Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4 Keluar dari rumah
Hari demi hari berlalu tanpa sapaan. Sejak Adinda dipindahkan ke kamar tamu, Riko tak pernah lagi berbicara padanya, seolah keberadaannya tak lebih dari bayangan yang bisa diabaikan.
Setiap pagi, Adinda mendengar langkah kaki Riko meninggalkan rumah lebih awal, tanpa sarapan, tanpa pamit. Malam harinya, ia pulang larut, dan ketika pun sempat bertemu di ruang tengah, Riko hanya lewat tanpa menoleh.
Namun yang paling menyakitkan bukanlah dinginnya sikap Riko, melainkan bagaimana ibunya ikut menambah beban itu.
Setiap kali Adinda muncul di ruang makan atau taman belakang, sang mertua selalu melemparkan kata-kata tajam seperti pisau.
"Perempuan seperti kamu memang pantas disisihkan. Tidak tahu diri, pura-pura lemah biar dikasihani. Ck, dasar aib keluarga," ujarnya sinis di pagi hari.
Adinda hanya menunduk. Ia tak lagi punya tenaga untuk membantah. Yang ia tahu, diam adalah satu-satunya cara agar luka di hatinya tidak semakin menganga.
Mbak Tia yang menyaksikan semua itu sering kali menahan air mata.
“Nona, saya benar-benar tidak tahan melihat perlakuan mereka,” ucapnya pelan saat membantu Adinda minum obat.
Adinda menatapnya dengan mata lemah, namun masih ada sisa ketenangan di sana.
“Tidak apa-apa, Mbak. Mungkin ini cara Tuhan mengujiku. Aku hanya ingin sembuh, bukan untuk mereka… tapi untuk diriku sendiri.”
Malam itu, saat rumah sudah sunyi, Adinda duduk di tepi ranjang kamarnya. Ia memandangi jendela yang buram oleh embun, lalu menggenggam kalung kecil di tangannya, satu-satunya hadiah dari Riko di masa lalu.
“Kalau saja waktu bisa diulang…” gumamnya lirih.
“Tapi mungkin aku memang harus belajar, bahwa cinta tanpa kepercayaan hanyalah luka yang menunggu waktu untuk berdarah lagi.”
Air matanya mengalir pelan. Namun kali ini, tidak ada tangisan keras seperti sebelumnya.
Yang tersisa hanyalah keheningan dan tekad yang mulai tumbuh dari kepedihan.
Dalam hati kecilnya, Adinda berjanji.
Suatu saat, jika semua kebenaran terungkap, Riko akan tahu siapa yang sebenarnya ia hancurkan.
Dan ketika hari itu tiba, Adinda sudah tidak akan lagi menjadi perempuan yang lemah. Ia akan berdiri dengan kepalanya tegak, bukan sebagai istri yang disalahkan, tapi sebagai perempuan yang mampu bertahan meski dunia menghancurkannya.
____________
Beberapa waktu berlalu.
Sidang perceraian akhirnya selesai dengan keputusan yang tidak lagi bisa diganggu gugat.
Status Adinda resmi berubah — bukan lagi istri dari Riko Hamuangka.
Hari itu, langit tampak kelabu, seolah turut menyaksikan langkah berat Adinda meninggalkan rumah megah yang dulu ia tempati dengan hati penuh cinta.
Tanpa banyak barang, hanya koper kecil dan beberapa pakaian sederhana. Di sampingnya, Mbak Tia berjalan setia, mendorong kursi roda yang diduduki oleh Adinda yang kini tampak rapuh tapi berusaha tegar.
Tidak ada satu pun yang menahan kepergian mereka.
Bahkan Riko pun tak muncul di ambang pintu.
Mungkin baginya, kepergian Adinda hanyalah kelegaan… tapi bagi Adinda, itu adalah luka yang ia bawa bersama sisa napasnya.
“Sekarang kita mau ke mana, Nona?” tanya Mbak Tia pelan saat mereka berdiri di tepi jalan, menatap arah yang tak pasti.
Adinda hanya menggeleng. “Entahlah, Mbak… aku tidak tahu lagi harus ke mana. Rasanya semua tempat kini terasa asing. Kita ikuti jalan aja.”
Mereka berjalan tanpa tujuan, di bawah sinar matahari yang mulai terik. Sesekali angin menerpa wajah Adinda yang pucat, membawa serta rasa lelah dan pilu yang belum reda.
Hingga akhirnya, di tengah langkah yang semakin gontai, Mbak Tia teringat sesuatu, yakni pesan dari Vikto.
Beberapa waktu lalu, sebelum semua ini terjadi, Vikto sempat menitipkan sebuah nomor ponsel padanya.
“Kalau terjadi apa-apa dengan Adinda, segera hubungi saya,” katanya waktu itu.
Dengan tangan gemetar, Mbak Tia celingukan mencari tempat dimana dirinya bisa menghubungi nomor miliknya Vikto.
"Nona, gimana kalau kita berteduh disana. Kebetulan ada warung, kita beli minuman disana."
"Iya, Mbak. Aku nurut aja sama Mbak Tia. Juga, Mbak Tia kecapean dari tadi dorong kursi roda. Sambil istirahat, kita nyari tanya-tanya buat cari tempat tinggal."
"Baik, Nona."
Mbak Tia segera mendorong kembali kursi rodanya menuju warung yang ada disebrang jalan yang jaraknya beberapa meter.
Kemudian, Mbak Tia segera membeli minuman, dan menyodorkannya kepada Adinda.
"Maaf, Nona. Saya mau numpang buang air kecil sebentar. Nona tunggu disini tidak apa-apa kan, Nona?"
"Iya, Mbak, gak apa-apa."
Mbak Tia segera kembali ke warung untuk memohon agar mau membantunya menelpon Vikto. Meski harus bayar mahal, setidaknya bisa menghubungi, pikirnya.
"Permisi, Bu. Saya tidak membawa ponsel, dan saya ingin menghubungi keluarga, bisakah Ibu menolong saya? Nanti saya bayar, Ibu tidak perlu takut, saya bukan orang jahat. Kalau tidak percaya, ini uangnya, Ibu yang menelpon, saya dari sini bicara, dibalik jendela juga tidak apa-apa kalau ibunya khawatir."
Ibu pemilik warung sempat memperhatikan Mbak Tia. Namun, dilihat dari orangnya, ibu tersebut pun kasihan, dan mengizinkannya.
Saat itu juga, Mbak Tia langsung menyodorkan nomornya. Panggilan telpon langsung tersambung.
“Hallo, Tuan Vikto? Ini saya, Mbak Tia…” suaranya bergetar. “Maaf mengganggu, tapi Nona Adinda… sudah tidak bersama Tuan Riko lagi. Nona dan Tuan sudah bercerai. Kami baru saja keluar dari rumah, dan Nona tidak tahu harus ke mana.”
Di seberang, suara Vikto terdengar panik.
“Apa?! Dia… sudah keluar dari rumah suaminya? Bagaimana ceritanya? Di mana kalian sekarang?! cepat berikan alamatnya.”
Mbak Dila langsung menyebutkan alamatnya lewat ibu pemilik warung. Sambungan telpon langsung dimatikan.
Beberapa menit kemudian, Vikto langsung meluncur mencari mereka. Ia berkeliling hampir setengah jam hingga akhirnya menemukan Adinda dan Mbak Tia duduk di depan warung, tepatnya di pinggir jalan, dengan koper kecil di sisi kaki mereka.
“Adinda!” panggilnya sambil berlari mendekat.
Adinda menatapnya dengan mata sembab. Antara kaget dan tak percaya, ia hanya mampu berdiri terpaku.
“Ka… Kak Vikto?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Tanpa banyak bicara, Vikto segera memeluknya. Pelukan yang hangat, bukan karena cinta semata, tapi karena rasa kasihan dan kepedulian yang tulus.
“Maafkan Kakak, Dinda. Gara-gara Kakak, kamu jadi seperti ini. Kamu tidak sendirian lagi. Mulai sekarang, biar aku yang jaga kamu.”
Air mata Adinda kembali menetes, tapi kali ini berbeda, bukan air mata luka, melainkan kelegaan.
Ia tidak tahu ke mana nasib akan membawanya setelah ini, tapi setidaknya… untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa aman.
Vikto pun membawa Adinda dan Mbak Tia ke rumahnya.
"Ini rumah Kakak, kamu akan tinggal di rumah ini. Semoga kamu betah."
Adinda masih terdiam, semua serasa mimpi.
"Ayo, kita masuk kedalam. Oh iya, kedua orang tuaku sama adik aku belum pulang dari luar negri, jadi masih sepi."
Dinda tidak merespon, bayangan ketakutan masih menghantuinya.
Kemudian, Vikto segera memanggil asisten di rumah.
"Mbak Dira, cepat kesini."
"Iya, Tuan."
"Tolong siapkan kamar untuk Adinda, juga untuk mbak Tia. Gak apa-apa satu kamar dulu, karena mereka belum terbiasa. Kalau sudah siap, kamu bantu bawain kopernya dan bantu buat beres-beres."
"Baik, Tuan."
"Ya sudah, sana kerjakan. Satu lagi, siapkan makanan untuk mereka."
Mbak Dira mengangguk patuh, dan segera mengerjakan perintah dari Majikannya.
"Kamu serius, beneran sudah cerai sama suami kamu?" tanya Vikto untuk memastikan ucapan dari Mbak Tia.
"Iya, Kak. Sejak itu, aku sudah tidak satu kamar dengan suami aku."
"Benar-benar keterlaluan suami kamu itu! Gak bisa dibiarin, Kakak akan datangi rumahnya. Seenaknya aja menceraikan kamu."
"Sudahlah, Kak, jangan diungkit lagi. Jugaan aku sudah resmi bercerai. Aku tidak apa-apa, kok. Mungkin memang sudah jadi takdirku untuk berpisah, dan bukan jodohku mungkin."
"Kamu yang sabar ya, gak usah mikirin mantan suami kamu yang gak tau diri itu. Gak ingat apa, kamu menjadi seperti ini juga karena kamu lebih memilih menyelamatkan nyawa mantan suami kamu ketimbang nyawa kamu sendiri."
"Sudah, Kak. Aku gak apa-apa kok, nanti aku juga sembuh, dan bisa jalan lagi."
"Maafkan Kakak ya, semua gara-gara kedatangan Kakak kerumah. Janji, Kakak akan jaga kamu, dan merawatmu, serta memberi tempat tinggal yang layak buat kamu."
"Ditolong seperti ini saja udah lebih dari cukup. Nanti aku sama Mbak Tia ingin cari kerjaan, biar tidak nyusahin Kak Vikto."
"Saya permisi dulu, Tuan, Nona,"
Mbak Tia yang tidak ingin mengganggu suasana, akhirnya memilih untuk menyingkir.
"Kamu tenang saja, Kakak akan bantu kamu nyari kerjaan. Kebetulan di kantornya Kakak lagi membutuhkan karyawan baru. Nanti ada kerjaan juga buat Mbak Tia, dibagian OB masih kosong."
"Terima kasih banyak ya, Kak. Tapi, untuk tempat tinggal, jangan di rumah ini."
"Loh, kenapa?"
"Aku ingin mandiri, aku tidak ingin dikatain wanita lemah tidak berguna. Aku ingin membuktikan, bahwa aku mampu menjalani hidupku tanpa berpangku tangan."
"Baik lah, jika itu memang maumu. Nanti Kakak carikan tempat tinggal untuk kamu. Tapi nanti, kalau kamu sudah bisa jalan. Untuk sementara, kamu tinggal di rumah ini dulu sampai kamu benar-benar sembuh. Nanti akan Kakak carikan dokter spesial dan pengobatan yang manjur."
"Kak Vikto terlalu baik. Aku takut gak bisa balas budinya Kakak."
"Balas budinya gak perlu kamu pikirkan. Yang terpenting kamu baik-baik saja. Ya sudah ya, Kakak mau ke kamar, mau ganti baju dulu. Ke kantornya libur, mau nyempetin nemenin kamu. Nanti Mbak Dira datang, kamu istirahat saja, kalau udah mendingan, kita makan bareng."
"Terima kasih banyak ya, Kak."
Vikto mengangguk dan tersenyum.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..