NovelToon NovelToon
PENGAKUAN DIJAH

PENGAKUAN DIJAH

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Petualangan / Contest / Tamat
Popularitas:15.7M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.

Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.

***

"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."

Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.

Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.

Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Kehidupan Kos-kosan

Doakan semoga PENGAKUAN DIJAH bisa terus berjalan lancar jaya ya.. XD

Seperti biasa like-nya jangan lupa :*

************

Apa yang terjadi jika dua orang yang belum lama mengenal dan menaruh hati satu sama lain namun terlalu larut dengan hasrat masing-masing?

Rasa canggung.

Saat terhanyut mengikuti irama hasrat yang datang menyelimuti, Dijah tak memikirkan sama sekali bagaimana ia ataupun Bara akan memandang diri satu sama lain.

Sudah lewat tengah malam, bahkan senandung Tini dari kamar sebelah sudah lenyap. Suara di ruangan itu hanya tersisa nafas mereka, putaran kipas angin yang tak memiliki penutup dan penanak nasi yang sesekali berdecak.

Dijah tak berani melonggarkan pelukannya pada Bara bukan karena ia masih ingin meneruskan kegiatan mereka, tapi karena ia malu bahwa Bara telah menelanjanginya di bawah lampu putih yang cukup terang.

Dijah merasakan Bara telah lembab di bawah sana, ia bahkan tak sanggup untuk menoleh. Jika bisa dilewatkan saja, maka Dijah memilih untuk pergi tidur meninggalkan pria itu.

Tapi perutnya lapar. Saat bercumbu tadi, Dijah lupa akan rasa laparnya. Namun saat nafas Bara perlahan kembali teratur dan menatapnya dengan wajah sedikit normal, cacing di perutnya terasa kembali menabuh rebana.

"Aku mau masak mi dulu, kamu mau?" tanya Dijah sedikit mengangkat pandangannya.

"Hmmm.... Mau," jawab Bara. Bara mengutuk dirinya sendiri saat mengatakan mau. Sudah memuaskan diri sendiri, malah minta diberi makan pula pikirnya.

"Ya udah, aku mau bangkit."

"Ya udah, bangkit aja."

"Bajuku mana? Aku malu," ujar Dijah akhirnya.

"Aku udah liat," sahut Bara. Jawabannya terdengar percaya diri. Padahal ia sendiri pun malu sedikit menjauh karena ia telah basah di bawah sana. Bercaknya pasti kelihatan jelas. Bara menggigit bibir bawahnya sedikit kesal pada dirinya yang tak bisa menahan diri.

"Ambilin bajuku, tadi kamu lempar ke mana?" tanya Dijah lagi. Dadanya yang belum terbungkus apa-apa masih menyentuh perut Bara.

Bara kemudian mengangkat tangan kanannya dan mulai meraba bagian bawah ranjang. Ia memungut pakaian yang tadi dilemparkannya asal.

Saat memegang pakaian dalam Dijah, jemarinya menyentuh sesuatu. Pandangannya langsung tertuju pada benda yang dipegangnya. Tapi Dijah yang menyadari apa yang sedang dilihat Bara langsung merampas pakaian dalam itu.

"Sebenarnya kamu juga pasti pengen." Bara yang tadi menyentuh pakaian dalam benda berwarna biru merasakan sesuatu di sana.

"Aku 'kan bukan gedebog pisang. Masak aku nggak ngerasa apa-apa." Dijah melepaskan pelukannya danmulai berpakaian.

Bara kembali menatap tubuh Dijah, ia siap memulai kembali kalau Dijah menginginkannya.

"Liat apa?" tanya Dijah tiba-tiba saat Bara sedang berkelana dengan pikirannya.

"Enggak ada," sahut Bara kembali meraba lantai tempat di mana jeans dan kemejanya ia campakkan. Ia langsung mendekap pakaiannya. Bara tak mau Dijah memandang sesuatu yang aneh di boxernya.

Sambil merutuki diri sendiri dan melirik ke arah Dijah yang sedang mengenakan branya, Bara cepat-cepat kembali memakai jeans-nya. Matanya tetap tertuju pada dada yang sedang kembali ditutup itu.

"Aku masak dulu," ujar Dijah kemudian bangkit ke sudut ruangan mengeluarkan sebuah kompor gas portable yang sering dipakai camping.

Dengan cekatan Dijah memasak dibawah lirikan Bara yang sedang mengotak-atik ponsel baru Dijah agar bisa langsung digunakannya.

"Hape kamu mana? Masih di tas?" tanya Bara.

"Iya, dalem tas itu. Yang dicantolin ke lemari," sahut Dijah yang sedang mengaduk isi panci kecil.

"Ini ada pesan masuk," ujar Bara yang sudah lancang membuka-buka ponsel bunting Dijah yang diikat karet gelang.

Saat membalik-balik ponsel itu di tangannya, Bara kembali melirik Dijah. Padahal harga ponsel pun tak mahal kalau yang seperti itu pikir Bara, tapi Dijah sebegitu hemat menggunakan uangnya.

"Ini aku ganti ya hape kamu. Pake yang ini aja, hape lama yang nggak aku pake." Bara membuka kartu SIM dan melepas kepingan kartu yang terkecil dan menyelipkannya ke dalam ponsel baru.

Dijah menoleh ke arah Bara yang sekarang sedang menelanjangi ponsel miliknya.

"Aku nggak bisa makenya."

"Entar diajarin. Kamu sering-sering liat hape dong. Entar kalo aku nelfon atau kirim pesan kamu nggak tau," tukas Bara.

"Namanya juga sibuk kerja, kadang memang liat hape ya pas udah nyampe di rumah. Pas mau istirahat."

"Kalo orang sekarat, udah keburu mati baru kamu liat beritanya Jah. Telfon aku kapan aja, aku pasti jawab."

"Ya wajar, kamu wartawan yang harus standby dengan hape."

Bara tersenyum mendengar jawaban Dijah yang menurutnya tepat sekali.

"Udah selesai ni, makan." Dijah meletakkan dua piring mi di lantai. Kemudian ia mengangkat nampan kecil yang berisi ceret plastik dan dua buah gelas kaca yang tepinya terukir merek sabun mandi.

"Cepet abisin, udah hampir pagi. Nanti bahaya di jalan," ucap Dijah.

"Ngusir aku pulang Jah? Bahaya ini udah hampir pagi," jawab Bara mengambil piringnya.

Dalam sepetak kamar Dijah yang seharga 600 ribu perbulan, mereka duduk bersisian meletakkan punggung di tepi ranjang dengan sebuah piring di tangan mereka.

"Tidur di sini panas, apa betah?" tanya Dijah berbasa-basi. Sebenarnya ia mengerti maksud Bara.

"Besok Sabtu, kamu kerja lagi?"

"Iya, pagi mau ke tempat Mbok Jum. Kasian. Suaminya Mbok Jum itu sakit, bisanya cuma berbaring aja. Mbok Jum nggak bisa jauh-jauh mulung ninggalin suaminya. Kasian kalau nggak ada yang bawain nasi."

"Nggak usah mulung Jah..." ucap Bara yang lebih menyerupai permintaan.

"Aku nemenin Mbok Jum biar dia semangat. Suaminya kan lagi sakit..."

"Mbok Jum setia ya..." ujar Bara. "Istri yang setia," tambah Bara lagi.

"Isteri kebanyakan begitu. Kalau yang baik pasti akan mendampingi suaminya terus. Kata Mbok Jum, seorang isteri pasti selalu bisa menutupi kesalahan suaminya dari keluarga. Beda dengan suami. Kebanyakan kejelekan istri bisa didengar semua keluarga," tutur Dijah sebelum menyendokkan mi-nya.

"Menurut kamu itu bener?" tanya Bara penasaran dengan pendapat Dijah.

"Ya nggak tau, aku nggak sempat ngerasain itu. Pas nikah aku malah kepikiran ijazah sekolahku."

Bara menoleh untuk memandang Dijah yang sedang meniup-niup mi-nya.

"Aku tiupin, biar cepat dingin. Kamu laper pasti," ujar Bara mengambil piring Dijah.

"Aku bisa kok," potong Dijah cepat.

"Aku yang mau bantu. Sekali-kali nggak apa-apa nerima bantuan orang lain Jah... Itu bukan berarti kamu lemah. Kamu pengen dimanjain 'kan?" tanya Bara lembut.

Dijah menajamkan pikirannya, kembali mengingat kapan terakhir kali ia dimanja baik itu oleh kekasih atau orangtuanya. Rasa-rasanya hampir tak pernah.

"Sini, aku yang suapin. Nggak apa-apa. Aku seneng manjain kamu. Kita kan udah pacaran. Iya kan Jah?" tanya Bara memandang Dijah yang sejak tadi menunduk.

Bara menyelipkan beberapa lembaran rambut ke belakang telinga wanita kuat yang sekarang tampak benar-benar seperti gadis 23 tahun.

Bara hampir membuat Dijah lemah sekarang. Ia hampir tak pernah menangis. Tapi saat ini airmatanya nyaris tumpah hanya karena mendengar ucapan lembut Bara padanya.

************

"Enak Jah?" tanya Tini saat pagi menjelang siang itu melihat Dijah keluar dari kamar mandi dengan handuk di kepalanya.

"Enak apa sih? Nggak ngerti aku maksud kamu tuh!" sergah Dijah menjaga intonasi suaranya tetap pelan. Ia khawatir Bara yang menjelang siang itu belum kembali ke rumahnya mendengar percakapan mereka.

"Dikepenakke wae, mengko nek sirahmu metu kebule, kuwi jenenge enak. (Dinikmati aja. Nanti kalo kepalamu keluar asap, artinya itu enak)"

"Hus! Denger orang nanti omonganmu itu," seru Dijah pada Tini yang duduk di kursi dengan segelas kopi dan sebatang rokoknya.

"Mas-mu kan nggak ngerti bahasa Jawa." Tini terkekeh. "Kalau ngerti semaput dia," tambah Tini dengan sadisnya.

"Klambi regetmu ndi? (Baju kotormu mana?)" tanya Bu Miah yang biasa mencuci pakaian Tini. Wanita tua itu tiba-tiba telah berada di dekat Dijah dan Tini.

"Aku ngabisin rokokku," jawab Tini.

"Ndang gage, aku kesusu, iseh esuk wis crito enak, ndi mas mu? Biasa iseh kelonan nyahwene? (Cepat aku buru-buru. Masih pagi udah cerita enak. Mana Masmu? Biasa masih kelonan jam segini?)" tanya Bu Miah seraya duduk di undakan kamar Tini.

"Masku gek edan. Mau mbengi aku ngrungokke Dijah karo kangmase tok. Mengko nek masku kangen ro tempekku lak teko. (Mas-ku lagi gila. Tadi malem aku dengerin Dijah sama Mas-nya aja. Nanti kalo Mas-ku rindu tempeku, dia pasti dateng)" Tini yang masih mengepulkan asap menjawab santai.

"Dengerin apa kamu, ada-ada aja." Dijah mendorong pintu kamarnya untuk masuk ke dalam.

"Aku belum budek lho Jah, aku berenti bersenandung supaya konsen dengerin kalian. Lumayan," ujar Tini tertawa.

"Rabi wae tin! Mben dino kelonan wae, mlebu neroko kowe! (Nikah aja Tin! Tiap hari kelonan nanti kamu masuk neraka!)" Bu Miah mendorong paha Tini yang mengenakan celana pendek ketat.

"Alah ribut wae, mengko mesti ketemu ning kono! Aku mlebune nganggo jalur prestasi. (Berisik! Nanti kita pasti ketemu di sana! Aku masuknya pake jalur prestasi!)"

Dijah yang mendengar jawaban Tini tak bisa menahan tawanya. Bara yang sedang berbaring di ranjang dengan sebuah ponsel di tangannya memandang heran.

"Apa? Kamu ketawa kenapa? Apalagi yang dibilang Tini barusan? Soal Aku?" tanya Bara khawatir.

"Enggak... Tini bilang dia bakal masuk neraka lewat jalur prestasi." Dijah kembali melanjutkan tawanya.

"Astaga... Bener-bener ya Tini itu sangat meresahkan," gumam Bara.

DRRRRTT

DRRRRTT

"Halo?" sahut Bara saat melihat nama ibunya memenuhi layar.

"Kamu di mana?" tanya Bu Yanti di seberang telepon.

"Di rumah temen, kenapa?" tanya Bara penasaran. Ibunya jarang menelepon jika tak menyangkut hal-hal penting.

"Ini Joana baru nyampe rumah, kamu pulang dong. Masa ibu cuma sendirian aja ngobrol ama dia. Nggak sopan! Ayo cepet pulang," ujar Bu Yanti.

"Aku masih ada urusan penting, ibu aja deh terserah gimana. Ibu yang jawab," pinta Bara.

"Ih kamu kok lemparin ke ibu," sahut Bu Yanti.

"Ya udah terserah pokoknya," tambah Bara lagi kemudian mengakhiri pembicaraan.

"Jah..." panggil Bara.

"Ya?" Dijah menoleh.

"Kamu sore kan kerjanya?" tanya Bara.

"Iya."

"Sebelum kerja ke rumahku dulu yuk," ajak Bara.

"Hah?"

To Be Continued.....

1
echa purin
👍🏻
lily
nah gitu stlh nikah langsung bsa nempatin rumh baru
lily
akhirnya wisuda juga ya bar
lily
pak Wirya dosen psikolog jdi tau pasti harus bagaimana menyikapi sudah sepatutnya seperti ini , tapi memang pak Wirya ayah yg bijaksana terlepas dari embel2 dosen dll
lily
nangis ke sekian kali,,, Dijah
lily
tiba tiba nangisin dijah
lily
deg serrrr
lily
tpi emang bner ada kok bapak model gni, ibu model morotin anak juga ada,,, gak penting anak mau pulang apa kagak yg penting duwitnya ,,,,
lily
kelakuan tini 🤣🤣
lily
🤣🤣🤣kelakuan tini
lily
tini ngerti amat sih
lily
aku ngajak banget,, biasanya yang bilang astaga, itu si bara skrng si Tini hahaha
lily
bijak amat pak Wirya
lily
kamvret 😂
lily
tini ih harus di sensor itu wkwkwk
lily
bara dih ceplos amat wkwkw
Wandi Fajar Ekoprasetyo
ayo bude Tini...... bantai nih laki²
Hani Hanifah
pernah di posisi ini, saat kami ngotot berharap punya anak kedua, ga dikasih aja, saat 6 tahun berlalu, dan kami berdua sudah pasrah, ALLAH kasih kehamilan yang tak diduga bahkan saya minum obat warung abis 2 strip karena badan merasa demam dan kepala pusing, tapi klo ALLAH sudah berkehendak janin pun tetap tumbuh kuat di dalam rahim. sekarang anak kedua saya udah 8 tahun😇.
Hani Hanifah
Dijah mah wonder woman, cuma kaleng doang mah cetek...sekali pukul langsung gepeng..😂
Wandi Fajar Ekoprasetyo
ternyata kebiasaan Bara(astaga)tuh awalnya dr cerita ini ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!