Rere pikir, jika hanya dia yang mencintai suaminya, maka itu sudah cukup untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Karena sebelumnya, dia berpikir bisa membuat suaminya jatuh cinta setelah mereka menikah.
Namum, satu setengah tahun usia pernikahan, Rere baru sadar, jika apa yang ia usahakan tidak sedikitpun membuahkan hasil. Sang suami malah mencintai adik tiri yang hidup bersama Rere sejak masih kecil.
Akankah Rere langsung menyerah setelah mengetahui kenyataan pahit itu? Atau, apa mungkin dia akan memilih melepaskan sang suami begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
'26
Sekarang, yang tak kalah bingung itu wajah bi Sari. Bagaimana tidak? Sejak tadi, dia dibantu seorang pria dengan tubuh tegap untuk mengusir orang-orang yang keras kepala dari depan kamar tersebut. Lah sekarang, Rere bilang tidak tahu menahu tentang orang tersebut. Datang dari mana coba orang itu jika Rere tidak menyewa nya?
"Non Rere beneran gak nyewa orang buat bantuin bibi jagain nyonya Lastri, non?" Sekali lagi, si bibi melontarkan pertanyaan. Itu ia lakukan hanya untuk memastikan kalau apa yang Rere katakan memang benar adanya.
"Ya ... ya Rere emang gak ada bayar orang buat jadi penjaga kamar mama, bi. Karena Rere gak sempat untuk nyari orang. Lagian, bagaimana bisa nyari penjaga yang bisa dipercaya dalam waktu singkat. Salah-salah, bukan mama yang dijaga, malah dia yang jadi penjahatnya."
Pikiran Rere emang agak sensitif banget saat ini. Dia terlalu was-was akan orang yang ada di sekitarnya. Apalagi ketika itu berurusan dengan sang mama yang saat ini sedang terbaring koma. Dia takut, sangat takut jika sang mama memang sedang diincar oleh orang yang tidak punya hati. Karena itu, hatinya jadi suka curigaan tak karuan.
"Lagian yah, Bi. Di depan kamar mama itu gak ada siapapun kok saat aku masuk ke sini barusan."
"Beneran, non?" Bi Sari malah semakin dibuat bingung saja dengan apa yang Rere katakan barusan.
Setelah mendapatkan anggukan dari Rere atas apa yang ia katakan, bi Sari langsung beranjak dari tempatnya. Si bibi berjalan dengan langkah besar menuju pintu masuk kamar untuk mematikan kalau orang yang ia katakan itu beneran masih ada atau sudah menghilang seperti yang Rere katakan.
"Yah ... beneran gak ada. Ke mana sih perginya orang itu? Bukannya dia beneran duduk di depan sini tadi." Bi Sari ngoceh sendiri.
"Hah ... bibi, sudahlah. Lupakan saja orang itu. Sekarang, sebaiknya bibi mandi. Bibi pasti merasa gak nyaman akibat belum mandi dari tadi pagi, bukan?"
"Ah, iya. Aku juga bawa makanan buat bibi. Setelah mandi, bibi makan yah."
"Maaf udah bikin bibi capek banget tadi. Maaf juga karena aku sedikit lama meninggalkan mama dan bibi di sini."
"Nggak perlu minta maaf, non Rere. Bibi gak papa kok. Mm ... karena, ada penjaga yang bantuin bibi. Tenang aja. Yah, meskipun itu bukan orang suruhan non Rere, tapi orang itu udah sangat amat membantu bibi."
"Beneran, bi?" Rere yang sebenarnya juga merasa sangat penasaran dengan orang yang bi Sari katakan, langsung antusias untuk mendengar apa yang akan bi Sari ceritakan padanya.
"Iya, non. Tadi, tuan Haris datang, terus maksa buat masuk. Lah, setelah itu, malah datang lagi tuan Rohan. Dia juga bantuin tuan Haris untuk masuk ke dalam. Ngomong macam-macam yang gak enak di dengar. Dan ... yah, begitulah pokonya. Jika tidak ada orang itu, maka bibi mungkin tidak akan bisa menjadi penghalang untuk mereka masuk ke dalam sini, non."
"Kurang ajar! Mas Rohan sudah terlalu banyak ikut campur. Ah, iya bik. Rohan datang bareng selingkuhannya, kan?"
"Mm ... nggak kelihatan pula tadi, non. Nggak ada tuh si non Amira yang menampakkan wajah ke kamar ini."
"Lho, kok gak ada? Ke mana perginya si mak lampir itu yah?"
Bi Sari hanya mengangkat kan bahunya saja menjawab apa yang Rere katakan. Setelah itu, dia pamit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sepeninggalan bi Sari, Rere terus memikirkan prihal orang yang bi Sari katakan. Dia mendadak sangat ingin tahu siapa orang yang tiba-tiba membantunya saat ini.
"Siapa sih orang itu? Kalau beneran mau bantu, yah gak papa. Tapi kalau punya maksud tersembunyi, aku gak bisa tinggal diam begini saja."
"Agh! Kenapa hidup aku ini begitu banyak misteri sih? Ada dilema di mana-mana. Belum juga satu masalah selesai, muncul aja pengganggu pikiran. Apa nggak bisa gitu, biarkan aku tenang selama beberapa jam saja?"
Puas bicara sendiri, ia pun langsung menghampiri sang mama yang sedang terbaring lelap. Sang mama masih terlihat cantik meski kulitnya sudah mulai keriput.
"Mama sayang. Tolong cepat bangun, ma. Kasihan Rere sendirian di sini. Rere gak punya siapa-siapa selain mama. Hanya mama yang selalu ada buat Rere. Bangun dong, mama ku sayang."
Perlahan, Rere menyeka air mata yang jatuh perlahan melintasi kedua pipinya. Bagaimanapun dia berusaha menahan air mata itu agar tidak jatuh, tapi tetap saja tidak bisa ia tahan. Malahan, air mata itu semakin deras saja mengalirnya.
Sepasang mata yang melihat Rere dari balik kaca pintu kamar rawat tersebut tidak bisa menahan diri. Tangan orang itu ringan menyentuh gagang pintu.
Namun, saat orang itu ingin memutar gagang pintu tersebut, suara bi Sari yang baru keluar dari kamar mandi menggagalkan niat orang itu. Sekarang, bukannya masuk, orang itu malah pergi meninggalkan kamar tersebut.
...
Rohan sudah pun tiba di rumah orang tuanya. Setelah ia parkir kan mobil di depan rumah, Rohan langsung berjalan masuk melalui pintu depan rumah tersebut.
Plak! Sebuah tamparan langsung menyambut Rohan mana kala satu kaki Rohan baru saja menginjak pintu rumah ini. Sontak saja, Rohan langsung memegang pipinya yang terasa sangat panas akibat bekas tamparan yang tiba-tiba dari bapaknya. Rasa kaget akibat tamparan itupun tak bisa ia abaikan.
Dia pun langsung menatap tak percaya akan apa yang baru saja ia terima dari orang yang saat ini ada di hadapannya. Bagaimana tidak? Tanpa ada satu patah katapun, dia malah langsung menerima pukulan secara tiba-tiba. Siapa yang tidak kaget, coba?
"Bapak, jangan main pukul aja. Tenang dulu, pak. Rohan kan baru aja tiba. Kamu tidak boleh begini, pak." Ibu Rohan datang dari belakang si bapak dengan wajah sedih akan apa yang sudah anaknya terima.
"Anak ini tidak akan sadar siapa dirinya jika aku tidak memberikan ia pelajaran. Karena itu, aku berikan dia satu tamparan agar dia sadar sebelum dia masuk ke rumah ku ini."
"Ada apa ini, pak? Kenapa bapak bicara seperti ini padaku, pak? Apa salahku sebenarnya?" Rohan yang sangat amat penasaran, kini tidak bisa diam lagi.
"Nak, kamu juga tenang. Ayo kita masuk ke dalam dulu! Kita bicarakan baik-baik di dalam saja sekarang."
Akhirnya, ibu Rohan mampu menenangkan dua pria yang sedang di penuhi amarah. Mereka langsung beranjak menuju ruang tamu. Yah, si bapak tidak ingin bicara di ruang keluarga dengan Rohan sekarang. Karena itu, mereka berhenti di ruang tamu saja.
Dalam keluarga ini, jika bicara dengan keluarga di ruang tamu, maka itu sangat di rasa tidak nyaman untuk keluarga yang datang ke rumah tersebut. Karena maknanya, dia tidak dianggap keluarga lagi dalam keluarga ini. Melainkan, dianggap sebagai tamu.