Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjuangan yang diacuhkan
POV Arsen
Langkah-langkah kaki Nika yang menjauh masih terpatri dalam benak Arsen. Ia berdiri terpaku di depan supermarket, napasnya terengah, bukan hanya karena pertengkaran barusan, tetapi juga karena kenyataan yang baru saja mencambuknya: bayi itu bukan cuma ada—tapi juga sudah punya ayah.
Pria itu... Pram.
Nama yang belum pernah ia dengar dari mulut Nika. Arsen mengusap bibirnya yang robek, rasa asin darah bercampur dengan getir di tenggorokannya. Matanya memandangi mobil Pajero yang kini menghilang di ujung jalan, membawa wanita yang sampai detik ini masih mengisi sebagian besar hidupnya. Wanita yang seharusnya ia lindungi, bukan ia tinggalkan.
“Gue bego.”
Kata itu berulang kali terngiang dalam kepalanya. Waktu di rumah sakit—waktu Nika membisikkan kabar kehamilan itu, ia panik. Otaknya beku. Ia tidak mengerti, tidak siap. Dan yang ia lakukan? Meninggalkannya sendirian, di saat wanita itu paling membutuhkan kehadirannya.
**
Dua jam kemudian, Arsen duduk di atas motor sport nya yang terparkir di pinggir gang sempit tempat dimana Arsen sering menjemput Nika di kontrakannya . Ia tidak pulang. Tidak juga ke tempat biasa nongkrong. Ia hanya diam, menatap kosong ke depan, sesekali melirik ke layar ponselnya yang masih menampilkan foto lama: ia dan Nika di taman kampus, tertawa tanpa beban. Dunia mereka dulu sederhana. Sekarang?
“Lo bego, Sen.” Suara itu datang dari Yuli, yang tahu-tahu sudah berdiri di samping motornya sambil menenteng dua kantong plastik. “Gue udah bilang Nika sekarang dijagain cowok baru. ?”
Arsen menghela napas panjang. “Gue pikir... gue masih punya kesempatan.”
Yuli meletakkan plastik belanjaannya, lalu duduk di trotoar, menatap Arsen lekat. “Lo telat, Sen. Nika itu hancur waktu lo ninggalin dia. Lo tahu siapa yang ngangkat dia dari kehancuran itu? Pram.”
Diam.
Kata-kata Yuli seperti paku-paku kecil yang ditancapkan satu per satu ke dadanya.
“Gue tahu lo nyesel. Tapi ini bukan drama sinetron yang lo bisa tinggal bilang maaf terus semuanya baik-baik aja,” lanjut Yuli pelan. “Nika sekarang bukan cuma mikirin perasaan lo. Dia mikirin anak dalam kandungannya.”
“Gue tahu, Yul... Tapi gue gak bisa diem aja. Gimana kalau cowok itu cuma numpang lewat? Gimana kalau dia cuma main-main?” Arsen menggeleng, nada putus asa merembes dalam suaranya. “Gue gak akan tenang kalau nggak tahu siapa Pram sebenarnya.”
Yuli mendecih, “Lo ini keras kepala. Lo pengin apa sih? Rebut Nika dari cowok itu? Lo pikir Nika cuma boneka yang bisa lo ambil kalau lo mau?”
Arsen berdiri, mendadak dadanya sesak. “Gue cuma pengin dia tahu kalau gue masih peduli. Gue nggak akan biarin Nika anggap gue laki-laki pengecut yang lari dari tanggung jawab.”
“Masalahnya, Sen... itu bukan lagi soal mau atau enggak. Tapi bisa atau enggak.”
Yuli meraih plastik belanjaannya dan berdiri. “Kalau lo emang serius, jangan ganggu Nika. Buktikan dari jauh. Jangan bikin dia makin stress. Itu anak di dalam perutnya butuh ketenangan.”
Arsen menunduk, rahangnya mengeras. Dalam diam, ia menimbang. Haruskah ia mundur? Atau justru maju, membuktikan bahwa ia layak berada di sisi Nika—meski sebagai pelindung dari balik bayang?
**
Malam itu, Arsen kembali ke rumahnya. Rumah besar itu terasa lebih dingin dari biasanya. Ia membuka laci kecil di sisi ranjang, mengeluarkan sebuah kotak kayu yang sudah lama tak ia buka.
Di dalamnya ada surat kecil, foto-foto Nika, dan... gelang merah muda yang pernah ia belikan waktu ulang tahun Nika tahun lalu. Arsen menggenggam benda itu erat-erat.
“Lo boleh menang kali ini, Pram,” gumamnya lirih. “Tapi lo harus tahu, gue belum selesai.”
**
Setelah kepergian Nika dari kampus dan kehidupan Arsen, Risa melihat celah. Ia telah lama menyukai Arsen, bahkan mungkin sejak Arsen dan Nika masih bersama.
Kini, setelah Nika tersisih, Risa mulai gencar melancarkan aksinya. Ia berusaha tampil lebih menarik, selalu ada di setiap kesempatan Arsen berada, dan tak henti-hentinya menunjukkan perhatian.
"Arsen, kamu mau makan apa hari ini? Aku bisa masakin buat kamu," tawar Risa suatu sore, saat ia 'kebetulan' berpapasan dengan Arsen di kantin kampus.
Arsen hanya meliriknya sekilas. "Aku udah kenyang, Ris. Makasih."
Risa tidak menyerah. "Kamu kelihatan capek banget. Semalem pasti begadang lagi ya? Aku bisa bantu kerjain tugas kamu kalau mau."
"Nggak usah, aku bisa sendiri." Nada bicara Arsen selalu datar, nyaris tanpa emosi saat berbicara dengannya. Itu membuat Risa frustrasi. Ia sudah mencoba segala cara, dari perhatian kecil hingga obrolan panjang, tapi tatapan mata Arsen selalu kosong, seolah pikirannya melayang ke tempat lain.
Setiap kali mereka bertemu, dan Risa mencoba mengalihkan pembicaraan ke arah mereka berdua, Arsen selalu punya cara untuk mengembalikan topik pada Nika. "Menurutmu, Nika sekarang tinggal di mana ya, Ris?" tanyanya suatu kali, saat Risa sedang bercerita tentang rencana liburannya.
Risa mati-matian menahan kekesalannya. "Nggak tahu, Sen. Kan Yuli bilang dia juga nggak tahu." Ia tahu, Arsen sering bertanya pada Yuli tentang Nika, dan itu selalu membuat Risa cemburu.
"Mungkin dia beneran udah pindah kota," gumam Arsen lebih kepada dirinya sendiri, raut wajahnya tampak sedih.
Risa merasa usahanya sia-sia. Ia telah berusaha keras membuat Nika tersingkir, dan sekarang, saat Nika sudah tiada di sekitar mereka, Arsen justru semakin terobsesi dengan mantan pacarnya itu.
Cinta yang ia tawarkan seolah tak terlihat sama sekali di mata Arsen. Pria itu terlalu sibuk mencari Nika, terlalu sibuk meratapi penyesalannya, hingga tak menyadari kehadiran Risa yang selalu ada di sampingnya.
Risa hanya bisa menghela napas panjang. "Arsen, udah deh. Nika udah sama orang lain, kan? Kamu juga udah lihat sendiri gimana pria itu," ucap Risa mencoba mengingatkan. Ia ingin Arsen membuka mata, melihat dirinya.
Arsen menoleh, tatapannya kosong. "Aku nggak akan nyerah, Ris. Aku akan cari Nika sampai ketemu."
Mendengar itu, hati Risa mencelos. Sepertinya jalan untuk mendapatkan hati Arsen masih sangat panjang dan penuh duri. Ia hanya bisa berharap, suatu saat nanti, Arsen akan lelah mencari Nika dan akhirnya menyadari bahwa ada seseorang yang selalu menunggunya, yang benar-benar mencintainya.
Risa menggerutu sambil mengaduk es tehnya dengan sendok. Di hadapannya, Bella, teman dekatnya, hanya bisa menggelengkan kepala. Mereka berada di sebuah kafe dekat kampus, tempat favorit mereka untuk 'ngegosip' atau sekadar curhat. Hari ini, topik utama adalah Arsen, lagi-lagi.
"Bisa gila gue, Bel!" Risa meletakkan sendoknya dengan sedikit benturan. "Gue udah coba segala cara, tapi otaknya Arsen itu isinya cuma Nika, Nika, dan Nika! Rasanya pengen gue teriak di depan mukanya, 'Nika udah punya yang lain, Arsen! Move on!'"
Bella menyeruput minumannya, mencoba menenangkan Risa. "Sabar, Ris. Namanya juga orang lagi bucin tingkat dewa. Susah."
"Bucin apanya? Dia sendiri yang ninggalin Nika waktu itu! Sekarang nyesel, terus terobsesi kayak orang gila. Lihat deh, dia itu kayak zombie hidup. Lesu, nggak nafsu makan, semua-muanya jadi nggak semangat," keluh Risa, frustrasi.
"Gue udah masakin, aku udah nemenin dia begadang ngerjain tugas, aku dengerin keluh kesahnya... tapi ujung-ujungnya selalu bahas Nika!"
Risa menghela napas panjang, menatap kosong ke luar jendela kafe. "Gue ini dianggap apa sih sama dia? Teman? Tukang sampah curhat? Gue kan juga pengen dia lihat gue sebagai seorang wanita, Bel. Gue cinta sama dia!" Nadanya berubah lebih pelan, sarat akan kesedihan dan sedikit putus asa.
Bella menggenggam tangan Risa. "Gue tahu, Ris. Gue tahu gimana perasaan lu. Tapi kadang, cinta itu butuh waktu. Apalagi kalau hatinya udah tertutup sama bayangan orang lain."
"Tapi sampai kapan, Bel? Sampai Nika balik lagi sama dia? Gue nggak mau itu terjadi! Gue udah susah-susah bikin Nika pergi, masak sekarang gue harus rela dia balik lagi?" Risa hampir menangis.
Ia mengingat semua usahanya di masa lalu untuk memastikan Nika tidak lagi menjadi penghalang antara dirinya dan Arsen.
"Ya, itu yang jadi masalahnya, Ris," kata Bella hati-hati. "Arsen kayaknya belum rela Nika pergi. Apalagi sekarang Nika udah hamil sama cowok lain. Mungkin itu yang bikin dia makin penasaran dan pengen tahu."
"Jadi gue harus gimana dong, Bel?" Risa menatap Bella dengan mata berkaca-kaca. "Apa gue harus nyerah aja?"
Bella terdiam sejenak. "Nyerah sih jangan. Tapi mungkin lu perlu strategi baru. Kalau terus-terusan maksa dia buat move on, kayaknya malah bikin dia makin jauh. Mungkin elu harus biarin dia mikirin Nika dulu, tapi kamu tetap ada di sampingnya. Siapa tahu, nanti dia sadar kalau lo yang selalu ada buat dia."
Risa mengernyitkan dahi. "Strategi apa? Jadi tukang ojeknya? Atau jadi bank berjalan yang siap dengerin dia kapan aja?"
Bella tersenyum tipis. "Bukan gitu. Tapi lebih ke arah menunjukkan bahwa elo ada, tanpa harus memaksa dia ngeliat Lo . Biar dia yang menyadari sendiri."
"Huh, kedengarannya sulit," desah Risa, tapi ada sedikit harapan di matanya. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Arsen adalah targetnya, dan ia akan berjuang sampai akhir.