam itu berakhir dalam keheningan, dengan dua hati yang saling berjuang, tetapi terpisah oleh tembok yang mereka ciptakan sendiri.
Bersambung....
semangat upnya..