NovelToon NovelToon
Naura, Seharusnya Kamu

Naura, Seharusnya Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fega Meilyana

"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"

***

"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."

***

Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Naura Mengetahui Rania

“Naura, sedang apa, sayang?” tanya Bani dan Laras bersamaan saat memasuki kamar putri mereka.

“Eh, Bunda… Papa…” Naura menoleh dengan senyum cerah. “Aku lagi gambar ini.”

Ia mengulurkan selembar kertas. Laras menerima dan langsung tersenyum bangga. Anak seusia Naura biasanya menggambar rumah, gunung, atau matahari. Namun di kertas itu, tergambar sketsa gaun—detail, penuh garis, dan imajinasi.

“Masya Allah…” Laras mengusap kepala Naura. “Cantik sekali gambarnya.”

Bani tertegun. Dadanya terasa sesak oleh sesuatu yang tak bernama. Sketsa itu… terlalu familiar. Bukan hanya goresannya, tapi jiwanya. Seperti melihat bayangan masa lalu yang hidup kembali.

Naura sangat mirip Rania.

Bukan hanya wajah—tapi bakat dan kecintaannya pada desain.

“Terima kasih, Bunda!” Naura tersenyum bangga.

Lalu ia menoleh pada Bani. “Papa kok diam saja? Gambarku jelek, ya?”

Bani tersadar. Ia tersenyum, lalu duduk di samping Naura.

“Gambar Naura sangat bagus,” katanya lembut. “Bahkan berbeda dari yang lain.”

Ia menatap putrinya dalam-dalam. “Sekarang Papa mau tanya… kalau Naura sudah besar, mau jadi apa?”

“Designer, Pa!” jawab Naura antusias. “Umi Nafisah juga pintar gambar seperti ini. Umi yang ngajarin Naura.”

Laras menoleh pada Bani dan berbisik lirih, hampir tak terdengar,

“Naura seperti Rania, Mas.” bisiknya.

Deg!

Naura mendengar.

“Rania?” Naura mengerutkan dahi. “Siapa itu, Bunda?”

Laras membeku. Jantungnya berdegup keras. Ia tak menyangka Naura menangkap bisikannya.

Naura belum tau.

Ia belum tahu bahwa Laras bukan ibu yang melahirkannya, melainkan Rania yang melahirkannya.

Ia belum tahu bahwa Ameera bukan kakak kandungnya.

Laras menarik napas dalam-dalam. Suaranya bergetar saat berbicara pada Bani,

“Mas… aku tahu Naura masih kecil. Tapi dia harus tau. Aku tidak mau dia tumbuh tanpa mengenal ibu yang melahirkannya. Naura harus tahu siapa Rania… supaya kelak dia bisa mendoakannya.”

Bani mengangguk pelan. Matanya basah, namun suaranya tetap tenang. “Kamu benar. Tapi kita harus menyampaikannya dengan cara yang lembut… supaya hatinya tidak terluka.”

Ia lalu menoleh pada Naura. “Sayang… Naura mau tau siapa Rania itu?”

“Iya, Pa.” Naura mengangguk. “Nama itu terdengar gak asing. Aku pernah dengar dari Umi Nafisah dan Abi Zaki. Tapi aku gak terlalu mikirin.”

Naura berhenti sejenak, lalu menatap Bani dan Laras dengan mata polosnya. “Rania juga muncul di mimpiku.”

Bani terkejut. “Naura mimpi apa?”

“Aku mimpi ketemu wanita cantik…” Naura tersenyum kecil. “Wajahnya bercahaya, seperti bidadari. Dia bilang namanya Rania. Waktu Naura tanya siapa dia, Rania bilang aku harus tanya ke Papa dan Bunda. Tapi setiap bangun tidur, Naura selalu lupa buat nanya.”

Air mata Laras akhirnya jatuh. Ia menutup mulutnya, tak sanggup menahan perasaan bersalah yang menyesak. “Bunda kenapa menangis?” tanya Naura polos.

Laras cepat mengusap air matanya. “Tidak apa-apa, sayang.”

Naura menatap mereka berdua. “Jadi… Naura boleh tahu sekarang siapa Rania itu, Pa?”

Bani tersenyum lembut, meski dadanya terasa berat. “Boleh.”

Ia berdiri dan mengulurkan tangannya. “Naura mau ikut Papa sebentar?”

Naura mengangguk ceria dan menggenggam tangan Bani. “Oke, Pa.”

Laras memandang punggung mereka yang menjauh. Dadanya bergetar.

Ia tahu, setelah ini… tak akan ada lagi rahasia. Dan cinta—meski lahir dari kehilangan—akan menemukan jalannya sendiri.

***

Bani menggenggam tangan kecil Naura, membawanya ke kamar kerja yang selama ini jarang dibuka. Laras mengikuti dari belakang, langkahnya pelan, dadanya terasa penuh.

Laras berdiri tak jauh, dadanya sesak, matanya basah, namun ia memilih diam.

Bani mengusap rambut Naura dengan hati-hati, seolah setiap helai menyimpan kenangan. “Naura,” ucapnya lembut, “Papa mau cerita. Cerita yang penting, tentang seseorang yang sangat berarti dalam hidup Papa… dan dalam hidup kamu.”

Naura menatap Papa-nya dengan mata bening tanpa takut. “Cerita apa, Pa?”

“Kamu tadi tanya siapa Rania, ya?”

Naura mengangguk kecil. “Iya, Pa. Soalnya di mimpi itu… dia mirip aku. Tapi cantik.”

Deg!

Bani menelan ludah. Suaranya sempat tertahan sebelum akhirnya keluar, pelan namun jujur. “Rania itu… ibu yang melahirkan Naura.”

Naura terdiam.

Matanya membulat, bukan kaget, lebih pada mencoba mencerna. Ia tidak menangis. Tidak juga bertanya buru-buru. Hanya diam.

“Ibu… yang melahirkan aku?” ulangnya pelan.

“Iya, sayang,” jawab Bani. “Rania adalah istri Papa sebelum Bunda Laras. Dia sangat baik. Sangat lembut. Dan… dia sangat mencintai Naura. Bahkan sejak Naura masih ada di perutnya.”

Naura menunduk, memperhatikan jemarinya sendiri. “Terus… sekarang mama Rania di mana, Pa?”

Bani memejamkan mata sejenak. Ia menahan napas, lalu membuka kembali dengan senyum yang dipaksakan.

“Mama Rania sekarang ada di tempat yang sangat indah. Di sisi Allah. Dia sudah tenang.”

Naura mengangkat wajahnya. “Berarti… mama Rania sudah meninggal?”

“Iya, sayang.”

Hening.

Beberapa detik terasa panjang. Laras menggenggam ujung bajunya erat, menahan tangis.

Naura lalu bersandar di dada Bani. Suaranya kecil. “Kenapa aku mimpi ketemu dia, Pa?”

Bani tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Mungkin… karena mama Rania rindu. Dan mungkin juga… dia mau Naura tau, kalau Naura sangat dicintai. Dari dulu…sampai sekarang.”

Naura terdiam lagi. Lalu, dengan polos ia bertanya,

“Terus… Bunda Laras siapa buat Naura?”

Pertanyaan itu menusuk tepat ke hati Laras.

Bani menoleh ke arah Laras, lalu kembali memeluk Naura lebih erat. “Bunda Laras adalah ibu yang Allah pilih untuk menjaga Naura sekarang. Yang menyayangi Naura setiap hari. Yang menemani Naura tumbuh besar.”

Naura menoleh ke arah Laras. Mata mereka bertemu. “Berarti… Naura punya dua ibu?”

Laras tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia mendekat, lalu berjongkok di depan Naura.

“Iya, sayang,” ucap Laras dengan suara bergetar. “Ibu Rania melahirkan kamu. Dan Bunda… diizinkan Allah untuk mencintai kamu.”

Naura memandang Laras lama. Lalu, tanpa ragu, ia memeluk Laras. “Bunda jangan sedih. Naura sayang Bunda.”

Tangis Laras pecah. Ia memeluk Naura erat, penuh rasa bersalah, penuh syukur.

Bani memandang keduanya. Dadanya terasa perih namun hangat. Di sudut hatinya, ia berbisik:

"Rania… anak kita tahu tentangmu sekarang. Dan aku yakin… kamu tidak akan keberatan. Karena Naura dicintai. Dengan caramu. Dan dengan cara kami."

Kemudian... Bani membuka laci, mengeluarkan sebuah album lama. Sampulnya sederhana, tapi terawat.

Ia membuka halaman pertama. Foto Rania tersenyum, mengenakan hijab lembut, wajahnya bercahaya.

Naura mendekat, matanya membesar.

“Itu… itu wajah yang Naura lihat di mimpi.”

Laras tak kuasa lagi menahan air mata. Bani membuka foto lain—dirinya dan Rania, tertawa sederhana, bahagia dalam sunyi. “Kamu mirip sekali dengannya,” ujar Bani. “Bukan cuma wajah. Kamu suka menggambar. Kamu punya mata yang hangat. Semua itu… dari mama Rania.”

Naura menatap foto itu lama, lalu bertanya polos, “Kalau mama Rania masih ada… Bunda Laras tetap jadi bunda Naura gak, Pa?”

Pertanyaan itu menghantam Laras.

Bani menoleh pada Laras, lalu kembali pada Naura.

“Allah sudah mengatur semuanya dengan indah. Bunda Laras hadir untuk mencintai kamu, menjaga kamu, dan itu tidak menghapus cinta Rania. Kalian tidak saling menggantikan.”

"Naura sayang.... Meskipun Naura bukan anak kandung bunda. Tapi bunda menyayangi kamu tanpa syarat."

Naura mengangguk kecil. Lalu memeluk Laras.

Naura turun dari kursi, berdiri tegak. “Papa… boleh Naura doain mama Rania sekarang?”

Bani tersenyum haru. “Tentu, sayang.”

Naura mengangkat kedua tangannya kecil-kecil, matanya terpejam. “Ya Allah…” ucapnya pelan, terbata tapi tulus.

“Terima kasih sudah kasih mama Rania jadi ibu Naura. Tolong jagain mama Rania di surga. Bikin mama Rania bahagia. Naura janji jadi anak baik, supaya mama Rania bangga di atas sana."

Air mata Bani jatuh.

Laras menutup mulutnya, bahunya bergetar.

Doa sederhana itu terasa lebih berat dari seribu kata.

***

Langit sore itu mendung, seolah ikut menurunkan suaranya di pemakaman. Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan kamboja yang berguguran satu per satu di atas tanah merah.

Bani menggenggam tangan Naura kecil yang berjalan di sampingnya. Di sisi lain, Laras melangkah pelan sambil sesekali memperhatikan Ameera yang berjalan tenang, lebih dewasa dari usianya.

Mereka berhenti di sebuah pusara sederhana. Nisan putih dengan nama Rania Putri Khairunnisa terukir rapi.

Naura menatapnya lama. “Pa…” suara Naura kecil, nyaris berbisik. “Ini… mama Rania?”

Bani mengangguk pelan. Dadanya terasa sesak, tapi ia tersenyum lembut.

“Iya sayang. Inilah mama yang melahirkan Naura. Mama yang sangat mencintai Naura, bahkan sebelum Naura lahir.”

Naura berjongkok perlahan. Matanya menatap tulisan nama itu dengan rasa ingin tahu dan keharuan yang belum sepenuhnya ia pahami.

“Papa bilang… mama Rania cantik.”

“Cantik,” jawab Bani lirih. “Dan sangat baik.”

Laras berdiri sedikit di belakang, menahan getar di dadanya. Ia merasa seperti tamu di kenangan orang lain, namun juga bagian dari kehidupan yang kini berlanjut.

Naura menoleh ke Laras. “Bunda…”

“Iya sayang?” Laras menunduk, menyamakan tinggi mereka.

“Bunda gak marah kan… kalau Naura sayang mama Rania?”

Air mata Laras langsung jatuh, namun ia tersenyum dan menggeleng cepat. “Tidak, sayang. Bunda justru senang. Mama Rania adalah ibu Naura. Dan Naura berhak mencintainya.”

Naura tersenyum kecil, lalu kembali menatap pusara. Ia menangkupkan kedua tangannya, meniru yang sering ia lihat dilakukan orang dewasa. “Papa… Naura mau doain mama Rania.”

Bani tertegun. Tenggorokannya tercekat. “Silakan, sayang.”

Naura menutup mata. Suaranya kecil, terbata, tapi jujur. “Ya Allah… terima kasih sudah kasih Naura mama yang baik dan cantik. Walaupun Naura gak sempat peluk mama Rania… tolong sampaikan ya, Naura sayang sama mama. Dan… terima kasih sudah kasih Naura papa, bunda Laras, dan kak Ameera.”

Air mata Bani jatuh tanpa bisa ditahan. Laras menunduk, tangannya gemetar.

Ameera yang sejak tadi diam, melangkah mendekat. Ia ikut jongkok di samping Naura, lalu menggenggam tangan adiknya.

“Naura,” ucap Ameera lembut, suaranya tenang. “Walaupun kita gak serahim dan gak sedarah… Kak Ameera sayang Naura seperti adik kandung. Selamanya.”

Naura menoleh, matanya berbinar. “Beneran, Kak?”

Ameera mengangguk mantap. “Iya. Kita keluarga.”

Naura tersenyum lebar, lalu memeluk Ameera erat. “Naura juga sayang Kak Ameera.”

Bani menutup wajahnya sejenak, bahunya bergetar. Laras mendekat, berdiri di sampingnya tanpa berkata apa pun - hanya hadir, menemani luka yang telah lama berdiam.

Di hadapan pusara itu, tak ada kecemburuan, tak ada rasa tersisih. Yang ada hanyalah satu keluarga yang utuh dengan caranya sendiri—dibangun dari kehilangan, ketulusan, dan cinta yang tidak saling meniadakan.

Angin kembali berhembus. Daun kamboja jatuh tepat di atas makam Rania. Seolah alam pun berbisik, Ia telah tenang.

***

Naura duduk bersila di atas ranjang, di antara Bani dan Laras. Foto Rania masih berada di pangkuannya. Jemari kecil itu mengusap bingkai foto perlahan, seolah takut melukai wajah wanita yang baru saja ia kenal, namun terasa begitu dekat.

“Pa…”

Suara Naura lirih, tapi penuh rasa ingin tahu. “Iya sayang?” Bani menoleh, menahan napasnya sendiri.

“Papa bisa ceritain semuanya tentang Mama Rania?”

Deg.

Bani terdiam beberapa detik. Bukan karena tak ingin, tapi karena terlalu banyak kenangan yang menyerbu sekaligus. Laras menggeser duduknya sedikit lebih dekat, memberi isyarat tanpa kata: ceritakan… aku di sini.

“Semua itu apa, Naura?” tanya Bani lembut.

“Semua,” jawab Naura mantap.

“Kebiasaan Mama Rania… makanan kesukaannya… warna favoritnya… hal-hal kecil tentang Mama. Naura mau kenal Mama… walaupun cuma lewat cerita Papa.”

Laras menunduk. Dadanya sesak. Ia sadar, ini bukan kehilangan yang ia alami, tapi kehilangan yang harus ia jaga seumur hidup.

Bani menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Baik… Papa ceritakan.”

Ia menatap foto Rania sesaat, lalu kembali menatap putrinya. “Mama Rania itu orang yang sangat rapi. Kalau bangun pagi, hal pertama yang dia lakukan adalah merapikan tempat tidur. Bahkan saat badannya capek, dia tetap melakukan itu.”

Naura tersenyum kecil. “Kayak bunda ya, Pa.”

“Iya,” sahut Bani jujur.

“Mama Rania juga suka warna biru muda dan putih. Katanya warna itu bikin hati tenang.”

Naura menunduk, menatap bajunya sendiri yang berwarna biru pucat. “Naura juga suka biru…”

Bani tercekat, tapi melanjutkan. “Makanan favorit Mama Rania itu sup ayam dan teh hangat tanpa gula. Kalau lagi sedih atau capek, dia selalu bilang: ‘Minum teh dulu, Mas.' Habis itu semua terasa lebih ringan.’”

Naura memeluk foto itu erat-erat. “Papa… Mama Rania baik ya?”

“Baik sekali,” suara Bani bergetar. “Dia orang yang paling lembut yang pernah Papa kenal. Bahkan saat Mama Rania kesakitan… dia lebih memilih menyelamatkan Naura.”

Naura mendongak. “Mama Rania sayang Naura?”

“Sangat,” jawab Bani tanpa ragu. “Sejak Naura masih di dalam perutnya.”

Air mata Naura jatuh satu. Bukan tangis keras, hanya bulir yang mengalir diam-diam. “Pa… boleh Naura doain Mama Rania setiap hari?”

Bani menelan ludah. “Boleh… Mama Rania pasti senang sekali.”

Naura mengangguk mantap. “Naura mau jadi anak baik biar Mama Rania bangga.”

Di samping mereka, Laras akhirnya tak sanggup menahan air matanya. Ia menutup mulut, bahunya bergetar.

Naura menoleh. “Bunda… kenapa nangis?”

Laras tersenyum sambil mengusap air matanya. “Karena… Mama Rania meninggalkan hadiah yang sangat indah.”

Naura memiringkan kepala. “Apa itu?”

“Kamu,” jawab Laras lembut. “Dan tugas bunda adalah menjaga hadiah itu dengan sebaik-baiknya.”

Naura mendekat, lalu memeluk Laras dengan satu tangan, sementara tangan satunya tetap memegang foto Rania. “Berarti… Naura punya dua ibu ya?”

Laras memejamkan mata, memeluk Naura penuh perasaan. “Iya sayang,” bisiknya. “Satu yang melahirkanmu dengan nyawanya… dan satu yang akan menemanimu seumur hidup.”

Bani memandang mereka berdua.

Untuk pertama kalinya, kenangan tentang Rania tidak lagi hanya menyakitkan—ia menjadi jembatan, bukan luka.

Dan di malam itu, di kamar kecil yang hangat, Rania tidak dilupakan. Ia hidup… dalam cerita, doa, dan cinta yang diteruskan.

1
Anak manis
😍
cutegirl
😭😭😭
anakkeren
authornya hebat/CoolGuy/
just a grandma
nangis bgt/Sob/
cutegirl
plislah nangis bgt ini/Sob/
anakkeren
siapa si authornya, brani memporakan hatiku dgj ceritanya😭
just a grandma
nangis banget😭
cutegirl
bagus laras💪
just a grandma
sedihnya sampe sini /Sob/
just a grandma
kasian laras, ginggalin aja si rendra
anakkeren
kasian laras
just a grandma
suka sm ceritanyaaa
anakkeren
kapan kisah nauranya kak?
Fegajon: nanti ya. kita bikin ortunya dulu biar nanti ceritanya enak setelah ada naura
total 1 replies
anakkeren
lanjut
just a grandma
raniA terlalu baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!